Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah pertemuan di ruang kerja Kepala Polri Jenderal Sutanto di Markas Besar Kepolisian RI di Jakarta Selatan, Selasa dua pekan lalu, menjadi titik awal kegerahan sebagian aparat penegak hukum.
Sang tamu, Yunus Husein, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), menyerahkan segepok dokumen dalam map kuning berisi daftar nama 15 polisi yang memiliki rekening bank dengan jumlah uang yang mencurigakan. Tentu saja, disertai bukti-bukti yang dirasa mencukupi.
Lima belas polisi itu ditengarai terlibat dalam tindak kejahatan pencucian uang. “Laporan itu saya serahkan ke Kapolri untuk ditindaklanjuti,” ujar Yunus Husein. Jumlah uang dan transaksi dalam rekening yang mengejutkan itu tercatat dalam rentang waktu setahun belakangan ini.
Selanjutnya, rembesan kabar itu beredar bagai angin. Pesan pendek berhamburan ke mana-mana. Sejumlah nama perwira tinggi tertera di layar ponsel juru warta. Peristiwa ini, mau tak mau, membuat orang ramai menyoroti pelbagai penyimpangan yang dilakukan anggota kepolisian, yang baru saja berganti pimpinan ini.
Terkait dengan peristiwa penyimpangan di tubuh aparat penegak hukum itu, ingatan orang melayang ke masa silam. Inspektur Jenderal Farouk Muhammad, Gubernur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), pernah mengingatkan adanya praktek penyimpangan di tubuh Polri. Pernyataannya ketika itu membuat para petinggi Polri seperti kebakaran jenggot. Ia dianggap membuka aib dengan mempertontonkan borok yang ada dalam institusi Polri.
Apa yang disampaikan Farouk tak lepas dari hasil penelitian 147 perwira muda Polri yang tengah kuliah di PTIK (angkatan 39A), perihal indikasi praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) di Polri. Penelitian yang dilakukan dengan sampel 19 kepolisian daerah di Indonesia itu menyimpulkan bahwa KKN di tubuh Polri terindikasi sudah mencapai tingkat kronis dan melembaga.
Wajar jika kemudian Kapolri Jenderal Sutanto memutuskan untuk meminta Farouk menjadi ketua tim yang mengkaji kondisi polisi, sekaligus menampung masukan polisi dari berbagai angkatan untuk melakukan pembenahan internal.
Meski tengah sibuk, Rabu lalu, Farouk menyempatkan diri untuk menerima Widiarsi Agustina, Nurlis Effendi, Nezar Patria, Tulus Widjanarko, dan fotografer Bernard Chaniago dari Tempo untuk sebuah wawancara di kantornya, Jalan Tirtayasa, Jakarta Selatan. Berikut ini petikannya.
Keluhan masyarakat terhadap kinerja polisi terus saja bermunculan. Bagaimana pendapat Anda?
Keluhan masyarakat itu tak pernah pudar. Yang dipersoalkan bukan apa yang dilakukan polisi, tapi bagaimana polisi melakukan pekerjaannya, misalnya prestasi polisi mengungkap kasus BNI. That’s good, tapi di balik itu ternyata polisi juga menjadi masalahnya. Jadi, bukan what, tapi how. How police to do that. Itu yang jadi masalah. Jadi, masyarakat mengeluhkan polisi yang tidak melaksanakan tugasnya dengan cara yang benar. Di situlah tantangan polisi.
Bukankah kinerja buruk polisi dialami banyak orang di banyak tempat? Tidak semua polisi. Mereka yang punya peluang melakukan itu adalah yang mempunyai kekuasaan. Bandingkan kekuasaan polisi reserse dengan polisi patroli. Polisi lalu lintas yang mengatur jalan dengan yang memegang buku tilang. Mana yang kekuasaan dan peluang penyalahgunaannya lebih besar? Intinya, semakin besar kekuasaan, semakin besar pula kemungkinan penyalahgunaannya untuk melakukan kejahatan. Masalahnya, kalau polisi yang melakukan kejahatan, betapapun kecil, akan menjadi persoalan besar.
Bagaimana Anda melihat kasus ditemukannya transaksi miliaran dalam rekening 15 anggota Polri oleh PPATK?
Saya tidak mau bicara banyak soal kasus ini, tapi ada baiknya kita melihat hubungan polisi dengan uang. Di saat anggaran negara masih cekak, maka polisi secara individu maupun institusi harus bisa mengatasi kekurangan itu. Ada tiga kategori cara polisi mengatasi itu: cara putih, abu-abu, dan hitam.
Bisa dijelaskan?
Cara putih: misalnya, para polisi yang berpangkat rendah gajinya amatlah kecil. Mereka berusaha mengatasi kekurangan dengan mengojek, menjadi sopir tembak, sekuriti, mengajar ngaji sampai berdagang kecil-kecilan.
Dari segi institusi, sumbangan dari pengusaha untuk institusi juga diperbolehkan, asal tidak pernah memaksa dan tidak dalam konteks suatu kasus. Kadang kita tidak meminta, tapi diberi. Jangan lupa, orang Indonesia, apalagi pengusaha, sangat senang berteman dengan polisi dan tentara. Mereka suka foto dengan pejabat dan dipasang di kantornya. Orang yang melihat bisa menginterpretasikan dukungan sang pejabat pada pengusaha itu. Ini kultur bangsa kita.
Bagaimana dengan yang abu-abu?
Soal foto itu juga bisa dijadikan faktor abu-abu, kalau ternyata pengusaha memanfaatkan foto dan kedekatan dengan sang pejabat untuk keuntungannya. Selain itu, biasanya pengusaha yang menyumbang institusi kelihatannya dari luar berbisnis putih, tapi di belakangnya ternyata dia berbisnis dengan cara ilegal atau hitam. Begini ini yang repot. Apalagi jika penghasilan polisi, baik sebagai lembaga maupun individu, (datang—Red.) dari pengusaha ini.
Nah, yang hitam, misalnya, polisi berhubungan dengan pengusaha atau kelompok yang menerima penghasilan dari usaha yang ilegal. Juga, hubungan polisi dengan individu yang memeras orang.
Dari ketiga kategori itu, mana yang paling dominan?
Yang hitam itu, yang melakukan sedikit orang, tapi menyangkut jumlah (uang—Red.) yang besar dan gaungnya juga besar. Mungkin dari segi materi, instansi atau pejabat lain lebih rakus dari apa yang disoal pada polisi, tapi karena mereka tidak seperti polisi, diciptakan untuk mengatasi perbuatan yang tidak baik dalam masyarakat, jadi tetap saja polisi yang kena. Jadi, betapapun kecilnya yang tidak baik itu dilakukan polisi, tetap saja menyakiti hati rakyat.
Dalam soal penyimpangan, mana yang lebih dominan, faktor eksternal atau internal?
Tergantung kasus. Contoh, sekarang kita bicara illegal logging. Yang melakukan umumnya mereka (pengusaha) yang punya hak pengelolaan hutan (HPH). Kecil sekali yang dilakukan rakyat jelata. Secara rutin para pengusaha itu menyetor kepada pejabat berkuasa seperti polisi, tentara, pemerintah daerah, kejaksaan, instansi teknis.
Jadi persoalannya, di bawah ilegal, di atas juga. Kalau kita mau menindak illegal logging, sebelum orang itu kita tindak, terlebih dulu kita baca diri kita sendiri.
Sudahkah kita menindak para penguasa yang memungkinkan terjadinya illegal logging. Mungkinkah para pengusaha itu berani menyogok jika tidak ada main mata sebelum memberikan setoran?
Contoh lain soal rekrutmen polisi. Saya bisa menjamin kecil kemungkinan panitia seleksi itu berani meminta. Yang terjadi, jumlah peserta banyak, setelah diseleksi tinggal 100, padahal kursinya cuma 20. Maka, ada upaya berebut kursi itu. Salah satunya mencari koneksi pejabat agar anak atau keluarganya masuk.
Praktek uang seperti ini juga terjadi di jalanan. Sampai, kadang-kadang, urusan tilang saja mencari pejabat. Kondisi kita memang sudah parah dan butuh komitmen dari elite untuk memberantas ini semua.
Selain dari APBN, dari mana saja polisi bisa mendapatkan tambahan dana operasional?
Setahu saya, ada dari SIM, pengurusan izin senjata api, rumah sakit kepolisian.
Ada juga seperti sewa gedung untuk acara kawanan, juga penggunaan lapangan olahraga. Soal SIM, dulu dikelola polisi. Mulai tahun ini, SIM harus masuk ke Menteri Keuangan karena merupakan pendapatan negara bukan pajak dan (hasilnya—Red.) digunakan untuk kepolisian.
Menurut saya, dalam kondisi negara belum mampu mensupport kebutuhan dan kesejahteraan polisi, dana dari APBN ataupun dari luar pemerintah tidak menjadi masalah, asalkan itu diadministrasikan, dibukukan, dan didistribusikan secara merata. Jangan dikantongi sendiri. Anggota sebaiknya juga kebagian.
Jadi, sebelum kita meminta kepada negara agar menambah anggaran, mari kita juga memperbaiki dulu sistem di dalam. Sudahkah seluruh resources yang diterima itu disalurkan dan digunakan secara tepat. Jangan minta terus, tapi enggak pernah sampai ke bawah.
Maksudnya?
Dalam sistem kepolisian itu ada dua subkultur, polisi gedongan dan polisi lapangan. Masalah yang dihadapi polisi lapangan itu selalu dijadikan alasan oleh polisi gedongan untuk menambah dana. Dana memang turun, tapi selalu seret. Jadi, tidak sedikit polisi lapangan yang tidak menerima dana operasional itu secara utuh. Banyak tercecer sehingga akhirnya, demi tugas, mereka menangani masalah itu sendiri. Maka, terjadilah yang seharusnya tak terjadi.
Alasan polisi gedongan itu selalu terkait dengan orang lain. Biasanya, saya butuh begini-begini, atas nama orang lain. Bisa saja digunakan atas nama si kopral, si sersan, padahal untuk diri sendiri. Ini kan terjadi pengkhianatan bukan hanya pada profesi, tapi buat si sersan dan si kopral. Karena itu, janganlah si sersan dan si kopral itu dikhianati. Mereka itu polisi yang sebenar-benarnya di republik ini. Bukan para atasan yang jarang memperhatikan.
Waktu PPATK menemukan adanya transaksi mencurigakan di rekening 15 polisi, bagaimana perasaan Anda?
Saya prihatin kenapa ada pers yang terlalu maju. Misalnya, soal 15 personel polisi dikatakan sebagai 15 perwira tinggi. Sebab, ternyata perwira tinggi—si pemilik rekening yang transaksinya mencurigakan itu—hanya tiga. Dua orang lainnya sudah purnawirawan. Lainnya, perwira menengah dan bintara.
Kabarnya jumlahnya mencapai RP 800 miliar. Bagaimana menjelaskan seperti ini?
Menurut saya, PPATK tidak pernah menyebut angka. Saya khawatir itu dugaan dan bisa saja dikaitkan dengan seseorang. Berangkat dari sana, saya melihat beberapa media sudah melakukan liputan bagus. Mereka mereportase rumah-rumah perwira. Bagus-bagus juga. Tapi itu juga belum bisa dijadikan jaminan.
Dalam kasus itu, kesannya polisi tidak serius menangani masalah ini. Sudah dilaporkan seminggu, tapi polisi juga belum melakukan apa-apa?
Sebagai seorang pimpinan, Kapolri tentu sudah tahu latar belakang masalahnya, tapi beliau kan juga perlu melihat dulu, siapa yang harus diberi tugas menangani masalah ini. Beliau pun harus yakin. Tentu beliau butuh waktu berpikir. Pembenahan internal ini juga tak bisa selesai dalam seminggu atau dua minggu.
Solusi apa yang harus diambil dalam kasus rekening ini?
Semua pihak jelas menginginkan agar ada pembenahan internal dan penegakan hukum. Tapi masalah ini sangat sulit. Membuktikan tindak pidana yang dilakukan seorang penegak hukum itu luar biasa sulitnya. Para penegak hukum itu sudah tahu celah-celah hukum. Mereka sangat lihai memainkannya dan bagaimana keluar dari lubang-lubang. Selain itu, ada solidaritas sesama polisi.
Saya tak banyak berharap bisa dilakukan dengan mengandalkan pembenahan internal dan dibebankan ke Jenderal Sutanto. Kami juga butuh pengawasan eksternal dengan tetap memperhatikan dukungan internal. Bagaimanapun, keinginan masyarakat agar polisi bersih amatlah perlu disambut.
Jadi, menurut Anda, pembenahan apa yang harus dilakukan di polisi?
Moral. Di PTIK, kami mulai dari pendekatan agama. Pesan-pesan moral lainnya juga saya titipkan melalui para dosen. Lalu, di akhir pendidikan, saya berdialog dengan para mahasiswa itu. Kami berdiskusi soal dunia di luar mereka, juga soal komitmen mereka akan tugas dan pengabdian, termasuk kemungkinan masalah yang timbul, misalnya kalau kita begini, dan atasan kita begitu, bagaimana mengatasinya. Saya berikan kiat-kiatnya.
Di akhir masa pendidikan, selain mereka, para istri perwira itu juga digembleng. Ini faktor penting untuk menghindari perilaku menyimpang. Kami membawa mereka ke Pondok Pesantren Daarut Tauhid, Bandung. Setelah itu, baru bisa diwisuda.
Dari segi internal Polri, misalnya penegakan hukum di dalam, seberapa jauh sudah berjalan?
Saya mulai dari lembaga pendidikan ini. Beberapa tahun lalu saya minta mahasiswa PTIK meneliti sejumlah penyimpangan di Polri. Tahun 2003, mahasiswa PTIK angkatan 38, misalnya, menemukan adanya penyimpangan di semua tempat, kecuali dalam pembinaan personel. Mereka memang kurang berani dalam soal personel karena menyangkut balas dendam dengan penguasa manajemen personel dalam penempatan mereka setelah tamat PTIK.
Tahun berikutnya, mahasiswa angkatan 39A juga meneliti hal serupa. Kali ini mereka lebih berani. Bahkan nama, satuan, dan keterangan orangnya juga ada waktu ujian skripsi. Setelah itu sempat diminta untuk diusut, tapi saya tolak karena ini akademis, ilmiah, bukan kasus.
Sebenarnya, itu penelitian sederhana yang intinya agar polisi, baik sebagai individu maupun lembaga, introspeksi diri. Daripada orang lain yang mengkritik, kenapa tidak dilakukan dari dalam sendiri? Selain itu, bisa jadi komitmen moral bagi para perwira muda. Mudah-mudahan, kalau mereka bekerja nantinya, mereka bisa mencegah penyimpangan. Juga, sebagai cermin agar mereka tidak mudah tergoda melakukan penyimpangan.
Penyimpangan yang ditemukan dalam penelitian itu kabarnya juga soal transaksi jabatan?
Saya tidak setuju disebut transaksi. Seakan ada yang jual, ada yang beli. Kemungkinan itu kecil. Yang terjadi adalah pola interaksi yang intens membuat seseorang di suatu waktu dihadapkan pada kondisi yang tidak akan lepas dari hubungan emosional. Dalam pola hubungan kita yang paternalistik, kondisi itu sangat mempengaruhi penegakan hukum.
Soalnya, begitu hubungan itu diembel-embeli dengan upeti dan upeti itu dalam bentuk uang berjumlah besar, maka yang muncul adalah utang budi. Orang-orang begitu cenderung mendapat tempat enak. Itu yang terjadi.
Setelah penelitian, kabarnya, sempat muncul kelompok reformis di tubuh Polri?
Oh… itu yang suka bikin surat ya? Mereka itu termasuk kelompok yang tidak puas saja dengan kondisi. Tidak masalah. Sekarang ini, semua kritik, ketidakpuasan, akan ditampung. Kapolri akan memberikan kesempatan kepada semua personel, baik individu, melalui satuan, angkatan sekolahnya untuk menyampaikan semua persoalan kepada satu tim yang diketuai Gubernur PTIK.
Keluhannya apa saja?
Sejauh ini masih diinventarisir. Kita lihat dalam dua atau tiga minggu ini. Yang jelas, semua akan kami inventarisir, kami dalami akar masalahnya. Bagaimana situasi dan kondisinya. Lalu rekomendasi yang akan kita ambil untuk memperbaiki sikap dan perilaku, sistem dan aturan main, juga praktek manajemen.
Farouk Muhammad Tempat & Tanggal Lahir:Bima, 17 Oktober 1949 Pendidikan :
- Akabri Kepolisian 1969-1972
- Kursus Pengawas Keselamatan Negara 1974
- Pendidikan Perwira Administrasi Intelijen Pengamanan Polri 1977-1978
- Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian Jakarta 1979-1981
- Sekolah Staf dan Pimpinan Polri 1985-1986
- Institut of Business and Management Jayakarta, Jakarta 1991-1993
- Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta 1992-1996
- Master of Criminal Justice Administration dari Oklahoma City University Oklahoma, AS 1993-1994
- Doktor dari Florida State University, Tallahassee, AS 1994-1998
- Staf Polres Timor Tengah Selatan NTT 1973-1978
- Staf Asisten Perencanaan dan Anggaran Polri 1981-1985
- Kapolres Cilegon 1986-1988
- Kapolres Cianjur 1988-1990
- Staf Pengajar dan Peneliti di PTIK 1990-1998
- Kabag Pembinaan Kejuangan/Dosen TIK
- Kepala Biro Organisasi dan Tata Laksana Setjen Dephankam
- Wakil Gubernur PTIK 2000-2001
- Kapolda Nusa Tenggara Barat 2001
- Kapolda Maluku, Januari 2002
- Gubernur PTIK 2002 sampai sekarang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo