Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bangkit dengan Visi Energi

Agus Lasmono mengembalikan kejayaan klan Sudwikatmono di kancah bisnis Indonesia. Terlibat di semua rantai pasokan energi berbasis batu bara.

6 Agustus 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seiring dengan berakhirnya era Orde Baru pada 1998, bisnis di Indonesia tak lagi ditentukan oleh siapa yang bisa menembus pintu belakang sebuah rumah di Jalan Cendana, Menteng, Jakarta Pusat. Mereka yang dekat dan memiliki hubungan dengan mantan presiden Soeharto justru tak mudah mendapat kepercayaan pemilik modal atau lembaga keuangan.

Sebagai saudara sepupu Soeharto, mendiang Sudwikatmono pernah merasakan sukses di industri karet, film, semen, properti, hingga tepung terigu. Peruntungan Dwi—panggilan akrab Sudwikatmono—berputar 180 derajat ketika kekuasaan Soeharto runtuh. Bisnisnya ikut terjerembap. Kekayaannya terpangkas, antara lain untuk menutup utang Bank Surya, yang menelan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia Rp 1,65 triliun.

Namun Dwi menunjukkan mentalitas sebagai pebisnis ulet. Hanya dua tahun berselang sejak krisis ekonomi, dia bangkit kembali dan mencoba peruntungan di bidang energi. Pada 2000, PT Dipta Diwangkara, yang belakangan dikenal sebagai PT Indika Energy Tbk, berdiri. Dwi menggandeng Wiwoho Basuki Tjokronegoro dan mengawinkan Indika Energy dengan Tripatra (PT Tripatra Engineers & Construction dan PT Tripatra Engineering). Grup usaha ini ahli dalam penyediaan layanan rekayasa teknik, pengadaan, dan konstruksi terpadu untuk industri minyak dan gas.

Wiwoho didapuk sebagai presiden komisaris. Adapun anak bungsu Dwi, Agus Lasmono, menjadi wakil presiden komisaris. Para pemegang saham mempercayakan pengelolaan sehari-hari kepada M. Arsjad Rasjid P.M. sebagai presiden direktur dan Wishnu Wardhana sebagai wakil presiden direktur. Keduanya bukan orang asing bagi Agus. Mereka sohibnya saat kuliah di Pepperdine University, California, Amerika Serikat. Bukan kebetulan pula Wishnu merupakan menantu Wiwoho.

Sekitar 2003, Indika mulai melirik bisnis batu bara. Saat itu ada kabar penting sampai ke telinga pemimpin perusahaan. Berdasarkan informasi dari sebuah perusahaan listrik Cina, sebanyak 50 persen batu bara di Cina akan menjadi cadangan nasional. "Kami berasumsi pasokan batu bara dari Cina akan terganggu, dan ada kesempatan di bidang ini," kata Arsjad, pertengahan Juni lalu. Mereka melihat ada masa depan yang cerah di bisnis komoditas ini.

Sejak itu, Indika melakukan pendekatan ke beberapa perusahaan batu bara. Pada saat bersamaan, PT Kideco Jaya Agung, produsen batu bara terbesar ketiga di Indonesia, sedang melakukan divestasi. "Kami ikut tender dan memenangi proses divestasi," kata Arsjad. Akuisisi 46 persen saham perusahaan Korea itu menghabiskan US$ 150 juta dan dirampungkan pada 2004.

Penguasaan tambang dan produksi batu bara Indika tak berhenti sampai di situ. "Dua hal yang aktif kami lakukan adalah melihat akuisisi aset dan area baru yang potensial untuk eksplorasi," kata Wishnu. Pada 2012, Indika mengambil alih PT Multi Tambangjaya Utama (MTU) dan PT Mitra Energi Agung. "Sekarang fokus utama kami supaya MTU berproduksi," kata Arsjad. Perusahaan ini diharapkan bisa mulai menghasilkan 1 juta ton batu bara pada 2013.

Cadangan batu bara Indika kini mencapai 1,8 miliar ton. Pada 2011, anak perusahaan Indika, Kideco, menghasilkan 31,5 juta ton, sementara Santan Batubara 1,7 juta ton. Pada tahun mendatang produksi diharapkan mencapai 37 juta ton.

Dengan modal visi dan tekad kuat para pengelolanya, Indika ingin menjadi perusahaan yang terlibat di semua rantai pasokan energi berbasis batu bara. Tak mengherankan bila usaha jasa energi yang diso­kong Tripatra tetap dipertahankan. Pilar usaha ini bahkan diperkuat dengan mengakuisisi PT Petrosea Tbk, perusahaan ahli rekayasa teknik dan manajemen proyek. Nilai Petrosea saat diambil alih pada 2009 mencapai US$ 120 juta.

Di sektor hilir, Indika mengakuisisi PT Mitrabahtera Segara Sejati Tbk, pada 6 April 2011. Penyedia jasa transportasi dan logistik ini bisa melengkapi rantai distribusi batu bara.

Indika juga menanamkan modal pada pusat pembangkit listrik berbahan bakar batu bara (PLTU) Cirebon Electric Power. Proyek ini hasil kerja sama dengan Marubeni Corporation, Komipo-Korea Midland Power Ltd, dan Samtan Co Ltd.

Proyek itu adalah pembangkit listrik generasi pertama yang ditender secara internasional sejak krisis keuangan pada 1998. "Dan kami memenanginya pada 2005," kata Wishnu. Pembangkit berkapasitas 660 megawatt ini mengalirkan setrum ke Perusahaan Listrik Negara mulai 2012.

Bisnis Indika dan anak-anak perusahaannya berkembang pesat pada 2011. Dari hasil berdagang batu bara, pendapatan Kideco melonjak hingga 41,2 persen menjadi US$ 2,3 miliar. Kinerja Kideco yang ciamik bisa mempercantik laporan keuangan Indika. Pendapatan grup naik 38,4 persen menjadi Rp 5,21 triliun. Sedangkan laba bersih perusahaan meningkat sampai 43,7 persen hingga mencapai Rp 1,11 triliun.

Sukses Indika membawa nama klan Sudwikatmono meroket kembali ke puncak bisnis. Agus bahkan tercatat sebagai salah satu orang terkaya di Indonesia. Di usianya yang 39 tahun, kekayaan Agus sudah mencapai US$ 980 juta.

Kini tinggal bagaimana mempertahankan keberhasilan yang sudah dicapai selama lebih dari 10 tahun terakhir. Tantangan baru yang menghadang para pebisnis adalah jatuhnya harga batu bara di pasar dunia. Dulu harga komoditas ini bisa mencapai US$ 120 per ton, kini sudah anjlok mendekati US$ 88 per ton.

Kendati situasinya tak menggembirakan di segi harga, Indika tidak terlalu khawatir dengan permintaan. Sekitar 90 persen pelanggannya merupakan konsumen akhir yang membutuhkan batu bara untuk produksi listrik. "Mereka tidak mungkin mematikan pabriknya. Jadi, mau tidak mau harus mengambil barang," ujar Wishnu. Apalagi, untuk tahun ini, 70 persen batu bara yang diproduksi sudah pasti terjual karena terikat kontrak.

Masalah yang mungkin muncul, menurut Wishnu, adalah negosiasi pengiriman barang dan kontrak baru. Konsumen akan memilih pembelian dengan harga spot atau di pasar berjangka, tergantung hitungan yang paling menguntungkan. Itu sebabnya Wishnu meminta semua anak perusahaan melihat kembali rencana bisnis, belanja modal, dan basis pelanggan.

Harga yang rendah, Wishnu menambahkan, akan menyebabkan terjadinya konsolidasi besar di bisnis batu bara. Perusahaan tambang kecil yang tidak efisien akan tutup. Soalnya, mereka biasanya tak disiplin mengatasi kenaikan biaya. Ketika harga batu bara jatuh tapi ongkos bahan bakar dan upah tenaga kerja malah naik, otomatis margin akan terkikis. "Pengusaha yang hanya punya kuasa pertambangan akan tersisih," katanya.

Wishnu dan Arsjad menilai inilah akhir bagi pengusaha kemarin sore yang tidak serius. Bisnis ini, kata mereka, tidak bisa dianggap sepele. Ini bukan sekadar mengeruk lapisan bumi dan menjual produk sebanyak-banyaknya. "Bandingkan saja dengan perusahaan lain. Kenaikan produksi kami tidak besar. Kami tidak mau mengubah struktur biaya," kata Arsjad. Struktur biaya, menurut dia, merupakan kunci bertahan dari kondisi perubahan harga yang tidak menentu. "Kita tidak bicara bisnis untuk satu-dua tahun saja," ujarnya.

Turunnya harga batu bara juga akan membuat orang sadar bahwa bisnis ini tidak lagi menghasilkan keuntungan dengan mudah dalam waktu singkat. Alhasil, akan ada beberapa manfaat positif. Misalnya jual-beli izin yang terjadi selama ini akan mereda. Tinggal bagaimana pemerintah mampu memanfaatkan situasi ini. "Bisa digunakan untuk merekonsolidasi kembali izin-izin yang dikeluarkan tidak keruan. Lalu disusun kembali," kata Wishnu.

Pada akhirnya, Arsjad dan Wishnu meramalkan, hanya perusahaan besar yang bisa mengontrol struktur biaya yang mampu bertahan. Pasar masih bisa bertahan jika hanya kekurangan pasokan 3-6 juta ton. "Tapi pasar tidak sanggup kehilangan produsen seperti Kideco, yang memproduksi 35 juta ton batu bara. Kalau terjadi, pasar akan rusak," kata Wishnu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus