Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Balada Kelana di Lembah Tidar

Sarwo meredam kebencian mahasiswa kepada tentara pasca-insiden penembakan mahasiswa ITB. Juga menghapus perpeloncoan.

7 November 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANDUNG, 6 Oktober 1970, petang. Kesebelasan sepak bola Institut Teknologi Bandung unggul 1-0 atas tamunya, taruna Akademi Angkatan Bersenjata Kepolisian. Di pinggir lapangan, ratusan suporter bukan berteriak menjagokan kesebelasan mereka, melainkan saling ledek. "Akabri bodoh, Akabri tolol," teriak kubu mahasiswa.

Sembari mengacungkan gunting, mereka menyindir razia celana ketat yang sering dilakukan polisi. Ujung pantalon yang tidak muat dimasuki mulut botol langsung kena gunting. Ada juga yang memakai wig sebagai protes larangan gondrong.

Seperti dilaporkan Kompas, saat rehat, sebuah truk Brigade Mobil masuk ke area pertandingan. Suasana makin panas ketika ITB kembali membobol gawang lawan pada menit ke-15 babak kedua. Mahasiswa masuk lapangan. Taruna menghadang dengan kopel riem alias sabuk berkepala besi. Peluru berhamburan ke angkasa. Pertandingan dihentikan dan taruna dipulangkan.

Di sisi barat Jalan Ganesha, Rene Louis Coenrad, 22 tahun, mengendarai Harley Davidson melewati tiga truk berisi taruna dan anggota Brimob. Cekcok terjadi, Rene dikeroyok dan sepeda motornya dirusak. Senjata menyalak. Rekan Rene mendapati mahasiswa teknik elektro angkatan 1969 itu di kantor Kepolisian Besar 86 di Jalan Merdeka, tidak lagi bernyawa. Pundaknya tertembus pelor.

Hari berikutnya, Bandung lumpuh akibat unjuk rasa mahasiswa yang mengutuk kekerasan. Mereka menyetop mobil angkutan umum untuk mencari polisi dan tentara. Beberapa pos polisi dikosongkan untuk menghindari bentrokan. Mayor Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, yang saat itu menjabat Gubernur Akademi Angkatan Bersenjata Umum dan Darat, menyesalkan tragedi itu. Menurutnya, kematian Coenrad menjadi puncak perpecahan mahasiswa dan tentara. "Dik, ini berbahaya, tidak boleh dibiarkan," ujarnya kepada Ridwan Armansjah Abdulrachman, waktu itu 23 tahun. Iwan, panggilannya, adalah adik Iis Johana, sahabat Sarwo. Iwan dan Sarwo sama-sama aktif di Perhimpunan Penempuh Rimba dan Pendaki Gunung.

Rekonsiliasi bergulir. Dia mengundang mahasiswa ke kampus Akademi Angkatan Bersenjata di Magelang. Pada 1973, sekitar seratus mahasiswa Universitas Padjadjaran, Bandung, dan Universitas Trisakti, Jakarta, tiba di Lembah Tidar. Mereka disambut Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Komandan Korps Taruna.

Iwan, perwakilan Unpad yang mengurus bidang kesenian, ingat betul kejelian Sarwo mencairkan hubungan kedua kubu yang sedang perang dingin itu. Lagu ciptaan Iwan, yang menjadi lagu wajib pencinta alam waktu itu, Balada Seorang Kelana, diubah jadi Balada Seorang Taruna. Syairnya: Keheningan alam di tengah rimba sunyi, kumerana seorang diri sebagai seorang Taruna... Kuberjuang penuh tekad demi nusa dan bangsa.... Hai Taruna, tabahkan hatimu, Tuhan slalu besertamu.

"Bayangkan, kami lagi benci taruna, malah disuruh menyanyi begitu," kata Iwan, keki.

Taktik itu berhasil. Selama tiga hari dua malam, mahasiswa dan taruna melakukan hampir semua hal bersama. Mulai makan, berdoa, bernyanyi, hingga berdiskusi. Cuma waktu tidur mereka berpisah barak. Pertandingan sepak bola, yang kembali dimenangi mahasiswa, berlangsung tanpa keributan. Di ruang kelas, Yudhoyono memimpin diskusi. "Suasananya akrab sekali," kata Iwan Sulanjana, taruna angkatan 1974, yang waktu itu kebagian tugas sebagai pemandu acara.

Institut Teknologi Bandung dan Universitas Indonesia memenuhi undangan serupa. Banyak alumnus program pembauran itu yang menjalin kontak hingga sekarang, seperti saat reuni Akabri-Unpad-Trisakti di Istana Cipanas, Desember 2008.

Sayang, kemesraan ini cepat berlalu. Pada 1973, Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) Jenderal Soemitro melarang interaksi taruna-mahasiswa. Komando itu merupakan pusat koordinasi intelijen yang langsung dikendalikan Presiden Soeharto. Dengan dalih menjaga stabilitas keamanan, Jakarta menyatakan komunikasi dengan mahasiswa hanya dapat dilakukan oleh Kopkamtib. "Waktu itu, Pak Nas saja dilarang memberi kuliah," kata wartawan senior Sinar Harapan, Daud Sinjal. Pak Nas adalah panggilan Jenderal Abdul Haris Nasution, mantan Kepala Staf Angkatan Darat dan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Beberapa hari setelah larangan itu, Sarwo menghubungi Daud menyampaikan kekecewaan. Hubungan di antara mereka terbangun sejak Daud meliput pemberantasan Partai Komunis Indonesia di Jawa Tengah, 1965. Dalam wawancara di rumah dinas di Magelang, Sarwo untuk pertama kali mengungkapkan alasan programnya itu: menghilangkan dikotomi sipil-militer. "Jadi, pada 1970-an, dia sudah berpikir seperti itu," kata Daud.

Sarwo menilai hubungan baik militer dengan mahasiswa, yang sama-sama menumbangkan Orde Lama, sudah luntur. Padahal mahasiswa sebagai calon pemimpin sipil dan taruna sebagai calon pemimpin militer merupakan sumber kekuatan Indonesia pada masa depan, sehingga perlu wadah bagi keduanya untuk berkomunikasi.

Ada juga program lain. "Menghapus perpeloncoan," kata Iwan Sulanjana, yang pernah menjabat Panglima Divisi Siliwangi di Jawa Barat. Saat baru menginjakkan kaki di kampus Akabri pada 1971, dia langsung jadi korban kekerasan senior, yang diistilahkan dengan "senggol-senggol". Pernah juga dipaksa minum minyak ikan, yang baunya nauzubillah, sehingga banyak taruna muntah. Ditambah latihan fisik, seperti berlari keliling Magelang dan naik Gunung Tidar, perpeloncoan sempat membuat Iwan ingin kabur.

Untung bagi Iwan cs, pelonco tahun itu hanya bertahan tiga hari. Sarwo menggantinya dengan masa orientasi sarat materi dan bimbingan, mirip masa perkenalan mahasiswa baru. "Senior banyak yang kesal, tapi semua nurut," kata Iwan. Tidak seperti program pembauran, kebijakan itu bertahan sampai sekarang.

Kristiani Herrawati alias Ani Yudhoyono dalam buku Kepak Sayap Putri Prajurit mengatakan ayahnya menikmati masa jabatan yang berlangsung pada 1970 sampai 1974 itu. "Papi seperti menemukan pelabuhan jiwa," kata Ani. "Sebab, pada dasarnya beliau suka mendidik."

Pernyataan itu menepis tudingan Sarwo didepak dari posisi strategis. Daud mengatakan, meski Sarwo tidak lagi memimpin pasukan, Akademi Militer, termasuk Komando Utama, setara dengan Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat dan Komando Daerah Militer. Setiap perwira bangga jika diberi kesempatan mendidik calon pemimpin tentara. Kebanyakan jenderal besar, seperti Patton dan MacArthur di Amerika Serikat, bertugas di sekolah militer setelah memimpin pasukan. Harapannya, mereka bisa menularkan kepiawaian kepada penerusnya. "Pak Sarwo, yang pernah bersekolah di Australia dan Amerika Serikat, merasakan hal yang sama," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus