Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CINCIN emas itu melingkar di jari manisnya. Bukan cincin biasa karena ada berlian bertakhta di sana. Pemakai cincin itu adalah perwira tinggi polisi di lingkungan Mabes Polri. Ketika ditanya harga barang itu, dia mengaku tak tahu. ”Ah, mana saya tahu. Ini kan cincin pemberian,” katanya singkat.
Perwira yang enggan disebut namanya itu mengaku memiliki banyak teman. Dan dari merekalah ia mendapat hadiah barang yang tak mungkin bisa dibeli dengan gajinya sendiri. Maklum, gaji seorang brigadir jenderal seperti dirinya—berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 14/2003—hanyalah Rp 1,78 juta. Ditambah berbagai tunjangan, total pendapatannya tak sampai Rp 10 juta per bulan. Gaji tak cukup, pemberian dari sang teman pun diterima dengan suka hati.
Saat ditemui beberapa waktu silam itu, Pak Perwira ini selalu blak-blakan kalau bicara, termasuk kebiasaan sang teman memberinya banyak barang. ”Dia adalah orang baik yang suka ngasih barang ke saya. Ini namanya rezeki, pamali kalau ditolak,” katanya kala itu. Kini sulit sekali menghubungi dia, setelah inisial namanya disebut-sebut ada di antara 15 anggota polisi yang memiliki rekening tak wajar. Telepon selulernya tak diangkat setiap kali dikontak.
Sikap menutup diri macam itu menyebar di kalangan jenderal polisi. Tampaknya, pemberitaan gencar mengenai rekening tak wajar 15 anggota polisi belakangan ini memaksa mereka ekstrahati-hati. Hampir semua perwira tinggi yang ditemui Tempo tak mau mengeluarkan satu patah kata pun ketika ditanya.
Adalah Pusat Pelaporan dan Analisa Transaksi Keuangan (PPATK) yang memulai kehebohan ini. Pada akhir Juli lalu, Yunus Husein, Ketua PPATK, menyerahkan dokumen berisi daftar nama 15 anggota polisi yang memiliki rekening tak wajar ke Kapolri Jenderal Sutanto. Disebut tak wajar karena di sana terdapat transaksi di luar kebiasaan.
Kepada Tempo Yunus menjelaskan, transaksi yang menyimpang itu karena angka nominalnya yang membengkak. ”Misalnya, nasabah setiap bulan menerima gaji Rp 10 juta, tapi transaksi rekeningnya melebihi kebiasaan,” katanya. Setelah dianalisis, terjaringlah nama 15 anggota polisi tersebut. Saldo rekening mereka berisi dana dari jutaan hingga miliaran rupiah. Berita inilah yang kemudian membuat geger di masyarakat.
Lalu beredarlah bisik-bisik di tengah khalayak nama dan pangkat ke-15 perwira polisi tersebut. Oleh Lumbung Informasi Rakyat (Lira) Blora Center, sebuah lembaga kajian politik, pesan beranting itu pun diungkapkan kepada pers, meski dengan penyebutan inisial. Tersebutlah nama berikut: Jenderal D, Komjen AD, Irjen IS, Komjen MP, Brigjen RR, Brigjen DK, Irjen ED, Brigjen BG, Kombes MS, Irjen SS, Irjen HS, Irjen CS, Kombes S, Komjen SL, dan Kombes A. Jusuf Rizal, Direktur Blora Center, pagi-pagi sudah mengatakan bahwa dia tak bisa menjamin 100 persen kebenaran nama-nama itu. Katanya, Blora Center juga menerima informasi dari masyarakat lewat pesan pendek.
Berembusnya nama-nama itu tampaknya membikin banyak perwira tinggi di Mabes Polri menjadi risi. Soalnya, orang dengan mudah menebak inisial tersebut—meski tentu saja tebakan bisa keliru. Akibatnya, aksi tutup mulut pun diperagakan hampir semua perwira tinggi Mabes Polri.
Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Komisaris Jenderal Polisi Adang Darajatun, misalnya, adalah orang yang kerepotan karena beredarnya inisial itu. Dicegat seusai salat Jumat di lingkungan Mabes Polri pekan lalu, Adang terus berjalan meski berulang-ulang pertanyaan diajukan Rinaldi Gultom dari Tempo. Mengenakan setelan safari biru tua dan peci hitam, pandangan Adang tetap kalem lurus ke depan tanpa mempedulikan wartawan.
Reaksi serupa ditunjukkan Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri, Komisaris Jenderal Makbul Padmanagara. Kepada Maria Ulfah dari Tempo yang menemuinya di Mabes Polri pekan lalu, ia cuma bergumam pendek sambil menunjuk kantor Kapolri, ”Ke sana. Ke sana....” Setelah itu ia melesat masuk gedung.
Ada yang kalem, ada pula yang gelisah. Seorang polisi malah balik bertanya kepada Tempo. ”Apa kamu tahu nama saya masuk daftar itu?” katanya sambil membalik-balik halaman koran. Polisi yang lain menantang Blora Center untuk membuktikan keakuratan inisial yang mereka sebarkan. Ia tegas menolak masuk daftar itu meski inisial namanya mirip dengan yang beredar di koran-koran. ”Memangnya Blora Center bisa membuktikan bahwa inisial itu adalah nama saya?” katanya. Tapi, ketika kepadanya diminta izin agar namanya ditulis dalam berita, ia berbisik, ”Janganlah.” Jusuf Rizal dari Blora Center mengaku inisial yang beredar di masyarakat itu dia publikasikan agar, ”Segera mendapat respons dari Kapolri untuk diklarifikasi,” katanya.
RESPONS itu memang datang dari polisi. Juru bicara Mabes Polri, Irjen Aryanto Budihardjo, menegaskan hanya ada tiga perwira tinggi polisi yang namanya tercantum dalam daftar. Selebihnya berasal dari unsur perwira menengah, perwira pertama, dan juga dari bintara. Tapi Aryanto menolak menunjukkan komposisinya.
Terkesan ragu-ragu, kritik kini dituai Kapolri Jenderal Sutanto. ”Kapolri lambat menangani, (tak sebanding dengan) kinerjanya selama ini,” kata Pandupraja, Dewan Pembina Indonesian Police Watch. Dia membandingkannya dengan gebrakan-gebrakan Sutanto saat melibas judi dan narkoba. ”Sebenarnya saat ini yang dibutuhkan Kapolri hanyalah keberanian untuk mengungkap kasusnya, karena bukti-bukti sudah lengkap dari PPATK,” kata Pandu lagi.
Menurut Pandu, mengkeretnya jumlah perwira tinggi yang masuk daftar 15 tak lepas dari sikap kolegial yang besar dari Kapolri. ”Ada kecenderungan polisi membela sesama anggota korps. Semakin lama Kapolri menuntaskan kasus ini, semakin besar keraguan masyarakat terhadap kesungguhan polisi,” kata Pandu.
Benarkah Sutanto melempem? Pembelaan datang dari Inspektur Jenderal Farouk Muhammad, kolega Kapolri yang juga Gubernur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK). Menurut dia, sebagai pimpinan, Sutanto sudah tahu latar belakang anak buahnya. ”Dia kan perlu melihat dulu, siapa yang diberi tugas. Dia harus yakin mau dikasih ke siapa ya: ke Bareskrim, Inspektorat Pengawasan Umum, atau Divisi Profesi dan Pengamanan (Propan) Mabes Polri,” katanya.
Farouk mengingatkan bahwa kasus ini bukan pekerjaan ringan. Untuk mengungkapkannya, diperlukan penelusuran aliran dana secara teliti. Misalnya, jika dana yang masuk rekening polisi itu dari sumbangan perusahaan, mesti dipastikan jenis perusahaannya. Lalu wajib dicek pula dalam kaitan apa dana itu diberikan. Jadi, ”Ini tidak bisa selesai dalam satu atau dua minggu,” katanya.
Saat ini Kapolri melimpahkan penanganan kasus ini ke Divisi Propan karena kasusnya dianggap internal polisi. Entah berkaitan dengan kasus itu atau tidak, Kapolri pekan lalu melakukan mutasi sejumlah pejabat tinggi di lingkungan Mabes Polri. Pos Kepala Divisi Propan ikut bergeser: Irjen Supriadi diganti Irjen Yusuf Manggabarani.
Pandu meyakini pergantian Kepala Divisi Propan ini terkait dengan kasus rekening 15 polisi. Dia memandang masih ada unsur ewuh pakewuh sebagian aparat jika harus memeriksa rekannya yang lebih senior. Tetapi perkiraan itu ditepis Aryanto. ”Mutasi ini tidak terkait dengan isu yang akhir-akhir ini berkembang seputar Polri,” katanya.
Seorang sumber di kepolisian menginformasikan bahwa seorang komisaris besar belum lama ini dicabut dari Sekolah Perwira Tinggi (Sespati) karena diduga memiliki rekening tak wajar itu. Posisinya kemudian diganti perwira yang lain. Sayang, soal ini Tempo belum berhasil memperoleh klarifikasi dari Mabes Polri.
Bagi kriminolog UI Adrianus Meliala, kasus ini sebenarnya adalah petunjuk bahwa manajemen keuangan Polri belum beres. Ketidakberesan itulah yang memungkinkan pemegang jabatan panglima tinggi dan satuan wilayah (seperti Kapolda atau Kapolres) di lingkungan Polri bisa kaya raya.
Manajemen keuangan itu meliputi belum cocoknya antara kinerja dan anggaran. Di lingkungan polisi saat ini pekerjaan mesti dilakukan—seperti melancarkan operasi—meski anggaran belum turun. Fakta itulah yang menyebabkan, ”Seorang komandan bisa mencari dana partisipasi masyarakat,” kata Adrianus. Ada kesempatan, ada uang: sebagian dana partisipasi itu lalu menyelinap ke saku komandan.
Peluang lain, menurut Adrianus, adalah adanya pemasukan nonpajak yang dimobilisir polisi, misalnya lewat pengurusan surat izin mengemudi dan surat tanda nomor kendaraan bermotor. Menurut aturan, dana dari pungutan semacam ini mestinya masuk Departemen Keuangan dulu baru dikembalikan lewat rencana anggaran tahunan Polri. Tetapi permainan bisa dilakukan dengan cara menyetor sebagian, dan selebihnya masuk ke rekening. ”Bayangkan berapa bunganya jika duitnya triliunan rupiah,” kata Meliala.
Memperbaiki sistem, tapi juga melakukan gerak cepat memberangus polisi pemilik rekening gemuk. Itulah kini yang ditunggu masyarakat. Mestinya Kapolri melakukan terobosan dengan melibatkan masyarakat dalam proses penyelidikan, ”Seperti ketika Presiden membentuk tim pencari fakta kasus Munir,” kata Pandu. Langkah Sutanto kini ditunggu.
Tulus Wijanarko, Eni Saeni, Sita Planasari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo