Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Melawan Perundung Seksual di Ranah Digital

Sejumlah perempuan menjadi korban kekerasan seksual di dunia maya. Video ataupun foto telanjang diambil tanpa persetujuan dan digunakan untuk mengancam korban.

 

28 November 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi kekerasan seksual berbasis gender online. TEMPO/Nita Dian

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Tren kekerasan berbasis gender siber terus meningkat dari tahun ke tahun.

  • Kekerasan seksual di dunia maya tersebut sebagian besar dilakukan oleh orang terdekat.

  • Sebagian masyarakat belum memahami konsep consent atau persetujuan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SETELAH lima bulan berpacaran, Mawar--bukan nama sebenarnya--memilih untuk putus dengan kekasihnya pada akhir Mei lalu. Alih-alih menjadi lebih bahagia, dia justru menjadi korban kekerasan di dunia maya. Sang pacar tidak terima mereka putus dan mengancam akan menyebarkan foto bugil Mawar.

 

Mawar tidak menyangka, saat berpacaran, lelaki itu mengambil gambarnya tanpa persetujuan. Mulanya, si kekasih meminta video call melalui aplikasi WhatsApp. Pacarnya itu membujuk Mawar untuk telanjang. “Dia bilangnya untuk konsumsi pribadi,” tuturnya kepada Tempo, Kamis lalu. Ternyata pria itu diam-diam mengambil gambar atau screenshot dari video itu.

 

Mawar pun panik menghadapi ancaman itu. Kekalutan itu justru makin dimanfaatkan oleh sang mantan. Dia meminta Mawar membuat banyak video atau foto telanjang jika tidak ingin foto bugil sebelumnya disebar. Mawar makin tertekan, lantaran dia tidak bisa menceritakan masalah tersebut kepada keluarga ataupun kawan dekatnya. Mahasiswa itu khawatir justru disalahkan meski ia menjadi korban kekerasan seksual. “Saya tidak tahu harus gimana.”  

 

Mawar kemudian mencari akun aktivis feminis di Instagram. Ia disarankan untuk melapor ke gugus tugas kekerasan gender siber yang diinisiasi oleh PurpleCode Collective, komunitas pemerhati gender dan teknologi. Gugus tugas bergerak cepat merespons aduan Mawar dengan membentuk grup WhatsApp beranggotakan Mawar, dua pendamping, dan satu pengacara. Perempuan berusia 18 tahun itu menceritakan masalah tersebut. “Di sana, kami mulai diskusi,” ujarnya.

Dhyta Caturini berdiskusi tentang kekerasan berbasis gender online dalam Lokakarya Take Back the Tech, September 2019. Instagram/ @purplecode_id

 

Seorang pengacara pun menjadi wali Mawar menghadapi kasus kekerasan gender siber itu. Mereka sepakat membuat tuntutan kepada mantan pacar Mawar dengan isi, antara lain, permohonan maaf, menghapus seluruh gambar bugil itu, dan menghentikan ancaman. Pada awal Juni, gugus tugas bertemu dengan bekas pacar Mawar secara online untuk menyampaikan tuntutan itu. Pria tersebut pun mengakui kesalahannya, menghapus seluruh foto bugil Mawar, dan berhenti mengancam. Hingga kini, Mawar tidak pernah lagi mendapat gangguan.  

 

Mawar mengingatkan agar perempuan lainnya tidak mudah percaya meski kepada kekasihnya. Tujuannya, agar tidak menjadi korban kekerasan berbasis gender siber (KBGS) seperti dirinya. “Kalau jadi korban KBGS, segera lapor,” katanya. “Kalau tidak, kekerasan terhadap perempuan di dunia maya akan selalu ada.”

 

***

 

Attra--bukan nama sebenarnya--juga sempat menjadi korban kekerasan gender siber. Peristiwa tersebut terjadi pada 2017-2018. Pada Juni 2017, dia tengah menjalani proses perceraian dengan suaminya. Kondisi mental Attra jatuh saat proses perpisahan tersebut. Suatu kali, pada Oktober 2016, ia berkenalan dengan seseorang dalam sebuah acara. Orang itu bertindak seolah-olah ingin melindungi Attra dari mantan suaminya.  

 

Attra kemudian mengizinkan orang itu tinggal bersama di rumahnya. Namun ia memanipulasi agar Attra merasa sangat bergantung padanya. Pelaku pun menguasai kata sandi e-mail, akun media sosialnya, hingga kartu ATM. “Bahkan orang tua tidak bisa menelepon saya langsung dan harus lewat dia,” tutur perempuan berusia 34 tahun ini.

 

Belakangan, Attra baru menyadari pelaku memanfaatkan kelinglungannya ketika menghadapi proses perceraian itu. Setelah berbulan-bulan kemudian, Attra tidak mengizinkan lagi orang tersebut tinggal di rumahnya. Keributan dan perkelahian pun tak terhindarkan.

Ilustrasi melawan kekerasan seksual berbasis gender online. TEMPO/Nita Dian

 

Masalah tak selesai di sana. Pelaku menghubungi dan mengancam akan menyebarkan foto dan video Attra yang tengah mandi dan berganti pakaian. “Saya tidak tahu saat mandi dan ganti baju itu direkam oleh dia,” katanya.

 

Pelaku kemudian menyebarkan foto ataupun video Attra ke mantan suami dan teman-temannya disertai informasi sesat demi membunuh karakter Attra. Belakangan, pelaku juga melaporkan Attra ke polisi dengan tuduhan penganiayaan. “Pelaku meminta saya menerimanya kembali.”  

 

Attra melaporkan kasus kekerasan tersebut kepada Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada Oktober 2018. Komnas merujuk penanganan kasus itu pada Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK).

 

Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) juga ikut menangani kasus kekerasan terhadap Attra. “SAFEnet membantu saya memulihkan akun-akun medsos, e-mail, hingga Internet banking,” ujar Attra. “SAFEnet juga berupaya mengurangi exposure saya di dunia maya.”

 

SAFEnet kemudian mengingatkan pelaku untuk berhenti mengancam menyebarkan foto dan video Attra. SAFEnet juga mengingatkan bahwa pelaku bisa dilaporkan balik ke penegak hukum jika masih melakukan perundungan di dunia maya tersebut. Belakangan, polisi juga menerbitkan surat penetapan penghentian penyidikan (SP3) atas pelaporan pelaku yang menuduh Attra menganiaya dirinya. Surat itu terbit pada Juli lalu.

 

Attra mendorong agar perempuan korban kekerasan siber berani melaporkan kasusnya kepada Komnas Perempuan ataupun komunitas pemerhati gender dan teknologi. “Jangan takut untuk minta tolong,” katanya.

 

***

 

Dukungan untuk Wakil Ketua Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Era Purnama Sari diunggah di Instagram YLBHI. TEMPO/Nita Dian

Kekerasan gender di dunia maya juga menimpa Wakil Ketua Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Era Purnama Sari. Dia mendapat fitnah melalui sebuah situs berita pada 8 Agustus 2019. Saat itu situs menerbitkan artikel berjudul “Wakil Ketua Advokasi YLBHI Era Purnama Sari Diduga Selingkuh dengan Kepala Dinas Perhubungan”. Berita tak benar lainnya berjudul “Astaga Dipergoki Selingkuh, Era Purnama Sari Dipukuli Arman hingga Babak Belur”.

 

Era menjelaskan artikel fitnah itu terbit setelah YLBHI merampungkan hasil investigasinya atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam penangkapan anggota Serikat Mandiri Batanghari (SMB) di Jambi. Dia ditugasi YLBHI melakukan investigasi pelanggaran HAM yang terjadi pada sekitar pertengahan Juli 2019 tersebut.

 

Hasil investigasi menemukan adanya pelanggaran HAM terhadap anggota SMB yang sebagian besar petani. Mereka ditangkap, disiksa, hingga dilarang bertemu dengan keluarganya. Para petani itu terlibat konflik lahan dengan perusahaan hutan tanaman industri di daerah tersebut. Hasil investigasi itu sudah disampaikan kepada Komnas HAM.  

 

Era melaporkan serangan secara siber itu ke Komnas Perempuan. Dia juga melayangkan somasi pada situs berita yang mengabarkan informasi sesat terkait dirinya. “Karena perempuan, saya diserang sisi seksualitas dengan tuduhan selingkuh,” ujarnya. “Ternyata jadi aktivis HAM juga belum aman dan ini sangat mengganggu.”

 

***

 

Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini, menjelaskan tren kekerasan berbasis gender siber meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2017, Komnas Perempuan mendapat 16 aduan kekerasan gender di dunia maya. Namun, pada tahun lalu, jumlahnya naik menjadi 942 kasus.

 

Rini--sapaan akrab Iswarini--menerangkan pandemi Covid-19 menjadi salah satu faktor meningkatnya jumlah kasus KBGS. Sebab, sebagian besar interaksi beralih ke dunia maya. Kejahatan gender di dunia maya ini diperparah oleh tidak tahunya perempuan bahwa dirinya telah menjadi korban.

 

Rini meminta korban kekerasan di dunia maya  ini berani melaporkan kejahatan itu kepada Komnas Perempuan maupun komunitas pemerhati gender dan teknologi. “Kami akan mendampingi korban,” tuturnya.

 

Kepala Subdivisi Digital At-Risks SAFEnet, Ellen Kusuma, menambahkan, sebagian kasus yang ditangani SAFEnet merupakan penyebaran konten intim tanpa persetujuan atau nonconsensual dissemination of intimate images (NCII). Data SAFEnet menyebutkan sepanjang 2020 menerima 620 kasus KBGS--sebanyak 248 kasus merupakan rujukan dari Komnas Perempuan. Dari jumlah itu, penyebaran konten intim tanpa persetujuan sebanyak 208 kasus; NCII dengan motif hubungan 149 kasus; hingga NCII dengan pemerasan 111 kasus.

 

Menurut Ellen, masyarakat harus menghormati persetujuan saat berinteraksi di dunia maya. Namun masih banyak pelaku dan korban kekerasan gender siber tidak memahami konsep persetujuan tersebut. “Padahal, ketika tidak mengindahkan consent seseorang, artinya privasi orang tersebut dilanggar,” ujarnya.

 

Belum pahamnya masyarakat tentang konsep persetujuan itu juga terlihat dari adanya kalangan yang mempersoalkan terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Sebagian kalangan menganggap aturan itu melegalkan zina lantaran adanya frasa “tanpa persetujuan korban”.

 

Penolak aturan itu berpendapat kekerasan seksual menjadi sah jika mendapat persetujuan korban. “Itu kan sesat pikir, karena consent itu kan otonomi diri.”  

 

GANGSAR PARIKESIT

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Gangsar Parikesit

Gangsar Parikesit

Menjadi jurnalis Tempo sejak April 2014. Liputannya tentang kekerasan seksual online meraih penghargaan dari Uni Eropa pada 2021. Alumnus Universitas Jember ini mendapatkan beasiswa dari PT MRT Jakarta untuk belajar sistem transpotasi di Jepang.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus