Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lima pembangkit listrik tenaga surya sudah beroperasi dalam sebulan terakhir. Tiga di Bali dan dua lainnya di Sulawesi Utara. Yang terbesar, dengan seratus panel surya, dibangun di Karangasem, Bali. Di atas lahan 1,5 hektare, panel-panel itu berdiri dengan tinggi kurang dari satu meter. Namun kapasitasnya tidak besar, hanya satu megawatt, untuk memasok 100 rumah di Desa Datah.
Proyek tersebut dibangun dengan investasi Rp 26 miliar. "Ini akan menjadi percontohan untuk pengembangan pihak swasta," kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik ketika meresmikan pembangkit tersebut, akhir bulan lalu. Waktu pengerjaannya hanya sekitar lima bulan, sejak groundbreaking pada Oktober tahun lalu.
Kementerian Energi memang sedang mengurangi pemakaian bahan bakar minyak untuk kelistrikan. Harga minyak yang tak kunjung turun menjadi alasan utama. Sebagai perbandingan, harga listrik dengan pembangkit minyak bumi mencapai US$ 40 sen per kilowatt-jam (kWh). Kalau memakai tenaga surya, biayanya hanya setengahnya.
Tidak lama setelah peresmian lima pembangkit itu, pemerintah berencana memperluas pemakaian pembangkit serupa di daerah terisolasi. Menteri Keuangan Agus Martowardojo menilai pembangkit surya bisa menjadi solusi untuk mengatasi kelangkaan listrik. Belum lagi harga minyak di daerah terpencil cenderung berkali lipat dibanding di kota besar.
Untuk itu, pemerintah akan memberikan insentif kepada pihak yang ingin membangun pembangkit tenaga surya. "Jadi, silakan investasi," kata Agus. "Nanti output-nya akan diberikan ke PLN." Bahkan, ia mengatakan, pemerintah berani memberikan insentif lebih banyak untuk pihak swasta yang memakai komponen dalam negeri.
Sejalan dengan rencana itu, empat kementerian sepakat dengan harga pembelian listrik (feed-in tariff) pembangkit tenaga surya. Kementerian Energi, Kementerian Keuangan, Kementerian Badan Usaha Milik Negara, dan Kementerian Koordinator Perekonomian pada awal bulan ini setuju dengan harga maksimal US$ 25 sen per kWh.
Tarif tersebut berlaku untuk masa kontrak perjanjian jual-beli listrik selama 20 tahun. Setelahnya harga akan diturunkan secara bertahap. "Penurunannya tergantung nilai IRR-nya (internal rate of return)," ujar Direktur Jenderal Energi Baru dan Terbarukan Rida Mulyana. Hal itu dimungkinkan karena biaya pemeliharaannya kecil.
Tapi, dengan karpet merah dari pemerintah tersebut, bisnis pembangkit surya ini tidak serta-merta bergairah. Antariksa S. Puspanegara, Direktur PT Green Energy Nusantara, menilai pemerintah belum memiliki komitmen untuk mengembangkan energi terbarukan. "Banyaknya proyek yang memakai panel surya hanya untuk terlihat ramah lingkungan saja," katanya.
Ia mencontohkan, ada kepala daerah yang memasang panel surya untuk listrik satu lampu di depan kantornya. Jalan tol di Jakarta hingga Bandung pun ada yang memakai panel serupa untuk lampu penerangan, tapi banyak yang mati. "Inspeksi soal spesifikasi barangnya bagaimana?" ujar Antariksa.
Menurut pria yang sudah lima tahun menggeluti bisnis panel surya ini, sebenarnya insentif tidak terlalu diperlukan. Ia justru menunjuk soal bea masuk yang harus menjadi pertimbangan utama pemerintah. Apalagi 80 persen komponen listrik surya masih impor. "Kami sudah membayar pajak dan bea. Tapi, supaya barang bisa masuk, harus 'tujuh kali selamat siang'," katanya. Kiasan itu mengacu pada bentuk pemerasan yang biayanya bisa mencapai 30 persen dari harga barang.
Standardisasi dan spesifikasi teknisnya juga belum ada aturan bakunya. Padahal tidak semua panel surya dan baterai, yang diambil dari teknologi negara Barat, cocok untuk iklim tropis. Pemerintah juga tidak berani memberikan subsidi untuk energi surya. Kalau di Selandia Baru, ia mencontohkan, pemakaian energi matahari membuat meteran listrik bergerak mundur. "Kalau malam, meterannya bergerak maju lagi," ujar pria 49 tahun itu.
Direktur Utama PT PLN (Persero) Nur Pamudji sependapat dengan Antariksa. Pengembangan pembangkit listrik tenaga surya tidak cukup hanya dengan penetapan tarif. "Persoalannya pada teknologi yang mahal dan kebutuhan lahan yang besar untuk memasang panel," katanya. Peralatannya, terutama panel dan baterai, masih harus diimpor.
Akibatnya, ujar Nur, biaya investasi pembangkit surya mencapai 3,5 kali lipat lebih tinggi dari pembangkit listrik tenaga uap. Untuk satu megawatt listrik butuh tanah hingga 1,5 hektare. Kalau dengan bahan bakar fosil bisa dipangkas hingga setengahnya.
Indonesia memang negara yang kaya matahari. Tapi, menurut Nur, tidak segampang itu bisa memasang panel surya. India, Australia, dan Amerika Serikat bisa sukses menerapkan teknologi tersebut karena panel surya terpasang di daerah gurun. Intensitas mataharinya lebih besar dan konstan. "Hujan dan mendung membuat penyimpanan energi di sini tidak maksimal," katanya.
Dalam kurun 12 jam, intensitas matahari di Indonesia bisa berubah dengan drastis. "Yang paling tinggi pukul sebelas sampai dua siang," ujar Kepala Divisi Energi Baru dan Terbarukan PLN M. Sofyan. Padahal butuh sinar matahari selama empat setengah jam per hari tanpa henti untuk menangkap energi tersebut lalu memenuhi baterai.
Kondisi itu yang membuat beberapa proyek PLN yang memakai pembangkit matahari tetap disokong dengan diesel. Kombinasi semacam itu pula yang dipakai di Bunaken, Sulawesi Utara, dalam dua tahun ini. Pembangkit berenergi matahari kapasitasnya 300 megawatt, dan yang diesel 400 megawatt.
Direktur Utama PLN Dahlan Iskan, ketika itu, sempat meminta pengelola di Bunaken hanya memakai panel surya. Asumsinya, matahari di sana lumayan terik. Tapi cara itu tidak berhasil. Intensitasnya ternyata tidak stabil. Listrik menjadi tidak cukup menerangi rumah penduduk pada malam hari. "Sekarang panel dan baterai yang kami pakai besar, dan pada malam hari sebagian energi dari diesel disimpan dalam baterai," ucap Nur.
Kombinasi dua pembangkit ini biasa disebut hybrid. Ada dua macam desain. Pertama, dengan baterai untuk menstabilkan listrik ketika tiba-tiba tidak ada matahari. Baterai ini didesain untuk dipakai pada waktu tertentu, misalnya malam hari selama enam jam. Kedua, tanpa baterai. Energi matahari langsung masuk jaringan listrik PLN.
Menteri Energi pun mengakui masalah teknologi masih jadi kendala. Panelnya masih diimpor dari Jepang, Jerman, dan Italia. Tapi sebenarnya Indonesia punya bahan baku panel tersebut, yaitu silika. Jero sudah meminta PT Len Industri membuatnya. "Kalau masih sedikit yang pakai, berarti ia malas," katanya. "Tapi kalau dahsyat, semua provinsi pakai, ia pasti mau bikin."
Proyek di Karangasem pun sebagian besar komponennya masih diimpor. Hanya casing panel surya yang memakai produk dalam negeri. Pemerintah, Jero mengatakan, terus mendorong supaya lebih banyak pembangkit surya dibangun. "Sama seperti handphone, dulu kita impor semua," ujar Jero. "Begitu permintaan banyak, baru bisa bikin komponennya di dalam negeri."
Semua kendala tersebut membuat PLN dan swasta masih setengah hati mengembangkan pembangkit listrik tenaga surya. Sebagai contoh, dalam proyek pembangkit 10 ribu megawatt tahap kedua yang 60 persen memakai energi baru dan terbarukan, listrik matahari tidak disebut.
Rancangan pengadaan kelistrikan juga menggambarkan hal itu. Dalam perencanaan PLN, sampai 2021, pemakaian tenaga surya tidak sampai satu persen dari total 411 ribu gigawatt jam listrik yang dihasilkan. Fokus pengembangannya pun di wilayah terpencil di Indonesia bagian timur. PLN lebih memprioritaskan pemakaian batu bara dan gas.
Jadilah Lampu, Jadilah Senter
Peringatan kedatangan Injil pertama kali di Papua dua tahun lalu terasa berbeda. Gereja pertama di Pulau Mansinam, sekitar enam kilometer selatan Manokwari, mendapat aliran listrik tanpa tenaga diesel. Pengeras suara, lampu, hingga monumen salib yang menjadi ikon pulau itu menyala berkat listrik tenaga surya dan angin berkapasitas satu megawatt.
Pesta yang mereka rayakan setiap 5 Februari itu menjadi lebih berkesan. Beban membeli bahan bakar minyak yang harganya berpuluh kali lipat dibanding di Pulau Jawa hilang sudah. Gereja tidak lagi bergantung pada pembangkit diesel di pulau itu. Listrik dapat mereka nyalakan dengan mudah hingga malam hari.
Proyek ini merupakan inisiatif Greenpeace. Organisasi internasional yang berfokus pada isu lingkungan itu memakai jasa PT Green Energy Nusantara untuk memasang panel surya. Tapi, enam bulan setelah pemasangan, instalasi tersebut meledak. Direktur Green Energy Nusantara Antariksa S. Puspanegara masih ingat penyebabnya. "Listriknya dicuri tanpa memindahkan sakelar, sehingga beban terlalu berat," katanya.
Tiga bulan kemudian instalasi meledak lagi. Penyebabnya sama. Setelah masyarakat setempat diberi pengertian mengenai panel surya, pencurian tak lagi terjadi. PLN pun setahun kemudian mengalirkan listrik ke pulau berpenduduk sekitar 150 keluarga itu selama 24 jam, dari semula hanya enam jam pada malam hari. Sumber energinya adalah panel surya berkapasitas 80 kilowatt peak, menggantikan pembangkit listrik tenaga diesel sebelumnya.
Listrik tenaga surya memang menjadi solusi PLN untuk menerangi daerah terpencil atau terluar di Indonesia. Program andalan listrik tenaga surya perusahaan pelat merah itu bernama Sehen alias Super Ekstra Hemat Energi. Prinsipnya, setiap rumah penduduk mendapat panel surya seukuran 1,5 kali kertas folio dan tiga buah lampu led (light emitting diode). Lampu jenis ini membutuhkan daya lebih kecil ketimbang neon dan bohlam, sehingga hemat energi.
Setiap tiga bola lampu membutuhkan daya 220 lumen atau sekitar 40 watt. Sangat terang, bahkan bisa menerangi pesta dengan 50 undangan. Yang unik, dalam setiap lampu terdapat baterai. Kalau dicabut dari rumahnya, lampu berubah menjadi senter.
Direktur Utama PT PLN (Persero) Nur Pamudji mengatakan program ini berbeda dengan milik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral yang malah menjadi sasaran korupsi. Lampu dan instalasi panel surya tetap milik PLN. Perawatan dan penagihan listriknya masih dilakukan BUMN itu. "Masyarakat cukup bayar Rp 35 ribu per bulan," ujarnya. Jadi, masalah pencurian listrik, kecurangan pembacaan meteran, dan salah tagih tidak bakal terjadi.
Nur masih ingat setahun lalu ketika ia datang ke sebuah desa di Kupang, Nusa Tenggara Timur. Empat sungai harus ia lewati dengan perjalanan darat yang memakan waktu berjam-jam. Tapi ia ingin melihat sendiri malam menjadi terang. Benar saja, sekitar pukul sembilan, ia sampai di desa tersebut. Lampu tidak hanya dipakai untuk menerangi ruangan, tapi juga di samping rumah. "Mereka jadi bisa menukang pada malam hari," katanya.
Sebelum memakai panel surya, tiap rumah harus mengeluarkan Rp 100 ribu per bulan. Uang itu untuk membeli minyak tanah buat lampu sentir.
Program Sehen telah ada sejak 2010, ketika Dahlan Iskan memimpin PLN. Sampai akhir tahun lalu sudah ada 200 ribu pelanggan. Tapi program ini tidak selalu berjalan mulus. Warga di Desa Kotakawau, Kahunga Eti, Sumba, Nusa Tenggara Timur, misalnya, tidak semua mampu memasang lampu Sehen.
Ada pula warga yang membayar pemasangan Sehen dengan kambing. Uang untuk membayar tagihan listrik mereka dapatkan dari berjualan. "Kami membayar dengan usaha membuat tikar dan selendang," ujar Dawa Lukbeku, warga Desa Kotakawau, ketika ditemui Tempo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo