Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Panglima dengan Satu Koper

Terlempar dari orbit elite Jakarta, Sarwo Edhie menjadi panglima di Sumatera Utara dan Papua. Berhasil memenangkan Indonesia dalam Pepera.

7 November 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketiga gadis muda itu—Wirahasti Cendrawasih, Kristiani Herrawati, dan Mastuti Rahayu—dengan riang berebut kamar sesaat setelah memasuki rumah barunya di Jalan Sudirman, Medan, Sumatera Utara. Ketika itu sekitar paruh kedua 1967. Putri-putri Brigadir Jenderal Sarwo Edhie Wibowo itu baru saja datang dari Jakarta menyusul sang ayah, yang diangkat menjadi Panglima Komando Daerah Militer II Bukit Barisan.

Bangunan tua zaman Belanda itu sebenarnya bukan rumah dinas untuk Panglima, melainkan wisma untuk tamu penting Kodam Bukit Barisan. Tapi Sunarti Sri Hadiyah, istri Sarwo, enggan menempati rumah dinas, yang berada di daerah Padang Bulan, karena terlalu mewah. "Papi meminta rumah yang lebih kecil," kata Kristiani, yang kini dikenal sebagai Ani Yudhoyono, istri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam biografinya, Kepak Sayap Putri Prajurit.

Sarwo diangkat sebagai Panglima Kodam II Bukit Barisan tiga bulan setelah Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat melengserkan Presiden Sukarno pada Maret 1967. Sebelum "terlempar" dari orbit elite Jakarta, Sarwo merupakan figur populer. Dia Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat—saat ini Komando Pasukan Khusus—yang ikut menumpas Partai Komunis Indonesia pasca-Gerakan 30 September 1965. Sarwo juga aktif dalam berbagai upaya mengakhiri riwayat Orde Lama.

Keceriaan keluarga Sarwo saat menempati rumah baru bertolak belakang dengan perasaan Syamsul Hilal, Ketua Gerakan Pemuda Partai Nasional Indonesia Front Marhaenisme Kota Medan periode 1964-1966. Syamsul ingat betul ketegangan saat Sarwo datang ke Kota Medan. Aktivis PNI saat itu dicap sebagai "anak Sukarno". Sedangkan Sarwo dikenal dengan emblem anti-Sang Proklamator. Benar saja, baru bertugas, Sarwo langsung membekukan aktivitas PNI Medan. "Dia sangat represif," kata Syamsul, yang kini anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sumatera Utara, kepada Tempo di ruang kerjanya.

Kendati sosoknya garang, Syamsul menilai panglima baru itu sebagai figur yang bersih. Apalagi beredar berita yang mengutip pernyataan Sarwo, "datang membawa satu koper, pulang pun hanya membawa satu koper". "Dia ingin menunjukkan datang bukan untuk mencari uang," ujar Syamsul.

Dalam bukunya, Ani mengenang masa-masa ayahnya bertugas di Sumatera Utara. Berbagai tawaran fasilitas dan hadiah berdatangan ke rumah dinas. Saat itu Sarwo gencar menindak penyelundupan di Pelabuh­an Belawan. Banyak pihak membujuk sang ayah agar mau berkompromi. Sarwo bergeming. "Papi benar-benar manusia idealis."

Kegigihan bekas prajurit Pembela Tanah Air—tentara didikan Jepang—itu membuahkan hasil. Perlahan, penyelundupan berkurang. Sarwo makin bersemangat memerintahkan anak buahnya memperbaiki kondisi di wilayah Kodam Bukit Barisan.

Semua gebrakan itu berakhir sekitar awal 1968. Tersiar kabar dari Jakarta ihwal rencana pengangkatan Sarwo sebagai Duta Besar Republik Indonesia untuk Uni Soviet. Sejak itu, suasana rumah dinas yang ceria berubah menjadi suram. Acap kali Ani mendapati sang ayah melamun di teras depan rumah. "Kalau aku memang mau dibunuh, bunuh saja. Tapi jangan dengan cara seperti ini," ujar Ani menirukan perkataan bapaknya kepada ibunya.

Batin Sarwo terpukul. Dia merasa tugas ke Negeri Beruang Merah tak lebih dari ledekan. Bagaimana mungkin dia bisa hidup di negara berpaham komunis, sementara dia dikenal sebagai penumpas komunis. Apalagi posisi di Kodam Bukit Barisan baru diemban lima bulan. "Apa salahku?" Sarwo mengeluh.

1 1 1

SEMANGAT jenderal pengagum Erwin Rommel—jenderal Jerman semasa Perang Dunia II yang dikenal gigih dan jenius—ini pulih ketika Jakarta membatalkan tugas ke Moskow. Sebagai gantinya, Sarwo digeser menjadi Panglima Kodam XVII Cenderawasih, Irian Barat—kini Papua. "Ini tantangan untuk mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia," ujar Sarwo ditirukan Ani.

Tiba di Hollandia—sekarang Jayapura—pada Juni 1968, Sarwo berhadapan dengan persiapan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera). Sesuai dengan Perjanjian New York pada 15 Agustus 1962, referendum untuk menentukan bergabung atau tidaknya Irian Barat dengan Indonesia harus digelar paling lambat pada 1969. Sarwo diberi satu misi: Indonesia menang dalam referendum.

Tugas itu tak mudah. Waktu efektif bagi Sarwo menjalankan misi itu tinggal setahun. Sejumlah operasi militer yang digelar panglima-panglima sebelum Sarwo, seperti Operasi Wisnumurti, Sadar, dan Bharatayudha, malah menyebabkan gangguan keamanan dari Organisasi Papua Merdeka meningkat.

Gangguan yang paling meresahkan saat itu adalah gerakan yang dipimpin Sersan Mayor Permenas Ferry Awom, bekas sukarelawan Batalion Papua bentukan Belanda. Ada pula ­Hotmoes "Lodewijk" Mandatjan, ondoafi alias kepala suku Arfak, seorang mayor tituler yang sejak 1967 kembali masuk hutan lantaran kecewa terhadap pemerintah Indonesia.

Menghadapi gerilyawan, Sarwo membenahi model Operasi Sadar, warisan Brigadir Jenderal Kartidjo, dalam bentuk Operasi Wibawa. Operasi ini mengutamakan operasi teritorial bersifat persuasif tanpa peperangan meski secara bersamaan operasi intelijen dan tempur tetap dilakukan.

Letnan Satu Sintong Panjaitan ingat instruksi Sarwo Edhie kepada pasukannya di Kebar, wilayah kepala burung. Sarwo menegaskan, pemberontak pasti hancur jika terus dipukul. "Tapi mereka saudara kita," kata Sarwo. "Baiklah, mereka kita pukul, kemudian kita panggil mereka agar kembali." Sintong pensiun dengan pangkat letnan jenderal.

Pesawat Dakota dan pengebom ringan B-25 Mitchell milik Angkatan Udara pun terbang menyebarkan selebaran berisi seruan agar gerilyawan turun gunung. Sarwo juga memerintahkan Mayor Heru Sisnodo dan Sersan Mayor Udara John Saleky pergi tanpa senjata untuk membujuk Lodewijk Mandatjan agar mau keluar dari hutan. Keduanya bisa dibilang sudah dianggap sebagai anak angkat oleh Mandatjan.

Dengan jaminan perlindungan dari Resimen Para Komando Angkatan Darat, Mandatjan bersedia turun gunung disusul pengikutnya pada November 1968. Mantan Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Ikrar Nusa Bhakti, menyaksikan ketika Sarwo asyik bercengkerama dengan Mandatjan di Kompleks Raiders, Biak. "Padahal Mandatjan pemberontak yang menyebabkan banyak tentara terbunuh," kata Ikrar yang saat itu berusia sekitar 13 tahun. Ikrar merupakan anak seorang mayor Angkatan Udara yang tinggal di kompleks AURI seberang markas Raiders.

Ikrar ingat pula berbagai upaya tentara merangkul masyarakat Papua. Tokoh masyarakat diberi radio transistor merek Phillips L4, yang pada waktu itu termasuk barang mewah. Sering kali Sarwo datang dalam pertemuan dengan tokoh-tokoh Papua. Itu sebabnya, Henk Yoku, paman Presidium Dewan Papua Frans Albert Yoku, dalam penelitian Ikrar menyebut Sarwo Edhie sebagai, "Orang baik, penghubung Irian Barat dan Jakarta."

Kalangan mahasiswa juga dibuat kepincut. Pada Mei 1969, dua bulan menjelang Pepera, terjadi demonstrasi besar-besaran mahasiswa Universitas Cenderawasih, yang menuntut mekanisme Pepera satu orang satu suara. Arak-arakan yang menuju kantor DPRD dihadang panser Angkatan Darat. Suara tembakan dari arah panser seketika membuyarkan massa.

Tak lama, Sarwo muncul. Dia mendekati panser, dan memerintahkan pengemudinya turun. "Sarwo memukulnya di depan demonstran," kata Pendeta Phil Erari menirukan kesaksian mahasiswa peserta demo. Erari saat itu mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi Jakarta.

Selama dua tahun menjadi Panglima di Papua, misi Sarwo membuahkan hasil: rakyat Papua memilih bergabung dengan Indonesia dalam Pepera yang digelar pada Juli-Agustus 1969. Namun tim pengkajian daerah operasi militer Papua bentukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pada 2001 menemukan berbagai intimidasi militer menjelang referendum di Papua, termasuk dugaan rekayasa di balik penentuan mekanisme pemilihan yang hanya diikuti 1.025 orang sebagai perwakilan 800 ribu rakyat Papua saat itu. "Inilah pelanggaran hak asasi yang sebenar-benarnya," kata Erari, yang juga anggota tim pengkaji sepuluh tahun lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus