Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bakwan di Sudut Dermaga

Anak buah kapal asal Indonesia tetap tidur di kapal ketika bersandar. Warung-warung khas Jawa menjadi hiburan mereka di daratan.

9 Januari 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TOKO Indo Express semakin ramai saat malam. Satu per satu pelanggan berkulit cokelat berkumpul di depan toko yang menjual makanan khas Indonesia, seperti mi instan dan peyek. Setelah berbelanja, mereka nongkrong di depan toko sambil bercengkerama dengan bahasa Jawa. Ada pula yang duduk berpasangan. Hampir semuanya mengenakan jaket. Angin berembus dingin pada Kamis malam lima pekan lalu itu. Mereka adalah tenaga kerja Indonesia (TKI) dan anak buah kapal (ABK) yang bekerja di Keelung, kota yang terletak sekitar 23 kilometer dari Taipei.

Berada di Jalan Shin San, Distrik Chung Zheng, toko yang dimiliki pasangan asal Indonesia itu tinggal sepelemparan batu dari dermaga Keelung. "Kalau malam, umumnya para ABK yang datang," kata Bui Meng, 46 tahun, pemilik toko, yang pernah belasan tahun bekerja di Singkawang, Kalimantan Barat, kepada Tempo.

Malam itu, banyak kapal yang tengah bersandar dan mengistirahatkan awaknya. Para ABK memanfaatkan waktu senggang itu dengan berjalan-jalan di sekitar dermaga, lalu kembali lagi ke kapal. Hampir semua ABK di Keelung tidur di kapal masing-masing.

Dwi Tantri, 49 tahun, ikut memanfaatkan jeda itu untuk mengumpulkan TKI, khususnya ABK. Sesekali mereka menggelar pengajian malam Jumat. Aktivitas itu mereka lakukan di lantai dua toko Indo Express. Bui Meng menyediakan ruangan tersebut untuk aktivitas sosial TKI. Tantri-pekerja asal Indonesia-yang banyak berperan mendampingi TKI yang bermasalah dengan majikan. "Terkadang mereka hanya ingin didengarkan saja agar tenang bekerja lagi," kata Tantri.

Seorang ABK, Waslim, 39 tahun, turut menghadiri pertemuan tersebut. Ia sudah bekerja bertahun-tahun sebagai juru kemudi feri di dermaga Keelung. Ia hanya ABK yang berdokumen letter of guarantee (LG), tanpa dokumen resmi dari pemerintah Taiwan. "Pemilik kapal akan memecat saya pada Januari 2017," kata pria asal Brebes, Jawa Tengah, ini. Alasan pemecatan yang tak jelas membuat dia tidak akan menerima pesangon. Waslim dan Tantri kemudian terlibat pembicaraan panjang dalam pertemuan itu.

Malam-malam di Keelung, kata Tantri, kini lebih tertib ketimbang tiga tahun lalu. Keelung dulu terkenal sebagai sarang ABK Indonesia yang doyan tawuran. Mereka berkelahi karena dipengaruhi minuman keras. Taiwan adalah negara yang melegalkan penjualan minuman beralkohol. Tawuran biasanya melibatkan kelompok antardaerah asal mereka di Indonesia.

Sapta Samardika, 40 tahun, adalah salah satu ABK yang dulu punya banyak teman yang doyan minum keras dan tawuran. Saat ini kamera CCTV terpasang di semua sudut jalan di Taiwan. Mereka akan mudah dideteksi polisi. Hukumannya, kata Sapta, kini jauh lebih berat daripada penjara. Mereka akan didenda, lalu dipulangkan ke Indonesia, dan dilarang bekerja di Taiwan hingga lima tahun. "Hukuman ini paling ditakuti ABK berdokumen LG seperti saya ini," ujarnya.

Selain Keelung, kota yang dipenuhi ABK asal Indonesia adalah Kota Kaohsiung. Jaraknya sekitar 320 kilometer dari Taipei. Hampir semua ABK ikan berdokumen LG berada di kota itu. Jumlahnya diperkirakan ribuan. Keelung merupakan kota yang memiliki dermaga khusus kapal ikan yang bernama dermaga Cianjhen. Jarak dermaga ini sekitar 10 kilometer dari pusat kota.

Senin empat pekan lalu, dermaga itu tampak dipenuhi kapal baja penangkap ikan. Puluhan anak muda terlihat hilir-mudik di sekitar dermaga. Satu kapal umumnya berisi 60-70 ABK. Kapal-kapal itu biasanya merapat selama seminggu, lalu pergi berlayar lagi selama berbulan-bulan. "Hari ini banyak ABK yang gajian," kata Adi Suprianto, 25 tahun, salah seorang ABK yang ditemui Tempo di sana.

Pedagang lokal ternyata paham hari-hari itu banyak ABK yang menerima gaji. Saat matahari mulai terbenam, warung kaki lima bermunculan di tiap sudut dan sekitar dermaga. Uniknya, hampir semua menjajakan makanan khas Indonesia, dari pecel lele, gado-gado, hingga bakwan dan pisang goreng. Pedagang di sana kebanyakan mempekerjakan pegawai asal Indonesia.

Satu ons bakwan dijual NT$ 30 atau sekitar Rp 13 ribu. Secangkir kopi Kapal Api juga dijual dengan harga yang sama. "Sudah setahun ini banyak muncul warung Indonesia di sini," kata Ikhwanudin, 21 tahun, ABK asal Purbalingga, yang ditemui Tempo saat menyantap pecel lele dan bakwan di warung itu.

Saat malam, dermaga itu kian dipadati para pemuda. Tiap sudut dermaga diisi kelompok-kelompok ABK yang terlihat bercengkerama. Sebagian dari mereka juga ABK yang berasal dari Filipina. Membedakan ABK asal Indonesia dan Filipina cukup mudah. ABK asal Filipina hampir semuanya mengenakan baju dan celana basket serta bertopi ala penyanyi hip-hop.

Salah satu sudut dermaga yang ramai adalah gerai Hi Life, yang berada di seberang dermaga. Supermarket ini satu-satunya yang berada di dekat tempat kapal bersandar. Hampir semua ABK membeli berbagai barang kebutuhan di sana. Toko itu juga menyediakan bangku dan meja yang dimanfaatkan para ABK untuk nongkrong hingga larut malam.

Di sekitar supermarket, taksi-taksi lokal ikut antre penumpang. Mereka menunggu ABK yang ingin bepergian ke kota. Seperti yang akan dilakukan empat sekawan Enggar Wicaksono, Bayu Prima, Purwanto, dan Diki. Mereka adalah anak-anak muda berusia 22 tahun yang bekerja di kapal ikan Guo Tong, yang berbendera Taiwan. Malam itu Tempo ikut bersama mereka berjalan-jalan keliling kota.

Pengemudi taksi tampak sudah paham tujuan keempat pemuda ini. Setelah mereka menyebut Kaohsiung, si sopir langsung tancap gas. Ia benar-benar memacu mobilnya dengan kencang. Mobil kuning itu ngebut di sepanjang jalan Kaohsiung yang sepi. Sambil mengemudi, dia mengobrol dengan keempat ABK itu. Sang sopir tahu, para ABK itu baru saja menerima gaji.

Sopir yang sudah berambut putih itu menawarkan penukaran uang dari dolar Amerika ke dolar Taiwan (new Taiwan dolar). Tawaran itu ditolak dengan bahasa Mandarin yang sepotong-sepotong karena para ABK menganggap harganya masih terlalu murah ketimbang harga penukaran dolar di bank. Ia makin menekan gas mobilnya sambil mengoceh dalam bahasa Mandarin.

Tak sampai setengah jam, taksi itu berhenti di satu kawasan yang ramai. Sepanjang perjalanan, argometer tidak dinyalakan. Sang sopir menagih ongkos sebesar NT$ 300 atau sekitar Rp 135 ribu. Padahal, dengan rute yang sama, ongkos taksi dengan menggunakan argometer ke lokasi itu hanya sekitar NT$ 220. "Sopir taksi di sini memang menganggap ABK Indonesia banyak uang," kata Bayu.

Lokasi yang dituju adalah Jalan Wanhua, Distrik Sanmin. Kawasan ini ternyata tempat berkumpulnya TKI. Di jalan itu berjejer toko bertulisan nama-nama Indonesia. Salah satu yang paling populer adalah Cafe Amigo Miami, yang menjual minuman beralkohol. Suasana kafenya terbuka seperti rumah makan dan berisi perlengkapan karaoke lagu-lagu Indonesia. Namun malam itu kafe tersebut tampak sepi.

Pekerja asal Indonesia menjejali rumah-rumah makan. Menu yang ditawarkan sangat khas Indonesia, seperti sate, soto ayam dan soto babat, nasi pecel, serta mendoan. Harga satu porsi makanan rata-rata NT$ 100 atau sekitar Rp 42 ribu. Nasi bebek yang paling mahal, yakni Rp 60 ribu. Keistimewaan menyantap hidangan di sana adalah pengunjung dibebaskan merokok di dalam rumah makan. Sebab, merokok di dalam ruangan dilarang keras di seluruh Taiwan.

Selain toko makanan, terdapat gerai yang menawarkan jasa pengiriman uang. Gerai-gerai ini menjadi tujuan utama Bayu dkk. Mereka mengirimkan sebagian gajinya ke keluarga masing-masing. "Sisanya kami belikan makanan dan pulsa telepon," kata Enggar sambil menunjukkan iPhone 6 miliknya. Setelah bersantai, mereka harus kembali lagi ke kapal masing-masing sebelum matahari terbit. Mereka hidup di atas kapal, dan kapal itu harus dibersihkan setiap pagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus