Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAK pernah sekali pun naik kapal, Arofiqun bertekad menjadi pelaut di kapal asing penangkap ikan. Di kampungnya di Magelang, Jawa Tengah, pria 30 tahun itu semula buruh pabrik garmen. "Saya ingin bertaruh nasib. Siapa tahu bisa sukses," katanya, Desember lalu.
Ia datang ke kantor PT Jangkar Jaya Samudera di Pemalang, juga di Jawa Tengah, tanpa keahlian melaut. Satu-satunya bekal adalah pelatihan keselamatan dasar yang baru diikutinya di Cirebon, Jawa Barat, selama tiga hari. Pada Desember lalu itu, ia bersama tiga calon pelaut lain sedang menunggu keberangkatan ke luar negeri di penampungan PT Jangkar, agen yang juga merekrut Supriyanto, pelaut asal Tegal yang meninggal di atas kapal ikan Taiwan.
Kematian Supriyanto tak membuat minat calon anak buah kapal (ABK) surut. Ada 25 calon pelaut yang baru saja berangkat lewat PT Jangkar Jaya sebelum rombongan Arofiqun. Menurut Rudi Setiawan-komisaris perusahaan-sesepi-sepinya, dalam sebulan, PT Jangkar memberangkatkan rata-rata lima pelaut.
Para pelaut juga tak mempersoalkan status perusahaan. Menurut Kementerian Perhubungan, PT Jangkar tak memiliki surat izin usaha perekrutan dan penempatan awak kapal (SIUPPAK), syarat merekrut dan mengirim ABK ke luar negeri. Karena tak punya izin tersebut, perekrutan oleh perusahaan itu ilegal. Dalam catatan Kementerian, sampai November lalu, hanya 72 perusahaan yang terdaftar memiliki SIUPPAK. Itu pun sebagian besar agen pengirim ABK niaga, seperti awak kapal pesiar atau kargo, yang syarat perekrutannya berbeda dengan ABK ikan.
Rudi Setiawan mengakui bahwa perusahaannya tak punya SIUPPAK. "SIUPPAK bagaimana? Aku sendiri bingung," katanya. Perusahaan hanya punya surat izin usaha perdagangan (SIUP) dari Kementerian Perdagangan. Rudi enggan mengurus SIUPPAK karena menganggap persyaratannya lebih cocok untuk agen pengirim ABK niaga.
Ada 12 syarat yang harus dilengkapi oleh agen agar izin tersebut turun dari Kementerian Perhubungan. Di antaranya agen mesti menyerahkan salinan data pelaut yang telah ditempatkan di atas kapal dan salinan perjanjian dengan pemilik kapal. Menurut juru bicara Kementerian Perhubungan, Bambang S. Ervan, syarat-syarat tersebut dipasang untuk melindungi ABK.
Ketua Indonesia Manning Agencies Association Herman mengatakan lebih dari 40 agen di Tegal dan Pemalang tak punya SIUPPAK. "Memang saya yang menyarankan untuk tidak mengurus SIUPPAK," katanya. "Kami ini agen penyalur untuk pelaut kapal perikanan, fisherman. Beda lho dengan seafarer."
Bagi Kementerian Perhubungan, ABK ikan yang melaut dengan kapal asing masuk kategori pelaut atau seafarer, bukan nelayan atau fisherman. Dengan demikian, setiap pelaut yang dikirim mesti memiliki keterampilan dasar melaut, seperti pelatihan keselamatan dasar. Adapun fisherman adalah sebutan bagi ABK ikan yang beroperasi di Indonesia. Sektor ini dipimpin Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Perbedaan tafsir atas regulasi juga terjadi dalam perekrutan awak kapal. Kementerian Perhubungan berpendapat bahwa syarat bagi agen untuk merekrut dan menempatkan ABK cukup hanya SIUPPAK. Sedangkan Kementerian Tenaga Kerja mewajibkan agen tersebut juga memiliki surat izin pelaksana penempatan tenaga kerja Indonesia (SIPPTKI), seperti untuk agen pengirim TKI.
Ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI. "Kami mau ambil yang soal ketenagakerjaannya," kata Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri. "Kapal di sana, tapi kalau orangnya harus di Kementerian Tenaga Kerja."
Namun undang-undang tersebut tak secara spesifik menyebut ABK ikan. Karena itu, Kementerian Perhubungan mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 84 Tahun 2013 tentang Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal, yang menjadi payung hukum SIUPPAK.
Tumpang-tindih aturan mengambangkan penyelesaian kasus-kasus pelaut. Juga tak ada langkah hukum atau administratif terhadap perusahaan seperti PT Jangkar. Imam Syafii, mantan ABK ikan yang aktif di Pergerakan Pelaut Indonesia, mengatakan sejumlah laporan organisasinya mengenai para pelaut yang tak menerima gaji mentok di Kementerian Perhubungan. "Sedangkan Kementerian Tenaga Kerja bingung mau menindak karena perusahaan pelayaran ada di bawah naungan Kementerian Perhubungan," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo