Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Biomassa Masih Tersia-sia

Dari kotoran hewan, sampah kota, sampai cangkang sawit, potensi biomassa di Nusantara hampir 50 ribu megawatt. Terhambat biaya investasi yang tinggi.

17 Maret 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Langit masih gelap saat Huda Wibawa mulai sibuk di atap sebuah rumah di Desa Purworejo, Kecamatan Sanan Kulon, Blitar, Jawa Timur, awal Maret lalu. Pagi itu, anak kepala desa ini harus bergegas karena sebentar lagi si pemilik rumah akan segera memerlukan aliran gas untuk memasak di dapur dan pabrik kerupuknya. "Sejak semalam mampet," kata Huda sambil sesekali mengguncangkan pipa pralon berdiameter 3/4 inci yang menjulur di rumah milik Supardi itu.

Beberapa kali ruas pipa dilepas dari sambungannya, ketemulah biang sumbatan. Rupanya air dari sisa kondensasi telah menghalangi aliran gas dari sumbernya, sebuah tangki lima kubik yang tertanam di dekat kandang sapi, sekitar 10 meter di belakang rumah. Beres sudah. Supardi tak perlu lagi khawatir tentang pasokan bahan bakar buat dua kompor dan ovennya, yang setiap hari mengolah 18 kilogram terigu bahan kerupuknya.

"Dari sinilah kami mendapatkan gas," Huda, pemimpin proyek pemanfaatan kotoran sapi untuk biogas di Purworejo itu, menjelaskan sambil menunjuk kotoran dari lima ekor sapi di dalam kandang Supardi. Sebagai ketua kelompok yang mendapatkan pelatihan teknis, Huda bertugas menangani setiap keluhan yang berhubungan dengan proyek yang didanai Program Desa Mandiri Energi di Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa itu. "Sudah delapan unit yang terpasang di desa ini. Setidaknya 30 unit lagi masih bisa dikembangkan."

Pengolahan limbah peternakan seperti di Blitar itu adalah contoh sederhana dari pemanfaatan biomassa untuk memenuhi kebutuhan energi. Selain untuk bahan bakar, dalam skala lebih besar, gas metana yang dihasilkan bisa digunakan sebagai pembangkit listrik. Sumbernya pun membentang luas dan beragam, dari kotoran hewan, sampah kota, sisa pengolahan kayu dan perkebunan, hingga tumbuhan yang ditanam khusus, seperti rumput dan bambu.

Menurut M. Sofyan, Kepala Divisi Energi Baru dan Terbarukan PT PLN (Persero), potensi energi yang bisa oleh biomassa ini sangat besar. "Potensinya lebih dari 49 ribu megawatt," katanya, Senin pekan lalu. Jumlah itu hampir dua kali lipat kapasitas pembangkit Jawa-Bali yang 28 ribu megawatt.

Biomassa yang dikembangkan di Blitar itu memang belum menyentuh listrik. Namun manfaatnya sudah banyak dirasakan Supardi. Sejak empat bulan lalu, ia bisa memangkas biaya pembelian arang tiga kuintal per hari. Jika harga arang Rp 3.000 per kilogram, setidaknya ia menghemat Rp 900 ribu saban hari atau sekitar Rp 300 juta per tahun. Padahal biaya membangun digester biogas hanya Rp 20 juta.

Tentu saja tak semua peternak sapi punya usaha lain seperti Supardi. Karena itu, program biogas ini hanya akan ekonomis jika dibangun di kandang komunal dan pemanfaatannya dibagi rata. "Peternakan dengan 60 ekor sapi bisa menyuplai gas di 14 rumah," Huda menjelaskan. Dan itu hanya dimungkinkan jika para peternak bersatu.

Komunalisasi kandang dan sarana pengolahan limbahnya itu pula yang kini sedang diupayakan Komar Purnama, 47 tahun, di Desa Haur Ngombong, Kecamatan Pamulihan, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Bersama Adang, adiknya yang jadi kepala desa di sana, Komar merintis pembangunan digester biogas sejak 2003. "Gara-garanya harga minyak tanah yang terus naik waktu itu," Komar bercerita.

Desa seluas 219 hektare yang dihuni 1.500 keluarga itu kini memiliki tiga kelompok beranggotakan 100 peternak. "Total ada sekitar 1.100 ekor sapi. Dan, selama ada sapi di kandang, biogas selalu mengalir," kata Adang. Manfaat lain adalah hilangnya bau busuk yang selama ini menguar ke seantero desa.

Tapi, Komar melanjutkan, gagasan membuat kandang komunal itu ternyata tak gampang, bahkan boleh dibilang berhenti di tengah jalan. "Tidak semua peternak rajin bekerja mengolah kotoran kandang," ujarnya. Itu sebabnya mimpi Komar untuk bisa memasok sepenuhnya kebutuhan energi di desanya dari kotoran sapi tak kunjung kesampaian.

Secara nasional, potensi biomassa yang tersia-sia juga luar biasa. Dari perkiraan cadangan hampir 50 ribu megawatt, Sofyan mengakui PLN baru menyerap total 70 megawatt listrik per tahun dari sumber biomassa. "Itu yang kami beli. Sebagian besar dari sampah tandan kosong dan cangkang sawit," katanya.

Ia menjelaskan, umumnya perusahaan perkebunan sawit menggunakan pembangkit dari sisa pengolahan hasil kebun mereka untuk keperluan sendiri. Jika ada kelebihan daya, mereka menjualnya ke PLN. "Jadi 70 megawatt itu ekses energi yang mereka jual ke kami. Artinya, angka sebenarnya listrik yang dihasilkan lebih besar. Kebanyakan di Sumatera."

Menurut Sofyan, PLN membeli listrik dari biomassa dengan harga sekitar US$ 11 sen atau Rp 1.050 per kWh. Tapi untuk beberapa kontrak lama masih berlaku harga lebih rendah, yakni Rp 870 per kWh. "Dulu belum ada aturan feed-in tariff seperti sekarang, yang lebih tinggi ketimbang listrik dari pembangkit air yang di bawah US$ 9 sen per kWh."

Penerapan harga baru itu terbukti mulai membuat beberapa pelaku usaha tertarik melirik biomassa, termasuk dengan mengolah sampah kota seperti Jakarta dan sekitarnya. Sofyan memberi contoh, di tempat pembuangan sampah Bantar Gebang sudah ada 10 megawatt, dan Pertamina ingin mengembangkan lagi 120 megawatt.

PLN juga sedang dalam proses meneken perjanjian pembelian listrik dengan pemerintah kota di Surabaya dan Bandung, kira-kira sebesar 10 megawatt dari pengolahan sampah. "Sampah di Denpasar ada dua megawatt. Di Bangka-Belitung kami juga mendapat tambahan listrik dari sampah cangkang kelapa sawit," ujarnya.

Direktur Gas PT Pertamina Harry Karyuliarto mengatakan kendala pengembangan energi berbasis biomassa ada pada kecilnya insentif fiskal dan masalah ketersediaan pasok­an. "Untuk biomassa, pilihan kami ada pada penggunaan sekam dan sampah."

Dia menyebutkan prastudi kelayakan yang sedang mereka jalankan untuk proyek pemanfaatan sekam di Sulawesi Selatan sebagai salah satu contoh. Khusus pengolahan sampah di Bantar Gebang, kata Harry, Pertamina akan mengembangkan bersama PT Godang Tua Jaya. "Ini sedikit lebih pasti ketimbang sekam di Sulawesi."

Meski sumbernya melimpah ruah di mana-mana, kelangsungan pasok­an biomassa masih menjadi kekhawatiran utama yang membayangi PLN. Sebab, ujar Sofyan, Malaysia dan Thailand juga giat membangun pembangkit berbahan biomassa seperti cangkang sawit. "Bisa jadi pasar ekspor cangkang sawit ini lebih menarik. Di sini persaingan harga bisa bermain. Kami membutuhkan jaminan pasokan itu."

Soal lain yang kerap membuat keder investor adalah modal awal yang lebih besar untuk membangun pembangkit non-BBM seperti biomassa. Jaya Wahono, pengusaha yang sedang mengembangkan pemanfaatan bambu sebagai bahan baku pembangkit listriknya di Bali, mengakui hal itu. Ia membandingkan, "Pembangkit biomassa termurah saat ini perlu investasi sekitar US$ 1.000 per kWh, sedangkan diesel hanya US$ 300 per kWh."

Namun, kata dia, biaya operasional dan perawatan untuk pembangkit biomassa jauh lebih rendah dibanding membakar solar. "Diesel di atas 30 sen dolar per kWh. Biomassa hanya sepertiganya." Dengan begitu, sampai periode tertentu, Jaya menilai pembangkit biomassa pasti lebih ekonomis.

Dengan hitungan serupa, PLN mulai menjalin kerja sama dengan beberapa pemerintah daerah untuk menyediakan lahan 200-an hektare­ yang nantinya akan ditanami akasia atau lamtoro. Setelah tiga tahun, dahan kayu akan dipotong-potong sebagai bahan baku biomassa. "Ini proyek community based dan sedang kami uji coba di Sumba Barat sebesar satu megawatt," kata Sofyan.

Dari masyarakat, PLN akan membeli cacahan kayu itu US$ 30 per ton. Dari hitungan mereka, harga itu masih lebih murah dibanding solar. "Jatuhnya 12 sen dolar per kWh, dan masyarakat akan mendapat penghasilan," ujar Sofyan. Kalau pola ini berhasil, program serupa akan diduplikasi di wilayah lain. Mereka punya target, di daerah terpencil semacam itu sudah ada 374 megawatt listrik dari biomassa pada 2020.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus