Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAUH dari hiruk-pikuk Jakarta, Luhut Binsar Panjaitan punya mimpi di Kampung Jawa, Kabupaten Kutai Kartanegara. Paling tidak tiga bulan sekali, pensiunan jenderal bintang empat ini berkunjung ke sana. Sekitar dua jam perjalanan darat dari Samarinda, tepatnya setelah melewati Jembatan Dondang yang melintang di atas Sungai Sangasanga, di situlah lokasi tambang PT Adimitra Baratama Nusantara berada.
Adimitra salah satu anak usaha PT Toba Bara Sejahtera Tbk, perusahaan yang dirintis Luhut Panjaitan tujuh tahun silam. Saham Toba Bara resmi diperdagangkan di Bursa Efek Indonesia pada awal Juli lalu. Dengan cadangan batu bara sekitar 117 juta ton dan luas konsesi tambang 2.990 hektare, Adimitra menjadi salah satu tulang punggung Toba Bara di bisnis batu bara.
Hampir 50 persen total produksi Toba Bara disumbangkan Adimitra. "Total produksi semua unit usaha kami pada tahun ini diharapkan mencapai 12,7 juta metrik ton," kata Luhut saat ditemui di Wisma Bakrie II, akhir Mei lalu. Dari target itu, 5,7 juta ton batu bara diharapkan datang dari Adimitra. Tak aneh bila sejumlah alat berat ukuran jumbo sibuk lalu-lalang di sekitar lokasi tambang di Kampung Jawa, Sangasanga.
Didatangi akhir Juni lalu, tempat penimbunan (stockpile) batu bara tak jauh dari kantor Adimitra, yang jaraknya 15 kilometer dari pos penjagaan. Dengan memakai konveyor, batu bara yang telah dihancurkan itu diangkut menuju jeti milik Adimitra yang berjarak cuma 5 kilometer. "Saya beruntung karena lokasi tambang kami di prime area," ujar pria kelahiran Simargala, Huta Namora, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara, ini. Walhasil, biaya transpor Adimitra cukup rendah.
Dari situ, batu bara diangkut memakai tongkang melalui anak Sungai Mahakam sepanjang 65 kilometer menuju Muara Jawa atau 120 kilometer menuju Muara Berau, lalu dimuat ke kapal dan dikirim ke Korea Selatan, India, Cina, Jepang, dan Taiwan. Kualitas batu bara yang dihasilkan 5.200-5.800 kilokalori per kilogram.
Tujuh tahun lalu, pria 64 tahun ini melirik bisnis batu bara karena butuh pasokan buat menyuplai bahan bakar pembangkit listrik. Pada saat itu, ia tengah membangun pembangkit listrik 30 megawatt di Palu, Sulawesi Tengah. Dia membidik sejumlah lokasi tambang di Kalimantan. Salah satunya, ya itu tadi, tempat Adimitra sekarang beroperasi.
Ia masih ingat, ketika itu, harga batu bara belum ada artinya. "Waktu itu, saya tidak menyangka harga batu bara bakal bagus seperti sekarang," katanya. Cadangan batu bara yang dimilikinya pun belum sebesar sekarang. Perlahan-lahan, setelah pengeboran kiri-kanan, cadangan batu bara Toba Bara membengkak. Menurut Luhut, berkah itu kian berlipat setelah harga batu bara di pasar dunia meroket lima tahun silam. Tak aneh bila batu bara mendadak menjadi primadona pengusaha Jakarta. Harga batu bara di pasar dunia hingga akhir tahun ini diperkirakan tak berbeda jauh dengan rata-rata tahun lalu, sekitar US$ 94 per metrik ton.
Adimitra sendiri mulai berproduksi pada 2008. Tahun itu produksinya baru 111 ribu ton. Tiga tahun berselang, total produksinya sudah berkisar di angka 3,7 juta ton. Tak cuma dari Adimitra, sumber pendapatan Toba Bara disumbangkan PT Indomining. Dengan luas konsesi tambang 683 hektare, lokasi penambangan Indomining persis bersebelahan dengan lokasi tambang Adimitra. Produksi batu bara Indomining tahun lalu 1,42 juta ton.
Toba Bara masih memiliki anak usaha lain, yakni PT Trisenta Mineral Utama. Mulai beroperasi pada Oktober tahun lalu, Trisenta memiliki luas konsesi tambang 3.414 hektare, dengan estimasi sumber daya batu bara 43 juta ton. Tahun lalu, produksi batu bara yang dihasilkan Trisenta baru 40 ribu ton, sedangkan tahun ini diharapkan bisa menyentuh 480-500 ribu ton.
Sejumlah perusahaan itu menopang kinerja keuangan Toba Bara. Tahun lalu, misalnya, laba bersih yang dihasilkan Toba Bara Rp 1,04 triliun, naik 100 persen dibanding perolehan laba pada tahun sebelumnya. Laba sebesar itu berasal dari total produksi batu bara sebesar 5,24 juta ton. Pada 2010, total produksi batu bara Toba Bara cuma 3,92 juta ton.
Induk perusahaan Toba Bara adalah PT Toba Sejahtra, yang bergerak di bisnis sumber daya alam, pembangkit listrik, dan kelapa sawit. Perusahaan ini menguasai 82,42 persen saham Toba Bara sebelum menjadi perusahaan terbuka. Kini saham PT Toba Sejahtra di Toba Bara terdilusi menjadi 73,3 persen.
Sebagai pendiri perusahaan, Luhut menguasai 99,98 persen saham Toba Sejahtra. Perusahaan ini memiliki tiga anak usaha lain, yakni PT Kimco Armindo, PT Pancaran Surya Abadi, dan PT Kutai Energi--semuanya bergerak di bisnis batu bara dan beroperasi di Kalimantan Timur.
Setelah Toba Bara masuk lantai bursa, Luhut menyiapkan sejumlah rencana. Dana yang diraup dari penawaran saham perdana di lantai bursa bakal dialokasikan buat belanja modal kegiatan pertambangan, infrastruktur, dan fasilitas penunjang lain. Tahun ini saja, Toba Bara menganggarkan belanja modal Rp 270 miliar. Hingga tiga tahun ke depan, dana yang dianggarkan buat belanja modal perseroan Rp 500 miliar.
Sisanya disiapkan buat mengakuisisi konsesi lahan pertambangan dan eksplorasi area konsesi Toba Bara Sejahtera. Dengan luas 7.087 hektare dan estimasi sumber daya batu bara 236 juta metrik ton, Luhut berikhtiar mengakuisisi sejumlah kuasa pertambangan buat menambah lahan konsesi yang sudah di dalam genggaman.
Meski terhitung sebagai pemain baru, kiprah Luhut di bisnis batu bara diperhitungkan banyak orang. Sejumlah pemilik kuasa pertambangan di Kalimantan Timur dan Kalimantan Tengah menawarkan kerja sama. Menurut Luhut, mereka ingin berkongsi setelah melihat hasil yang dicapai Toba Bara. "Mereka tahu kami bekerja dengan benar," kata Luhut. "Apalagi tidak gampang meningkatkan produksi dari nol."
Presiden Direktur PT Kimco Armindo, Suheldi, menambahkan, PT Toba Sejahtra berikhtiar menambah empat tambang batu bara lagi. Tiga lokasi tambang berada di Kalimantan Tengah, satunya di Kalimantan Timur. Itu sebabnya target produksi semua anak usaha perusahaan tahun ini diharapkan menembus 12 juta metrik ton.
Menurut Luhut, pencapaian yang diperÂolehnya itu berkat solidnya kerja sama tim di level manajemen. "Kerja sama inilah yang dengan cepat meningkatkan produksi kami," ujarnya. Kerja sama yang kompak itu, kata lulusan terbaik Akademi Militer angkatan 1970 ini, tak lepas dari disiplin militer yang ia terapkan. Pendekatan militer itu, kata Luhut, berguna saat membuat perencanaan dan mengambil keputusan.
Meski hampir 80 persen pendapatan perusahaan ditopang bisnis batu bara, Luhut mengaku bisnis batu bara bukan tujuan utama. "Saya tidak bangga kalau cuma sekadar menebang hutan dan ngorek-ngorek batu bara," ujarnya. Menteri Perindustrian dan Perdagangan di era Presiden Abdurrahman Wahid ini berikhtiar mengembangkan infrastruktur listrik di daerah pedalaman. "Permintaan listrik itu tidak pernah berhenti," katanya, "kecuali kalau Indonesia mau gelap-gulita."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo