Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Serdadu dari Purworejo

KARIER militer Sarwo Edhie Wibowo dimulai saat belia. Pada usia 15 tahun, di tengah deru pendudukan Jepang, dia nekat mendaftar menjadi prajurit heiho. Perang kemerdekaan mempertemukan Sarwo dengan Ahmad Yani, yang juga berasal dari Purworejo. Sejak itu, keduanya amat dekat. Terbunuhnya Yani pada 30 September 1965 memukul Sarwo.

Rangkaian peristiwa sepanjang 1965-1966—pembubaran PKI dan pergantian presiden—melambungkan nama Sarwo Edhie, sekaligus menjadi titik balik perjalanan hidupnya. Karena dinilai terlalu keras menyudutkan barisan pendukung Sukarno, dia disingkirkan ke Medan, Sumatera Utara, kemudian ke Papua. Jabatan militer terakhirnya "hanya" Gubernur Akademi Militer di Magelang. Tapi, di semua pos itu, Sarwo Edhie tetap bersinar, lantang, keras, tanpa kompromi.

7 November 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Muncul dari Balik Kemelut

Sarwo Edhie Wibowo dianggap mengambil keuntungan dari perseteruan Benny Moerdani dengan Mung Parhadimuljo. Ahmad Yani tak melupakan kawan lamanya itu.


MARKAS Resimen Para Komando Angkatan Darat, Cijantung, pengujung 1964. Selembar surat tiba di meja Kepala Staf Letnan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo. Pengirimnya Komandan Batalion I Mayor Leonardus Benyamin "Benny" Moerdani. Membaca surat itu, air muka Sarwo berubah.

+ "Is, ini ada surat lagi dari Benny soal kebijakan pimpinan RPKAD."

- "Ada apa?"

+ "Biasalah, Benny merasa kurang puas. Dia mengharapkan saya menyampaikan ini"

- "Apa salah Mung?"

+ "Enggak tahulah. Ini isi suratnya begini."

Letnan Jenderal (Purnawirawan) Rais Abin menceritakan kembali percakapannya dengan Sarwo Edhie hari itu. "Saya masih ingat. Isi suratnya menyampaikan ketidaksenangan Benny soal situasi di RPKAD di bawah pimpinan Mung," kata Rais kepada Tempo.

Sarwo baru saja pulang dari The Australian Army's Staff College di Australia. Dia lalu mengajak Rais, rekan sesama perwira di pelatihan itu, mendatangi Letnan Jenderal Ahmad Yani di kediamannya di Menteng. Sarwo menceritakan persoalan itu dengan terperinci. "Sarwo, kamu bereskanlah itu RPKAD," perintah Yani, yang menjabat Menteri/Panglima Angkatan Darat.

Saat itu, Resimen berada di bawah komando Kolonel Mung Parhadimuljo. Mung, perwira yang dikenal keras wataknya, berseteru dengan Benny, bawahannya. Konflik mencuat gara-gara urusan duit. Mung memprotes kepada Yani karena Benny dan Detasemen Pasukan Khusus dibekali gulden saat operasi pembebasan Irian Barat. Saat memimpin konfrontasi dengan Malaysia, Benny mengantongi dolar Amerika. Mung mendesak agar dia ikut mengontrol fulus berjumlah besar itu. Tapi Benny menolak.

Perseteruan memuncak saat Benny memberikan kompensasi kepada prajurit yang tewas atau cacat seusai operasi Irian Barat. Salah satunya Letnan Agus Hernoto, yang kehilangan kaki. Meski cacat, Agus diberi pekerjaan administratif di Resimen. Tidak suka terhadap kebijakan Benny, Mung memukul balik. Dalam rapat perwira pertengahan Desember 1964, dia memerintahkan semua prajurit cacat dikeluarkan dari Resimen.

Benny berang. Dia mengkritik keputusan sang Kolonel secara terbuka. Mung bergeming. Setelah rapat itu, Benny meninggalkan Jakarta untuk berbulan madu dengan istrinya, Hartini. Mung marah, tapi tidak memberikan sanksi.

Sebetulnya Yani tidak heran terhadap laporan Sarwo. Benny pernah berkeluh-kesah kepadanya. Waktu itu, Yani bertanya siapa perwira yang cocok menggantikan Mung karena ada dua letnan kolonel di Resimen, yaitu Sarwo Edhie Wibowo dan Widjojo Soejono. Benny memilih Widjojo. "Saya lebih enak berhubungan dengan Pak Jono," kata Benny seperti diceritakan dalam buku Benny: Tragedi Seorang Loyalis.

Benny lupa, Yani merupakan kawan seperjuangan Sarwo Edhie Wibowo di Jawa Tengah. Sebagai panglima, Yani menilai pembangkangan Benny fatal. Benny diperintahkan menghadap Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat Mayor Jenderal Soeharto. "Sana kamu menghadap Mas Harto," kata Yani. Benny ditendang dari RPKAD. Sedangkan Mung dimutasi menjadi Panglima Daerah Militer di Kalimantan Timur.

Pemenang dalam perombakan itu tentu saja Sarwo Edhie Wibowo. Dia dilantik sebagai Komandan RPKAD yang baru—tepatnya pelaksana harian—dan pangkatnya dinaikkan menjadi kolonel. "Sebetulnya sudah ada gerakan memplot Sarwo sebagai komandan," kata Rais. Letnan Kolonel Prijo Pranoto, lulusan Fort Benning angkatan 1960, diangkat menjadi kepala staf menggantikan Sarwo.

1 1 1

Purworejo, Jawa Tengah, pertengahan 1942. Sarwo Edhie Wibowo remaja bersembunyi ketakutan di tepi Kali Bogowonto, dekat Kampung Kedungkebo. Hari itu, tentara Jepang merangsek masuk ke desanya. Di antara semak belukar, sambil memakai sarung, Sarwo ditemani kakaknya, Murdiah Hardiyati. Saudaranya yang lain kocar-kacir entah ke mana. "Ibu saya (Surtini) bersembunyi di rumah tetangga, Bapak (Kartowilogo) bertahan di rumah," tutur Murdiah kepada Tempo awal Oktober lalu.

Sarwo, yang baru saja lulus MULO, terpanggil menjadi prajurit. Dia ikut kakak pertamanya, Murtogo, ke Surabaya. Di sana, dia mendaftar menjadi heiho (pembantu tentara). Umurnya yang baru 15 tahun tidak sesuai dengan persyaratan. Tak hilang akal, dia mengganti tahun kelahirannya menjadi 1925. Di asrama, tugas Sarwo hanya memotong rumput serta membersihkan WC dan tempat tidur tentara Jepang.

Saat perang kemerdekaan, Sarwo Edhie diajak Ahmad Yani, sesama eks anggota Pembela Tanah Air, bergabung dalam Batalion III Badan Keamanan Rakyat. Batalion itu dikomandani Yani, pemuda asli Kampung Ngrendeng, Gebang, Purworejo. Sarwo bertugas membawa mortir. Saat Yani membentuk batalion baru, Sarwo diangkat menjadi komandan kompi Batalion V Brigade IX Divisi Diponegoro sampai 1951. "Mereka seperti adik-kakak," kata Murdiah.

Hubungan keduanya tak selamanya harmonis. Pangkat Sarwo pernah diturunkan dari kapten menjadi letnan satu oleh Yani. Sarwo patah arang sampai menangis. Dia pulang ke Purworejo. "Saya berhenti dari tentara," kata Sarwo kepada ibunya. Surtini menanggapi dingin. "Kalau kamu jadi tentara hanya mengejar pangkat, silakan keluar." Yani mendengar cerita itu. Berbahasa Belanda, Yani menitipkan pesan untuk Sarwo: "Saya memang pernah menyakitkan hati dia. Tapi saya tidak akan pernah melupakan dia."

Pada 1959, Yani merekomendasikan Sarwo menjadi Komandan Sekolah Para Komando Angkatan Darat. Usul Yani awalnya ditolak Widjojo Soejono karena dianggap nepotisme. "Sarwo Edhie memang keras kepala. Tapi dia bisa diandalkan," ujar Yani mencoba meyakinkan Widjojo. Sarwo pun dilantik menggantikan Kapten Wijogo Atmodarminto. Yani menepati janji yang pernah dia ucapkan bertahun silam di Magelang.

Karier Sarwo Edhie terus menanjak. Pada 1963, dia dikirim ke Australia mengikuti pendidikan staf. Baru dua bulan menjalani pelatihan, Sarwo sudah bersitegang dengan staf sekolah, gara-gara urusan steak yang dimasak setengah mentah. "Apa ini?" kata Sarwo. "Anda kan enggak minta apa-apa, ya sudah ini steak-nya" kata pelayan kantin. "Saya ini orang Indonesia, tahu? Saya tidak biasa makan daging mentah begini." Sarwo membanting piring, lalu masuk kamar. Dia mogok kuliah dua hari. Insiden ini memaksa komandan pelatihan meminta maaf.

1 1 1

Naiknya Sarwo Edhie sebagai Komandan RPKAD bukan tanpa masalah. Ken Conboy dalam bukunya, Kopassus: Inside Indonesia's Special Forces, menuturkan Benny yang lama menjabat Komandan Batalion I memiliki pengikut setia di kalangan perwira RPKAD. Kelompok ini menganggap Sarwo mengambil keuntungan dari perseteruan Benny dan Mung. Bahkan ada yang menilai naiknya Sarwo tidak lebih karena kedekatannya dengan Yani, padahal dia tidak memiliki kompetensi komando.

Ada aturan tidak tertulis di Resimen, seorang Komandan RPKAD harus berasal dari kalangan perwira yang berlatih komando di Batujajar, Jawa Barat, atau pelatihan setara di luar negeri. Pendidikan yang pernah dijalani Sarwo bukanlah sekolah komando. Dia adalah siswa pendidikan staf militer di Australia. "Banyak orang dalam Resimen berharap Sarwo hanya pemimpin transisi sebelum Yani mengangkat orang lain yang lebih kompeten," kata seorang perwira RPKAD.

Belakangan, demi melengkapi syarat itu, Sarwo dikirim ke Batujajar menjalani pelatihan singkat komando. Rentetan peristiwa setelah 30 September 1965 membuktikan kemampuan operasinya. Karier Sarwo semakin bersinar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus