Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Banjir Izin di Sepanjang Sungai

Kenaikan harga beli listrik energi hidro menggairahkan bisnis pembangkit listrik tenaga air skala mini dan mikro. Investor berlomba memburu izin.

17 Maret 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA turbin—bergaris tengah sekitar satu meter—dan tiga generator telah terpasang rapi di power house pembangkit listrik mini hidro Cisono di Kabupaten Lebak, Banten. Sodetan Sungai Cisono yang dibendung akan digunakan untuk memutar turbin. Berikutnya turbin bakal menggerakkan generator, yang akan menghasilkan setrum sebanyak tiga megawatt.

Pekerjaan sipil, seperti membuat bendung, water way, dan power house, hampir rampung ketika Tempo berkunjung ke proyek milik PT Cisono Hydro, akhir Februari lalu. Cisono Hydro adalah perusahaan patungan Achmad Kalla melalui PT Bukaka Teknik dan mantan Komisaris Utama PT PLN (Persero) Alhilal Hamdi melalui PT Sang Saka Hidro. Alhilal adalah Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada era Presiden Abdurrahman Wahid.

"Tinggal memasang panel-panel kontrol listrik," ujar Alhilal. Targetnya, April mendatang pembangkit listrik tenaga air skala kecil ini beroperasi. Perusahaan siap mengalirkan setrum yang dihasilkan ke jaringan distribusi milik PLN terdekat.

Selain mengerjakan proyek di Lebak, Alhilal menggarap proyek minihidro di Cianjur, Jawa Barat, bekerja sama dengan PT Medco Power Energy. Sebuah pembangkit mini—memanfaatkan Sungai Cibala—berkapasitas sembilan megawatt sedang dalam tahap konstruksi. Diharapkan setrum mengalir masuk ke sistem PLN pada triwulan pertama 2014. Masih ada dua proyek serupa milik Alhilal, juga memanfaatkan aliran Sungai Cibala. Investasinya Rp 10-13 miliar per megawatt.

Pembangkit mini hidro lain juga mulai dikerjakan tahun ini, yakni milik Tri Mumpuni, di Desa Penggang, Subang, Jawa Barat. Tri Mumpuni selama ini dikenal sebagai pelopor pembangkit mikrohidro, dengan memberdayakan masyarakat lokal. Kali ini ia menggarap minihidro. Bedanya, pembangkit mikrohidro hanya memiliki kapasitas di bawah satu megawatt.

Melalui Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan, Tri Mumpuni merancang pembangkit berkapasitas 2,8 megawatt memanfaatkan aliran Sungai Cilamaya. Nantinya setrum akan dijual ke PLN. Sebuah koperasi warga telah disiapkan untuk mengelola proyek tersebut. Di Subang, pembangkit mikrohidro rancangan Tri telah beroperasi, yakni di Desa Curugagung. Memanfaatkan aliran Sungai Ciasem, pembangkit berkekuatan 13 kilowatt itu cukup untuk menerangi 121 rumah di seluruh desa.

Potensi energi hidro Tanah Air memang besar, diperkirakan mencapai 75 ribu megawatt. Di Papua saja setidaknya ada 52 sungai yang diprediksi bisa menghasilkan listrik sebanyak 22 ribu megawatt. Sayang, baru sekitar lima persen dari potensi itu yang telah dimanfaatkan.

Tapi belakangan bisnis pembangkit bertenaga hidro mendapat set­rum semangat. Tepatnya sejak terbit Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 31 Tahun 2009 tentang harga pembelian tenaga listrik oleh PT PLN (Persero) dari pembangkit tenaga listrik yang menggunakan energi terbarukan skala kecil dan menengah atau kelebihan tenaga listrik. Aturan itu menetapkan tarif listrik yang dihasilkan pembangkit energi hidro naik dari Rp 457 menjadi Rp 656 per kilowatt-jam (kWh), khusus untuk Jawa dan Bali.

Harga listrik pembangkit yang berlokasi di Sumatera dan Sulawesi mendapat insentif tambahan, yakni 1,2 kali lebih mahal ketimbang di Jawa. Adapun insentif untuk pembangkit di Kalimantan, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur 1,3 kali lebih mahal dibandingkan dengan di Jawa. Bahkan harga listrik pembangkit di Papua mendapat bonus 1,5 kali lebih mahal.

Hasilnya mujarab. Peraturan itu sukses menghidupkan energi hidro, yang semula lesu. Sejumlah proyek pembangkit mini dan mikrohid­ro perlahan mulai terbangun. Selama ini ratusan perjanjian jual-beli listrik mini dan mikrohidro telah diteken PLN, tapi yang terealisasi kurang dari lima persen.

Di Sumatera Utara, misalnya. Dari sekitar 40 proyek yang telah memasuki tahap penandatanganan jual-beli listrik, baru tiga proyek yang menghasilkan setrum. Di Jawa Barat, dari 20-an perjanjian jual-beli listrik, yang terealisasi bisa dihitung dengan sebelah jari tangan. "Tarif memang sangat elastis terhadap keekonomian usaha kelistrikan," kata Alhilal.

Pada harga lama, Alhilal menambahkan, tiga proyek saja yang bisa jalan. Antara lain, pembangkit mini hidro Parlitan (tujuh megawatt) milik Bukaka dan Simalungun (enam megawatt) kepunyaan Bersaudara Group di Sumatera Utara. Lantaran banyak keluhan dari produsen, akhirnya pada 2009 pemerintah menyesuaikan harga listrik menjadi Rp 560-an per kWh. Penyesuaian tarif berlaku untuk proyek yang sudah beroperasi atau sudah dilakukan penandatanganan perjanjian jual-beli.

Achmad Kalla menilai penyesuaian tarif itu telah menyelamatkan proyek-proyek PLTA kecil, sehingga tidak perlu bernegosiasi lagi. Ia menceritakan pengalaman alotnya berunding harga dengan PLN. "Masya Allah... dua tahun itu nego. Toh, ujungnya harga di sekitar Rp 700 juga."

Sejak penyesuaian tarif itu, para pemodal menjadi rajin blusukan ke pedalaman mencari sungai-sungai yang berpotensi dikembangkan menjadi pembangkit mikro atau minihidro. Mereka ramai-ramai mengajukan izin pengelolaan air sungai kepada bupati setempat. Alhasil, sebagian besar sungai telah habis terkaveling.

Situasi ini membuat Achmad Kalla geleng-geleng kepala. Carilah sekarang, ujar dia, lokasi untuk PLTA. Hampir semua bagian sungai yang berpotensi menghasilkan listrik telah dimiliki orang. "Ada milik bupati, saudara bupati. Ada satu orang yang mengantongi belasan izin, tapi enggak dikerjakan." Izin pengelolaan air sungai bertebaran. Jual-beli izin pun marak terjadi. Laris manis, layaknya jual-beli area konsesi tambang batu bara.

Pernah suatu hari Achmad blusuk­an ke pedalaman. Ia menemukan sungai yang diperkirakan belum terjamah. Kondisinya menarik untuk pembangkit minihidro. "Saya pikir ini sungai ada di ujung dunia, di ujung hutan. Eh, ada juga pemiliknya," katanya tak habis pikir. Kini Achmad kebingungan mencari lokasi baru. Begitu pembangkit minihid­ronya rampung terbangun semua tahun ini, tak ada lagi proyek baru yang bisa dikerjakan.

Soal ini, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik mengaku punya cara menanganinya. Ia sedang merancang aturan penyesuaian harga (feed-in tariff). Nantinya semua pemegang izin pembangkit listrik yang belum mengerjakan proyeknya harus mengajukan ulang proposal. "Bila dalam waktu sekian bulan tidak mulai, cabut izinnya."

Menurut Direktur Utama PT PLN (Persero) Nur Pamudji, sebagian konsesi pembangkit energi hidro sekarang dimiliki perusahaan yang tidak punya kemampuan finansial. Hal serupa terjadi di banyak proyek pembangkit energi baru dan terbarukan. Penyebabnya, pemerintah daerah terlalu mudah menerbitkan izin. Ada yang lebih maju, yakni telah merampungkan beberapa studi sampai penandatanganan perjanjian jual-beli. Nyatanya, proyek yang terealisasi bisa dihitung jari. "Jadi sebatas kontrak saja."

Pembiayaan memang menjadi salah satu masalah pengembang pembangkit listrik energi hidro. Menurut Achmad, hampir semua bank tidak memiliki sumber daya manusia yang paham mengenai pembangkit listrik energi hidro, sehingga tidak bisa menganalisis kelayakan proyek. Maka jawaban yang paling gampang, "Maaf, kami enggak bisa. Masuk akal." Karena itulah Alhilal menggandeng Medco Power Energy.

Adapun Tri Mumpuni beruntung mendapatkan dana sebesar 1 juta euro dari perusahaan gas terbesar di Prancis, GDF Suez. Pinjaman lunak tanpa kolateral dengan tingkat bunga kurang dari tiga persen dan jangka waktu delapan tahun inilah yang menyelamatkan proyek listrik murah untuk rakyat garapannya.


Kincir Air Penghasil Listrik

Suara nyanyian para suporter mendukung klub sepak bola terdengar jelas kala Tempo melintasi jalanan di Bacu-Bacu. Terletak di lereng pegunungan—sekitar 200 meter dari permukaan laut—desa pedalaman ini berada di Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan.

Topografinya segera membuat kita sangsi apa iya ada lapangan bola di desa yang letaknya "miring" ini. Benar saja, suara pekikan para suporter ternyata berasal dari televisi penduduk. Tapi, di seluruh desa, tak terlihat satu pun tiang listrik. Jadi, dari mana penduduk mendapat sumber energi?

Kepala Desa Bacu-Bacu, Ansar, mengatakan, sejak 2008, penduduk desanya telah menikmati listrik dari kincir air pembangkit listrik. "Desa menjadi terang, warga bisa nonton televisi, anak-anak bebas belajar di malam hari," katanya kepada Tempo, yang berkunjung ke sana pada Februari lalu.

Sudah hampir 150 rumah terpasang listrik hasil dari pembangkit listrik tenaga air itu. Semua kincir air dibuat warga secara swadaya, tanpa bantuan pemerintah. Ada tujuh instalasi kincir air, tersebar di tiga dusun. Pemerintah Kabupaten Barru pernah memberi bantuan dua genset pembangkit listrik pada 2008. Tapi genset berbahan bakar solar itu hanya mampu menerangi beberapa rumah. Kendala lain adalah tingginya harga solar—belum lagi sulit mendapatkan bahan bakar minyak.

Alhasil, genset hanya berumur dua bulan, lalu teronggok tak terpakai. Harianto Akbar, mahasiswa asal Bacu-Bacu, melihat genset tersebut saat pulang liburan ke desa. "Bapak sering meminta saya mencari cara bikin listrik di desa," ujar Anto—panggilan Harianto. Mahasiswa jurusan kimia Universitas Negeri Makassar ini pun mulai meriset. Dan, dia segera terpikat pada informasi ini: listrik bisa diciptakan dari tenaga air. "Sungai di desa kami mengalir sepanjang tahun," katanya.

Anto memberanikan diri meminta kepala desa mengumpulkan masyarakat. Kepada mereka, anak muda ini menjelaskan pemanfaatan air sungai untuk membangkitkan tenaga listrik. Pada awalnya hanya empat orang yang sudi percaya pada idenya dan mau bekerja sama.

Dengan peralatan seadanya, Anto membangun turbin, membuat kincir dari kayu bekas, dan merancang instalasi dari kabel seharga Rp 500 per meter. Kayu aren dan bambu dia sulap jadi pipa. Ia menggunakan genset bekas sebagai sumber tenaga penggerak.

Saat uji coba, lampu indikator menyala. Air yang deras menghasilkan listrik berkekuatan tiga kilowatt-jam (kWh), cukup untuk menerangi enam rumah. Dari kincir sederhana itu, Anto berpikir untuk membentuk pembangkit yang lebih tahan lama—karena kayu yang dia gunakan hanya bertahan sekitar dua bulan.

Dia dan warga desa lantas patungan membeli generator bekas berkapasitas lima kWh. Waktu itu terkumpul uang Rp 6 juta. Turbin kincir yang awalnya dari kayu kini diganti besi bekas roda traktor. Saluran batang aren dan bambu diganti pipa. Generator baru ini mampu menerangi 15 rumah.

Anto menceritakan, pembuatan kincir air sempat beberapa kali ia ulang. Di awal percobaan, generator sama sekali tak berfungsi. "Mungkin karena tekanan air dari atas kurang," ujarnya. Pembangkit baru bisa benar-benar digunakan pada akhir 2008. Listrik dari kincir air pada tahun awal tersebut mereka gunakan untuk menerangi jalan desa serta beberapa rumah.

Tiga bulan lewat. Anto membangun lagi generator berkekuatan 10 kWh. Akhir 2009, berdiri instalasi kedua tak jauh dari yang pertama. Alhasil, selain rumah, sekolah dan masjid ikut terang. Penduduk pun mendirikan lima generator lagi sesudah itu. "Alhamdulillah, sudah ada yang pakai televisi dan kulkas. Padahal sebelumnya mereka hanya bermimpi kampung mereka bisa dialiri listrik," kata Anto.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus