Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tipisnya pendapatan BPJS Kesehatan menimbulkan risiko defisit pada 2025.
BPJS Kesehatan harus meningkatkan jumlah peserta aktif.
Nilai aset BPJS per Juni lalu masih cukup untuk membayar layanan kesehatan selama 5,7 bulan.
JAKARTA – Ancaman defisit keuangan BPJS Kesehatan menimbulkan risiko terganggunya layanan kesehatan. Sejumlah kalangan menganggap potensi defisit yang diprediksi terjadi pada pertengahan 2025 itu membuat badan penyelenggara jaminan sosial tersebut kekurangan dana. Akibatnya, pembayaran klaim kepada fasilitas kesehatan bisa terganggu yang berujung terhambatnya kegiatan operasional klinik hingga rumah sakit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ancaman defisit BPJS Kesehatan ini diungkapkan anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional, Muttaqien. Ia memperkirakan defisit BPJS Kesehatan bakal terjadi sekitar Agustus dan September 2025 jika tak ada intervensi dari sisi pendapatan. "Defisit dana sekitar Rp 11 triliun," ujarnya, pekan lalu. Alarm defisit BPJS Kesehatan mulai berbunyi setelah pemerintah memutuskan tak menaikkan iuran BPJS Kesehatan hingga akhir 2024. Untuk menghindari gangguan layanan kesehatan, Muttaqien menyatakan perlu ada langkah antisipasi sejak dini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut dia, salah satu pemicu potensi defisit di tubuh BPJS Kesehatan adalah penyesuaian tarif bagi fasilitas kesehatan melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2023 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Penyesuaian tersebut berpotensi menambah beban pembiayaan BPJS Kesehatan.
Selain itu, pemerintah memutuskan menambah biaya screening penyakit untuk memperkuat upaya pencegahan penyakit. Tambahan biaya juga datang dari berubahnya status pandemi Covid-19 menjadi endemi, yang berarti pengobatan penyakit tersebut bakal ditanggung BPJS Kesehatan. Status endemi juga bakal mengakibatkan jumlah pengunjung di fasilitas kesehatan meningkat karena tak ada lagi batasan kegiatan masyarakat.
Muttaqien menilai risiko tersebut bisa dikelola sejak dini. Salah satu caranya adalah penguatan manajemen risiko, kendali mutu dan biaya, hingga pengendalian penyimpanan yang lebih baik. Dari sisi penerimaan, dia menyebutkan, strategi seperti menjaga dan menambah jumlah peserta aktif bisa membantu mengurangi risiko. Namun kenaikan iuran tak termasuk dalam solusi. "Berdasarkan hitungan aktuaria, belum dibutuhkan penyesuaian iuran JKN hingga akhir 2024," tuturnya.
Antre pelayanan BPJS Kesehatan di Rumah Sakit Permata Depok, Sawangan, Jawa Barat, 14 Juli 2023. TEMPO/Ijar Karim
Pendapatan dari Iuran Masih Tipis
Anggota BPJS Watch, Timboel Siregar, berpendapat senada. Menurut dia, aset BPJS Kesehatan masih bisa surplus tanpa ada kenaikan iuran sampai 2024 berakhir. Ia melihat adanya tren kenaikan saldo aset Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan pada akhir 2022 sebesar Rp 56,50 triliun, atau naik sekitar 45 persen dari tahun sebelumnya. Hingga pertengahan tahun ini pun, dia mendengar kabar bahwa surplus masih bertahan.
Namun, tanpa kenaikan pendapatan iuran yang signifikan setahun ke depan, Timboel juga sepakat bahwa ancaman defisit tak terhindarkan pada 2025. Merujuk pada laporan keuangan BPJS Kesehatan selama tiga tahun terakhir, ia mencatat kenaikan pendapatan iuran sangat tipis. Namun kenaikan besaran iuran pun, menurut dia, bukan satu-satunya solusi. "Kalau pun ada kenaikan iuran, seharusnya mulai 2024 sudah dipikirkan," tuturnya kepada Tempo, kemarin.
Timboel mengaku belum memiliki proyeksi angka kenaikan iuran yang ideal. Dia menilai banyak faktor yang harus dipertimbangkan, dari dampak penghapusan sistem kelas untuk rawat inap hingga inflasi dan daya beli masyarakat pada 2025.
Menurut Timboel, salah satu strategi menambah pendapatan iuran BPJS Kesehatan adalah meningkatkan jumlah peserta aktif atau peserta yang membayar iuran. Dia menyoroti besarnya tunggakan dari peserta mandiri. Para peserta yang menunggak mendapat kemudahan untuk mencicil, tapi baru bisa menjadi peserta aktif setelah melunasi tunggakan. Seharusnya, kata Timboel, ada pelonggaran agar mereka bisa menjadi pengguna aktif meskipun sedang mencicil. Dengan begitu, dananya bisa menjadi tambahan di pos pendapatan.
Sebagai catatan, per awal Juli lalu, tercatat sebanyak 16,6 juta peserta mandiri yang menunggak iuran. Adapun jumlah peserta yang terdaftar JKN telah mencapai 258,3 juta jiwa, atau sekitar 93 persen dari total penduduk Indonesia. BPJS Kesehatan menargetkan jumlah peserta itu bisa meningkat menjadi 98 persen pada 2024.
Ceruk lainnya berasal dari peserta pekerja formal swasta. Timboel menuturkan nilainya masih bisa ditingkatkan karena banyak perusahaan yang belum mendaftarkan pekerjanya di BPJS Kesehatan lantaran dianggap sebagai beban. "Pengawas BPJS dan penegak hukum harus turun karena ditemukan banyak pekerja disuruh daftar mandiri atau masuk penerima bantuan iuran," ucapnya.
Baca juga:
Setengah Hati Penyehatan BPJS Kesehatan
Masa Lalu BPJS Dibelit Defisit
Manfaat Jaminan Kesehatan Dikhawatirkan Berkurang
Menangkal Defisit dengan Menggenjot Peserta
Masih dari sektor pekerja, Direktur Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira, menyatakan ada peluang tambahan penerimaan iuran dari pekerja informal. Selama ini, BPJS Kesehatan masih berfokus pada pekerja formal. Sedangkan di sektor informal, yang juga jumlahnya besar, banyak pekerja yang belum terlindungi jaminan kesehatan. "Juga bisa diakali dengan mengejar kepatuhan iuran, termasuk dari perusahaan," kata Bhima. Dia percaya masih banyak strategi yang bisa dilakukan tanpa harus menaikkan iuran.
Dampak terhadap Layanan Kesehatan
Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Tulus Abadi, pun sepakat bahwa defisit tak serta-merta harus direspons dengan kenaikan tarif. Dia mengatakan pemerintah bisa ikut merogoh kantong untuk menambah pundi BPJS Kesehatan, misalnya dengan menggelontorkan subsidi untuk JKN. "Toh, JKN merupakan tanggung jawab negara."
Berbagai antisipasi tersebut penting disiapkan karena defisit pada BPJS Kesehatan berisiko mengganggu layanan kesehatan. Bhima mengatakan kekurangan dana berarti ada keterlambatan pembayaran untuk fasilitas kesehatan. Pada akhirnya, kegiatan operasional rumah sakit hingga klinik terafiliasi terhambat. Dalam jangka panjang, risiko pemutusan hubungan kerja di bidang kesehatan menjadi ancaman. Kondisi itu berujung pada akses layanan kesehatan yang berkurang. "Bisa jadi ada dampak diskriminasi terhadap pasien BPJS Kesehatan," ujarnya.
Antre pelayanan BPJS di Rumah Sakit Permata Depok, Sawangan, Jawa Barat, 14 Juli 2023. TEMPO/Ijar Karim
Adapun defisit yang tidak diantisipasi, Timboel menyatakan, bakal membebani keuangan negara. Pemerintah bertanggung jawab memberikan subsidi lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara jika terjadi gangguan pada arus kas badan tersebut. Dia mengingatkan, setiap kali terjadi keterlambatan pembayaran kepada fasilitas kesehatan, seperti rumah sakit, ada denda yang harus ditanggung. "Defisit pada 2014 sampai 2019 banyak yang sebenarnya inefisiensi karena ada denda," tuturnya.
Sebelumnya, pada pekan lalu, Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti memastikan belum ada rencana menaikkan iuran. "(Usulan kenaikan) itu dari Dewan Jaminan Sosial Nasional. Sedangkan BPJS Kesehatan belum menghendaki kenaikan iuran," ujarnya kepada Tempo.
Adapun ihwal risiko defisit, Asisten Deputi Komunikasi Publik dan Humas BPJS Kesehatan, Agustian Fardianto, menuturkan pihaknya masih optimistis akan kinerja keuangan lembaganya. Dia berkaca pada kondisi keuangan hingga semester pertama tahun ini. Pada Desember 2022, nilai aset bersih BPJS Kesehatan cukup untuk membayar pelayanan kesehatan hingga 5,98 bulan ke depan. Per Juni 2023, kondisinya masih cukup untuk kebutuhan 5,7 bulan. "Jadi, dana yang kami himpun masih tergolong sehat," kata dia.
Untuk menjaga kondisi tersebut, ujar Agustian, BPJS Kesehatan berupaya meningkatkan kinerja kolektibilitas. Menurut dia, kesadaran masyarakat semakin tumbuh karena kolektibilitas iuran sudah mencapai sekitar 99 persen. Dari sisi pengeluaran pun, BPJS Kesehatan berupaya menerapkan proses kendali dan verifikasi. "Kami menerapkan teknologi machine learning untuk membantu," ucapnya. Teknologi tersebut membantu mendeteksi klaim yang tidak sesuai dan mengantisipasi penyimpangan.
VINDRY FLORENTIN | CAESAR AKBAR | RIRI RAHAYU | AMELIA RAHIMA SARI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo