Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bahaya dari Lemari Makan

Zat pengawet dan pewarna diduga membuat seorang ibu dan dua anaknya menderita penyakit ginjal.

2 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ratnawati kini lebih teliti memeriksa isi lemari makan yang ada di dapur rumahnya. Dosen Institut Teknologi Indonesia di Serpong, Banten, itu secara tegas melarang kehadiran mi instan, saus, dan makanan kaleng. Hidangan yang mengandung bahan pengawet dan pewarna juga dilarang masuk. Suami dan kedua anaknya bersatu padu menegakkan aturan itu.

Kecermatan dalam memilih makanan itu sebetulnya agak terlambat. Pada 7 Mei lalu, anak pertamanya, Bryan Benito, 21 tahun, meninggal dunia. Mahasiswa Sekolah Telkom Bandung ini wafat lantaran menderita gagal ginjal. Penyakit serupa diidap Ratnawati. Akibat penyakitnya, sejak Agustus 2003 ia harus menjalani cuci darah sebulan sekali. ”Saya lakukan itu di rumah,” ujarnya, Jumat pekan lalu.

Penasaran dengan penyakit ginjal yang diderita keluarganya, Ratnawati memeriksakan dua anaknya yang lain ke laboratorium. Hasilnya sungguh mengejutkan. Anak kedua, laki-laki berusia 16 tahun juga terindikasi menderita kebocoran ginjal.

Ratnawati yang tinggal bersama suami dan anak-anaknya di Pamulang, Banten, lalu berusaha mencari penyebabnya. Dokter di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo sudah mencoba melacak riwayat penyakit ginjal di keluarga ini. Hasilnya nihil. Mereka kemudian menyarankan pemeriksaan banding ke rumah sakit di Melbourne (Australia) atau Singapura.

Pada Juli 2005, Ratnawati akhirnya memeriksakan anak keduanya ke Melbourne. Di sana, tim dokter mendiagnosis tiga faktor penyebab rusaknya ginjal sang anak: obat-obatan, jamu, atau makanan.

Sekembali ke Jakarta, melalui telepon dan surat elektronik, Ratnawati mengontak kembali tim dokter tersebut. Ia menyerahkan daftar obat yang pernah mereka telan. Tapi para dokter tak melihatnya sebagai penyebab. ”Keluarga kami juga tak pernah mengkonsumsi jamu,” ujarnya. Kecurigaan penyebab penyakit ginjal kini mengerucut ke makanan.

Semua bahan makanan yang setiap hari biasa disantap keluarganya, ia kirim ke Melbourne. Dokter menyarankan agar menghindari makanan yang menggunakan pengawet dan pewarna. Oktober lalu, anak kedua yang duduk di bangku Sekolah Menengah Atas dilarang makan mi instan, saus, dan makanan kaleng. Bulan berikutnya, ketika dilakukan pemeriksaan laboratorium, ternyata ada kemajuan.

Kondisi ureum creatin yang menjadi indikator fungsi ginjal mulai membaik. Angkanya berada dalam batas normal, berkisar 0-50. ”Padahal, sebelumnya pernah mencapai 71,” kata Ratnawati. Kemajuan itu menambah keyakinannya menghindari makanan awet. ”Kini untuk mendapatkan rasa pedas, saya mengulek cabe,” ujarnya.

Ratih Dewanti, dosen Jurusan Ilmu Pangan, Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor (IPB), menjelaskan, makanan kalengan seharusnya tak memerlukan bahan pengawet. Baik itu buah-buahan, ikan, ataupun daging. ”Karena suhu dan waktunya sudah diatur sedemikian rupa,” ujarnya.

Begitu pula dengan mi instan yang sudah mengalami proses pengeringan. Dari penelitian dan kuliah praktek mahasiswa IPB, Ratih tak menemukan adanya pengawet pada mi instan. Yang ditemukan cuma bumbu yang mengandung MSG (monosodium glutamate), zat untuk membuat makanan menjadi gurih.

Lain lagi dengan saus. Menurut Ratih, dalam kadar tertentu saus diperbolehkan mengandung asam benzoat. Empat tahun lalu, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pernah melakukan penelitian dan menemukan penggunaan asam benzoat dan kalium sorbat sebagai zat pengawet semua saus tomat di restoran cepat saji.

Hasil pengujian YLKI yang dilakukan di Laboratorium Sucofindo, Jakarta, menunjukkan kandungan asam benzoat pada saus tomat 810,88 part per million (ppm) dan kalium sorbatnya 35,28 ppm. Sedangkan pada sambal, kandungan asam benzoatnya 2.248,49 ppm dan kalium sorbatnya tidak terdeteksi.

Departemen Kesehatan mengizinkan jumlah maksimum asam benzoat yang boleh dipergunakan adalah 1.000 ppm atau 1 gram per kilogram bahan. Bila dikonsumsi berlebih, zat tersebut menjadi berbahaya.

Dua tahun lalu, YLKI juga pernah melakukan penelitian 30 produk ikan sardin kalengan yang dijual di pasar. Produk-produk itu ternyata banyak yang bermasalah. Ada yang sudah melewati masa kedaluwarsa. Ada pula yang tanggal kedaluwarsanya sengaja diperpanjang. Bahan makanan berbahaya memang ada di sekitar kita.

Untung Widyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus