Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berjaya Berkat Batu Bara

Bagi mereka, obrolan tentang mobil mewah tak lagi terdengar bergaya. Pembicaraan mereka mengenai tunggangan telah berganti ke jenis dan koleksi jet pribadi. Belasan miliar rupiah untuk ongkos pelesiran dalam sepekan sudah dianggap lumrah. Uang memang tak lagi jadi masalah buat para pengusaha batu bara. Bagi satu-dua dari mereka, duit sebanyak itu bahkan bisa ludes dalam semalam di meja dadu atau bakarat di Pantai Marina Singapura, Genting Highland Malaysia, atau Makau.

Laba bisnis batu bara sungguh luar biasa. Banyak pelakunya mendadak kaya raya atau berlipat ganda hartanya. Pemain kelas kampung bertingkah bak raja kecil di daerahnya. Adapun pengusaha besar yang menguasai gurita bisnis itu menempati jajaran orang paling tajir di negeri ini. Mereka semua biasanya juga sangat berpengaruh di panggung politik, baik secara langsung maupun di belakang layar.

Dalam edisi kali ini, sebagian wajah para "raja batu bara" ini akan kami kupas. Bukan hanya gaya hidup jetsetnya, melainkan juga perjuangan mereka merangkak dari bawah dalam membangun bisnis serta beragam sengketa yang harus dihadapi. Bagaimana pula mereka menyiasati jatuhnya harga bahan bakar ini akibat krisis dan pasokan gas yang melimpah.

6 Agustus 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di kalangan pengusaha pertambangan, batu bara kerap dipelesetkan menjadi akronim dari "barang Tuhan (di)-bagi rata". Bahan bakar berupa karbon hitam membatu ini melimpah ruah di banyak kawasan di Tanah Air, seperti Sumatera bagian selatan, hampir di sekujur Kalimantan, bahkan ditemukan pula di beberapa wilayah di Papua. Sebagian berada ratusan meter di bawah lapisan batuan. Tak sedikit pula yang hanya satu-dua meter tertutup permukaan tanah atau gambut dan tumpukan dedaunan di lantai hutan.

Dalam catatan Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, cadangan batu bara Indonesia hingga akhir 2011 mencapai 28 miliar ton. Angka ini naik 33,3 persen dari akhir tahun sebelumnya, yakni 21 miliar ton. Menurut R. Sukhyar, Kepala Badan Geologi, cadangan bertambah lantaran meningkatnya kegiatan eks­plorasi yang dilakukan para produsen batu bara.

Selain cadangan yang meningkat, Badan Geologi mencatat kenaikan sumber daya batu bara dari hasil pemetaan, yaitu sebesar 53,3 persen. Persisnya dari 105 miliar ton pada akhir 2010 menjadi 161 miliar ton pada 2011. Dari total sumber daya tersebut, sekitar 41 miliar ton berada di tambang bawah tanah dengan kedalaman lebih dari 100 meter. "Sekitar 120 miliar dari sumber daya batu bara itu berada di tambang terbuka," ujar Sukhyar beberapa waktu lalu.

Dengan kondisi itu, para penambang tak perlu repot menggangsir batu bara melalui lubang-lubang penambangan yang sulit dan penuh risiko seperti di Cina atau sejumlah negara di Amerika Selatan. Di banyak lahan tambang di Kalimantan, sebagian pengusaha bahkan bisa menangguk untung dua kali di area yang sama. Di atas lahan, mereka memanen kayu meranti, bangkirai, bahkan kayu ulin, yang bernilai ekonomi tinggi. Setelah habis kayunya, mereka hanya perlu sedikit menggaruk tanah dengan ekskavator dan buldoser, lalu memanen batu bara.

Sejarah penambangan batu bara di Nusantara bisa ditarik jauh ke belakang hingga masa pemerintahan kolonial Belanda pada 1849, ketika NV Oost Borneo ­Maatschappij mulai menggalinya di Pengaron, Kalimantan Timur. Kemudian menyusul eksploitasi di Ombilin, Sawahlunto, hingga Bukit Asam di Sumatera Selatan.

Pamor batu bara meredup lantaran makin canggihnya teknologi dalam memompa minyak bumi dan gas. Hingga pertengahan 1970-an, saat terjadi krisis minyak, banyak pihak mulai melirik kembali sumber energi yang harganya lebih murah ketimbang minyak ini. Saat itu pula pemerintah Indonesia mulai mendorong dilakukannya pemetaan dan pencarian sumber cadangan baru di berbagai lokasi.

Namun gairah untuk menggali bahan energi ini tak serta-merta membara. Harganya yang masih terlalu rendah membuat investor tak tertarik. Apalagi, meski secara teknologi tak sulit, ongkos untuk menambangnya tak bisa dibilang murah. Lokasi yang jauh ke pedalaman belantara membuat biaya angkutnya mahal. Lantaran kondisi itu, pada 1992, total produksi batu bara nasional tercatat masih di angka 22,95 juta ton.

Perubahan drastis di bisnis batu bara terjadi pada dekade berikutnya, saat ekonomi mulai bangkit seusai diterpa krisis pada 1998. Konsumsi listrik terus meningkat, pembangkit baru dibangun. Itu berarti permintaan akan bahan bakar, termasuk batu bara, kian bertambah. Pada 2005, produksi batu bara kita sudah jauh melonjak menjadi 151,6 juta ton. Total sumber daya yang bisa diidentifikasi juga makin menggunung sampai sebesar 61,36 miliar ton.

Semangat menambang batu bara didorong pula oleh terus melambungnya harga minyak dunia. Komoditas ini dengan cepat menjadi magnet baru. Di lantai bursa, saham perusahaan seperti Bumi Resources, Adaro, Bayan Resources, dan Bukit Asam semakin diburu. Batu bara menjadi bahan bakar pendorong laju indeks dan menggemukkan pundi-pundi para pemegang sahamnya.

Perlombaan untuk mendapatkan konsesi batu bara pun semakin sengit. Izin usaha penambangan terus diterbitkan oleh para bupati yang mendapatkan kuasanya berkat otonomi daerah, tak peduli lokasi itu berupa hutan lindung atau lahan yang sudah dikuasai pihak lain. Sengketa pun merebak akibat praktek obral izin ini.

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mendata, dari sepuluh ribu lebih izin yang diterbitkan—sebelum dihentikan Undang-Undang Mineral dan Batu Bara pada 2009—sekitar separuhnya tumpang tindih kepemilikannya. Dampak lainnya berupa kerusakan hutan dan lingkungan akibat para penambang merambah kawa­san yang semestinya terlarang.

Sengketa dan saling sikut di antara para penambang pun berlangsung sengit di ruang sidang pengadilan. Saling adu beking yang melibatkan aparat hukum atau tentara merupakan hal biasa. Tak sedikit pula konflik berupa bentrok brutal di lapangan.

l l l

Liputan khusus Tempo kali ini menampilkan para pengusaha yang bisa disebut sebagai "Raja Batu Bara Indonesia". Mereka antara lain Samin Tan di Bumi Resources, T.P. Rachmat dan Boy Tohir di Adaro, Agus Lasmono dan Wishnu Wardhana di Indika Energy, Datuk Low Tuk Kwong yang menguasai Bayan Resources, serta Kiki Barki Makmur di PT Harum Energy.

Pemain lain yang kami ulas adalah sejumlah jenderal yang ikut menangguk kemakmuran dari usaha tambang ini. Di jajaran ini ada Letnan Jenderal (Purnawirawan) Luhut Binsar Panjaitan, yang mengumpulkan rekan-rekan seangkatannya di Akademi Militer 1970 di PT Toba Sejahtera, hingga Letnan Jenderal (Purnawirawan) Ito Sumardi, yang mengaku mendapat 20 persen saham kosong di sebuah perusahaan ketika ia masih menjabat Kepala Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI.

Ada pula jenderal yang berperan sebagai "pemain figuran". Mereka sekadar dipasang sebagai komisaris dan dijadikan beking alias jagoan untuk menakuti lawan bisnis atau warga kampung di sekitar tambang.

Di bagian lain, kami tampilkan persaingan sengit di antara para pengusaha batu bara di tingkat lokal. Misalnya para jawara di daerah, seperti di Tanah Bumbu dan Sungai Danau di Kalimantan Selatan, yang saling sikat dalam berebut konsesi dan penggalian. Mereka saling caplok seperti predator di alam liar. "Di dunia tambang batu bara Kalimantan memang berlaku hukum rimba. Siapa kuat, dia menang," kata Rizanie Anshari, Direktur Pusat Studi Antikorupsi di Kalimantan Selatan.

Janji rezeki berlimpah dari emas hitam ini menggoda pula sejumlah pesohor panggung hiburan. Sebut saja Yuni Shara, Julia Perez, Indra Bruggman, Maia Estianty, Tommy Kurniawan, dan beberapa lainnya. Ada yang malu-malu mengakui, karena sebenarnya memang tak banyak tahu seluk-beluk bisnis ini. Ada pula yang berlagak seperti pemain lama yang sungguh paham urusan tambang.

Entah sampai kapan mereka bisa berjaya dengan mengandalkan berkah batu bara. Pemerintah memprediksi, dengan cadangan dan laju eksploitasi yang berjalan saat ini, boleh jadi komoditas ini masih bisa ditambang sampai 80 tahun ke depan.

Pada Februari lalu, Ketua Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia Bob Kamandanu berani menargetkan produksi nasional batu bara tahun ini bakal naik 10 persen dibanding pada 2011. "Bisa sampai 370-380 juta ton," ujarnya. Target itu jauh dari angka yang dipatok pemerintah, yakni 332 juta ton, atau naik dari tahun lalu yang sebesar 327 juta ton batu bara.

Optimisme Bob itu disampaikan ketika harga batu bara masih berada di kisaran US$ 110 per ton. "Dalam tiga bulan ke depan ada kemungkinan masih akan naik," katanya saat itu. "Salah satu pemicunya adalah permintaan Cina yang terus meningkat." Dan perkiraannya tak jauh meleset di kuartal pertama, dengan produksi yang sudah mencapai 90 jutaan ton.

Tapi, pada bulan-bulan berikutnya, asumsi Bob bertolak belakang dengan kenyataan di lapangan. Krisis ekonomi berkepanjangan di Eropa berimbas pada anjloknya harga batu bara hingga US$ 80-an per ton. "Situasi ini bisa berlangsung sampai setahun atau bahkan dua tahun ke depan," Wakil Direktur Utama Indika Energy Wishnu Wardhana mengingatkan.

Selain karena krisis ekonomi, Wishnu menyebutkan ancaman lain yang datang dari penemuan teknologi yang makin efisien dalam menyedot gas alam, yang disebut shale gas, terutama di Amerika Serikat. Tak seperti gas alam konvensional yang ditemukan di cekungan lapisan bumi pada kedalaman sekitar 800 meter atau lebih, shale gas terdapat di lapisan bebatuan ­(shale formation) di kedalaman lebih dari 1.500 meter.

Kendati sudah lama ditemukan dan mulai dikembangkan pada 1970-1980-an, gas jenis ini baru diproduksi secara komersial pada dekade terakhir. Situasi itu mengubah gambaran mengenai cadangan gas di dunia secara dramatis. Inilah yang kerap dianggap sebagai penyebab sesungguhnya dari jatuhnya harga komoditas bahan bakar lain, seperti minyak dan batu bara.

"Hari-hari ini harga gas di Amerika hanya US$ 2-3. Itu sebabnya, batu bara di sana tak ada harganya, dan sebagian bisa sampai ke pasar Cina dengan harga yang bersaing dengan batu bara kita," kata Wishnu. "Bila itu terus terjadi dan penambang di sini tak menyesuaikan struktur biaya produksinya agar lebih efisien, musim gugur bisnis batu bara—terutama yang kecil-kecil—hanya tinggal menunggu waktu."


Tim Edisi Khusus Raja Batu Bara
Penanggung jawab: Nugroho Dewanto, Pemimpin proyek: Y. Tomi Aryanto, Editor: Nugroho Dewanto, Hermien Y. Kleden, M. Taufiqurohman, Purwanto Setiadi, Idrus F. Shahab, Budi Setyarso, L.R. Baskoro, Bina Bektiati, Qaris Tajudin, Penulis: Y. Tomi Aryanto, Wahyu Dhyatmika, Yandhrie Arvian, Ali Nur Yasin, Setri Yasra, Retno Sulistyowati, Evieta Fajar P., Agoeng Wijaya, Bobby Chandra, Harun Mahbub, Eka Utami Aprilia, Kontributor: Firman Hidayat, Kukuh S. Wibowo, Sutji Decilya, Jayadi Supriadin, Anwar Siswadi, Khaidir Rahman, S.G. Wibisono, Driyandono (PDAT), Riset foto: Jati Mahatmaji, Desain: Djunaedi, Aji Yuliarto, Agus Darmawan Setiadi, Tri W. Widodo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus