Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Sejumlah fasilitas publik di DKI Jakarta dibangun asal-asalan karena menyulitkan bahkan membahayakan para pengguna. Banyak pula jembatan penyeberangan orang (JPO) dan trotoar yang dibuat tak sesuai dengan standar.
JPO di depan Gedung Sapta Pesona, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, misalnya, lebar anak tangganya tak beraturan. Berdasarkan pantauan Tempo pada Jumat pekan lalu, beberapa anak tangga amat sempit sehingga jika sebagian kaki tak menapak di anak tangga.
Ternyata lebar anak tangga hanya sekitar 15 sentimeter sehingga berbahaya bagi pengguna karena bisa terjatuh atau terpeleset. JPO tersebut juga tak ramah bagi kaum difabel. JPO tak dilengkapi ramp yang berfungsi sebagai akses jalan bagi pengguna kursi roda. Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 19/PRT/M/2011 tentang Persyaratan Teknis Jalan dan Kriteria Perencanaan Jalan, disebutkan bahwa bagian tengah tangga JPO harus dilengkapi jalur kursi roda bagi penyandang disabilitas.
Tempo pun melihat jembatan sudah keropos oleh karat. Bukannya direnovasi, JPO hanya dilapisi dengan cat berwarna metalik.
Adapun trotoar di depan Gedung Sarinah, Jalan M.H. Thamrin, pada bagian tertentu hanya bisa dilalui oleh satu orang karena di sebelahnya ada lift yang terkoneksi ke jembatan penyeberangan. Namun lift tersebut sudah lama tak digunakan karena rusak.
“Harusnya (lift) diganti baru karena sudah rusak. Kalau begini, kan jadi enggak berguna. Sempit-sempitin jalan,” kata Larasita, 29 tahun, pejalan kaki.
Trotoar di sekitar gedung Badan Pengawas Pemilu juga tak ramah bagi difabel. Jalur pemandu untuk penyandang disabilitas malah mengarah ke tiang tong sampah yang ditanam di pinggir trotoar. Telah beredar pula di media sosial foto jalur pandu di trotoar Sarinah mengarah ke tiang. Setelah foto tersebut viral, tiang itu tidak ada lagi.
Tangga menuju Halte bus Transjakarta CSW di Koridor 13 juga menyusahkan pengguna dan tak ramah kaum difabel. Untuk menuju halte, warga harus melewati 117 anak tangga dengan ketinggian 20,7 meter. Pada 2017, Direktur Utama Transjakarta Budi Kaliwono pernah berjanji bakal membangun lift. Tapi janji itu belum ditepati hingga kini.
Gubernur DKI Anies Baswedan mengatakan telah menginstruksikan anak buahnya agar fasilitas umum dibangun dengan aman dan nyaman. Kepala Seksi Perencanaan dan Pemeliharaan Dinas Bina Marga DKI, Hans Mahendra, mengatakan tahun ini dianggarkan Rp 5 miliar untuk renovasi ringan JPO dan Rp 20 miliar untuk renovasi berat.
Adapun Kepala Hubungan Masyarakat Transjakarta, Wibowo, berdalih lift di halte CSW belum dibangun karena belum ada kontraktor yang bisa melakukannya.
Menurut Koordinator Koalisi Pejalan Kaki, Alfred Sitorus, mayoritas trotoar di Jakarta tak layak akses bagi pejalan kaki. Selain tak ramah bagi kaum disabilitas, jalur pedestrian juga kerap diokupansi oleh pedagang. Seharusnya, DKI membuat rancangan induk pembangunan trotoar yang matang. DKI baru membangun trotoar sepanjang 400 kilometer dari 2.600 kilometer yang dibutuhkan.
Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Yayat Supriyatna, berpendapat mayoritas fasilitas publik dibuat tak sesuai dengan kebutuhan. Seharusnya, setiap fasilitas publik berpedoman pada aturan perencanaan teknis dan sesuai dengan standar. “Faktanya, perencanaannya tidak baik,” ucap dia kepada Tempo, Sabtu pekan lalu.
YUSUF MANURUNG
Menyalahi Ketentuan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perencanaan pembangunan fasilitas umum seharusnya berpatokan pada aturan dan kebutuhan masyarakat. Namun sebagian besar fasilitas di DKI Jakarta mengingkari ketentuan.
Inilah aturan yang melandasi pembuatan fasilitas umum:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
#Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
- Pasal 25 menyebutkan bahwa fasilitas jalan harus dilengkapi dengan fasilitas bagi penyandang cacat.
#Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 19/PRT/M/2011 tentang Persyaratan Teknis Jalan dan Kriteria Perencanaan Teknis Jalan
- Pasal 26
(1) Jembatan penyeberangan pejalan kaki sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf a merupakan bangunan jembatan yang ditujukan untuk pejalan kaki menyeberang dari satu sisi jalan ke sisi jalan yang lainnya.
(2) Jembatan penyeberangan pejalan kaki harus dibangun dengan konstruksi yang kuat dan mudah dipelihara.
(3) Jembatan penyeberangan pejalan kaki memiliki lebar paling sedikit 2 meter dan kelandaian tangga paling besar 20 derajat.
(4) Jembatan penyeberangan pejalan kaki harus dilengkapi dengan pagar yang memadai.
(5) Pada bagian tengah tangga jembatan penyeberangan pejalan kaki harus dilengkapi bagian rata yang dapat digunakan sebagai fasilitas untuk kursi roda bagi penyandang cacat.
(6) Lokasi dan bangunan jembatan penyeberang pejalan kaki harus sesuai dengan kebutuhan pejalan kaki dan estetika.
- Pasal 29
(1) Trotoar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf d merupakan bangunan yang ditinggikan sepanjang tepi jalan yang ditujukan bagi lalu lintas pejalan kaki.
(2) Trotoar harus dirancang dengan memperhatikan:
a. aksesibilitas bagi penyandang cacat;
b. adanya kebutuhan untuk pejalan kaki; dan
c. unsur estetika yang memadai.
(3) Trotoar harus dibangun dengan konstruksi yang kuat dan mudah dalam pemeliharaan.
(4) Bagian atas trotoar harus lebih tinggi dari jalur lalu lintas.
(5) Bagian sisi dalam trotoar harus diberi kerb.
(6) Trotoar ditempatkan dalam ruang manfaat jalan (rumaja) atau dalam ruang milik jalan (rumija), bergantung pada ruang yang tersedia.
(7) Pada akses ke persil, ketinggian/kelandaian trotoar bagian tengah tidak boleh diturunkan. Kelandaian boleh dibuat ke arah melintang trotoar searah kendaraan masuk pada awal akses atau akhir akses.
DEVY ERNIS
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo