Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Banyak Orang Terlibat Penyiraman Saya

DI seberang telepon, suara Novel Baswedan terdengar riang dan bersemangat. "Assalamualaikum. Apa kabar?" katanya. Tempo tersambung dengan penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi yang tengah terbaring di ranjang Singapore General Hospital itu berkat telepon kakaknya pada Kamis siang pekan lalu.

12 Juni 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hari-hari Novel habis di ranjang rumah sakit. Meski diizinkan keluar dari kamar perawatan, ia memilih tetap berbaring di ranjangnya karena tak ingin merepotkan orang lain. Jika ingin keluar, ia harus mendapat izin dokter dan ditemani. "Kalau ke luar kamar lalu nabrak tiang, kan, jadi tak lucu," ujarnya, tertawa.

Sejak matanya dipasangi membran untuk merangsang pertumbuhan kornea, Novel tak bisa melihat sama sekali. Kebiasaannya membaca Al-Quran di ranjang pun ia hentikan saat masuk rumah sakit ini. Sepenuhnya ia berbaring sambil menunggu suster meneteskan perangsang kornea setiap dua jam selama sepuluh menit. "Saya yakin bisa sembuh," katanya.

Novel dirawat sejak 11 April 2017, setelah wajahnya disiram dua orang asing memakai air keras sehabis salat subuh di masjid kompleks perumahannya. Meski penglihatannya tak akan kembali seratus persen, Novel optimistis bisa menjadi penyidik KPK lagi untuk terus mengungkap banyak skandal korupsi besar di negeri ini.

Kepada Gadi Makitan dari Tempo, ia menceritakan hari-harinya di Singapura, upayanya menyelidiki pelaku penyiraman saat sakit, teror sebelum penyiraman, hingga keheranannya terhadap penyidikan oleh polisi yang mandek. Beberapa informasi ia minta tak ditayangkan, terutama yang menyangkut kasus-kasus besar yang ia tangani, seperti korupsi simulator surat izin mengemudi, kartu tanda penduduk elektronik, dan suap impor daging.

Dari pembaringannya, mantan komisaris polisi yang memutuskan mengabdi sepenuhnya di KPK itu mendapat foto Ahmad Lestaluhu, yang tertangkap kamera pengawas rumahnya hendak memesan gamis kepada istri Novel dan berkeliaran di kompleks perumahan beberapa hari menjelang penyiraman.

Ahmad Lestaluhu sempat ditangkap polisi, tapi dilepas kembali karena beralibi sedang menonton televisi saat Novel disiram air keras. Polisi percaya dan tak berusaha mengorek lebih jauh pengakuan itu seperti umumnya penyelidikan perkara kriminal. Hampir dua bulan lebih, polisi tak berkutik mengungkap penyiraman kepada Novel itu.

Bagaimana Anda mendapatkan foto Ahmad Lestaluhu?

Saya mendapat foto itu dari salah satu perwira menengah di Densus 88 (Detasemen Khusus 88 Antiteror) sekitar sepekan setelah kejadian. Jadi bukan tiba-tiba saya memberikan foto itu kepada penyidik di Kepolisian Daerah Metro Jakarta.

Anda tanya bagaimana perwira itu mendapat foto Ahmad?

Saya tanya bagaimana ia mendapatkan foto itu. Mereka melakukan metodologi dalam praktik penyelidikan sebagaimana mereka mencari pelaku teroris. Nah, mereka mendapatkan foto-foto. Salah satunya foto yang ada dia itu. Saya konfirmasikan foto-foto itu kepada tetangga di sekitar rumah. Betulkah ini pelakunya? Semuanya mengatakan, ya, benar. Tetangga yang mengetahui kejadian itu banyak.

Mengapa perwira Densus itu mencari foto penyiram Anda? Apakah itu tugas dia?

Saya tanya seperti itu juga. Dia mengatakan mendapat tugas dari Kepala Polri secara langsung untuk mencari pelakunya.

Apakah ada hubungan keluarga antara Anda dan perwira itu?

Tidak ada. Hanya hubungan tugas. Sewaktu saya taruna, beliau senior saya. Jadi sempat kenal. Dia bekerja, kemudian mengkonfirmasi kepada saya. Sebelumnya, dia mengirim orang ke rumah. Dua atau tiga orang mengkonfirmasi kepada keluarga saya. Keluarga di rumah tidak bisa memberi informasi apa-apa dan mereka belum tahu siapa yang sedang berbicara. Mereka takut para polisi ini hanya mengaku-aku. Para polisi ini lalu memberikan nomor telepon atasannya. Keluarga saya lalu memberikan nomor itu kepada saya. Saya kontak dari sini. Dari situlah saya mendapatkan foto-foto itu.

Apakah tim yang datang ke rumah Anda itu anggota Densus seluruhnya?

Saya tidak tahu. Tapi saya melihat itu ada korelasinya dengan janji Kapolri kepada saya untuk mengungkap dengan serius perkara ini. Jadi, ketika ada orang Densus bilang begitu, saya percaya.

Kapan Kapolri berjanji?

Setelah kejadian, saya menelepon. Lalu Kapolri menengok saya. Beliau berjanji akan mengusut secara serius kasus ini. Saya percaya kepada beliau.

Apakah perwira itu yakin Ahmad Lestaluhu adalah penyiram Anda?

Dia menduga ini pelakunya, lalu minta mengkonfirmasinya.

Anda juga yakin?

Ini kejahatan yang mudah diungkap, bukan kejahatan yang terjadi di tempat sepi, di tempat yang enggak ada saksinya. Saksinya banyak, buktinya juga banyak. Jika hampir dua bulan polisi belum bisa mengungkap, saya kasihan kepada polisi. Artinya, kualitas mereka jelek sekali.

Sebagai penyidik, berapa lama kira-kira kasus ini terungkap?

Menurut saya, sepekan saja sudah terlalu lama. Jadi saya tidak hanya kasihan kepada polisi, tapi juga kepada rakyat Indonesia karena punya penegak hukum yang kualitasnya jelek. Satu-satunya penegak hukum tapi kualitasnya buruk. Kasihan, kan?

Anda melihat faktor lain?

Saya mendapat informasi dari kalangan internal Polri bahwa penyidik tidak bersungguh-sungguh karena banyak orang yang terlibat dalam kasus ini. Itu yang menjadi problem. Saya kira Tempo sudah tahu siapa saja yang terlibat....

Polisi beralasan penyelidikan mentok karena sidik jari hilang di cangkir akibat zat H2SO4....

Mereka sudah saya beri tahu itu air keras. Seharusnya mereka jangan berpikir bahwa itu air keras agar tak mengganggu penyelidikan. Kedua, para penyidik itu kan bersekolah. Tidak ada penyidik yang tiba-tiba pegang kasus ini lalu berpikir, "Oh, ternyata begini kejadiannya." Itu logika awam.

Kami mendengar ada perintah penghapusan sidik jari di cangkir tempat air keras oleh seorang perwira. Anda mendengar informasi yang sama?

Itu salah satu informasi yang saya dapat, tapi posisi saya hanya mendengar informasi itu. Namun, setelah sekian lama penyidikan ini enggak berjalan, saya jadi berpikir, jangan-jangan informasi itu benar.

Orang yang diduga Ahmad Lestaluhu itu pernah bertamu ke rumah Anda dan terekam kamera CCTV. Asisten rumah tangga Anda mengkonfirmasi foto itu?

Saya enggak tahu detail itu. Jadi enggak banyak interaksi soal bukti-bukti dan sebagainya. Tetangga saya banyak membantu mengumpulkan informasi bersama adik saya dan anggota keluarga saya yang lain. Saya memonitor mereka. Ini antisipasi jika ternyata betul ada upaya membuat perkara ini tak terungkap.

Anda mengecek CCTV di rumah secara rutin?

Saya enggak tahu, enggak memonitor secara detail, karena CCTV di rumah terkoneksi ke kantor. Datanya juga disimpan di kantor. CCTV itu juga inisiatif kantor.

Anda tak curiga ada laki-laki memesan gamis?

Saya enggak pernah diberi tahu soal itu. Saya baru tahu setelah kejadian.

Istri Anda tak bercerita?

Istri saya enggak ada di rumah waktu itu. Istri saya sedang ke luar rumah. Pembantu terlambat menutup pintu. Ia masih sibuk melipat baju-baju. Jadi orang itu bisa masuk.

Dari rekaman CCTV itu, sesungguhnya Anda sudah lama diintai. Apakah sadar?

Saya tahu saya diintai. Bahkan, menurut info yang saya dengar, pengintai saya adalah polisi. Saya dengar informasi itu, tapi tak punya buktinya. Saya tahu saya diikuti. Setiap ke kantor, saya diikuti, dilacak. Saya ini penyidik. Kalau penyidik tak tahu diikuti, keterlaluan, ha-ha-ha....

Anda tak bereaksi ketika diikuti?

Sekali waktu saya pojokkan orang itu di posisi tertentu, kemudian orang itu terjebak.

Kapan?

Persisnya saya lupa, tak berselang lama dari kejadian penyiraman. Dan bukan cuma itu. Saya melihat ini upaya sistematis karena sebelumnya telepon seluler saya juga dicoba diakses pihak lain.

Bagaimana Anda tahu?

Muncul tiba-tiba notifikasi yang tak lazim, kira-kira sepekan sebelum saya disiram. Istri saya juga mendapat hal yang sama. Teman-teman kantor juga. Bahkan beberapa teman di luar kantor yang berkomunikasi dengan saya. Saya juga paham teknologi informasi. Saya coba buka dan saya lihat ternyata ada device lain yang mencoba mengakses. Sejak itu, saya tahu saya sedang dikerjain. Cuma, pasti yang mengakses bakal pusing. Handphone saya isinya tausiah. Tapi semoga mereka mendapat hidayah. Orang-orang seperti itu kan harus mendapatkan hikmah. Pelakunya bukan sembarangan. Mereka ingin profiling saya dengan sungguh-sungguh, dengan alat sadap, dan mereka punya jaringan.

Sudah tahu diintai, mengapa tak dikawal? Sebagai penyidik, Anda punya hak itu....

Dikawal sama siapa? Sama wartawan Tempo? Ha-ha-ha.... Begini. Ada beberapa pemahaman yang membuat saya berpikir saya tidak perlu dikawal. Pertama, saya tahu, seperti apa pun ancaman, yang terjadi hanya atas kehendak Allah. Jadi itu yang membuat saya enggak perlu takut terhadap orang-orang yang mengancam itu. Penyiraman ini juga sama sekali tidak membuat saya surut atau takut. Kalau saya takut, banditnya jadi berani. Nanti terbalik. Seharusnya banditnya yang takut. Allah sudah atur semua. Sehebat-hebatnya mereka yang punya pasukan, punya kekuatan, punya apa pun, mereka adalah orang lemah, jadi tidak akan membuat saya jadi takut.

Kapolda Metro Jaya pernah bilang Anda sedang menjadi target....

Saya bilang, siapa sih yang mengancam? Enggak jelas. Jadi saya bilang, kalau masih belum terlalu jelas, kalaupun saya dikawal, itu harus perintah dari pimpinan KPK. Sebab, saya enggak mau bergerak orang per orang. Saya mau geraknya secara kelembagaan. Saya enggak tahu lagi komunikasi Kapolda dengan pimpinan KPK setelah itu.

Sudah Anda sampaikan ada ancaman kepada pimpinan KPK?

Saya sampaikan. Tapi, ketika pimpinan bertanya kepada saya, seserius apa ancaman itu, saya enggak tahu. Ancaman seperti itu kan enggak bisa diprediksi, kecuali memang ada bidang khusus yang melakukan tugas itu.

Kapolda bilang, kalau Anda dikawal orang bersenjata, hal ini tidak akan terjadi, karena si penyerang bakal takut....

Pengawalan itu tidak mungkin 24 jam. Meski dikawal, pasti ada saat lengah. Saya tak melihat korelasinya. Ini sudah ada takdirnya. Sebagai antisipasi, iya, tapi semua karena Allah.

Setelah kejadian ini, bakal mau dikawal?

Wallahualam, kita lihat nanti. Intinya, saya enggak takut.

Anda sama sekali tak melihat penyiram itu? Apa yang terjadi sesungguhnya pagi itu?

Ini fakta penyidikan. Tak etis jika saya sampaikan ke media.

Setelah disiram, apa yang Anda lakukan?

Sekitar 20 detik setelah disiram, saya mendapat air, kemudian saya basuh muka selama lima menit lebih. Ada tetangga yang menyediakan mobil untuk membawa saya ke rumah sakit.

Teror ini kejadian keenam buat Anda. Apa yang bisa Anda tarik garis merahnya?

Ini tamparan buat negara. Semua orang di negara ini bilang korupsi harus kita berantas sama-sama. Tapi, kalau mau bicara jujur, korupsi oleh pihak-pihak tertentu juga diharapkan. Itu problemnya. Ketika korupsi itu diharapkan, terjadi inkonsistensi. Negara jadi terlihat abai karena terlihat tak ada political will yang kuat memberantas korupsi.

Omong-omong, bagaimana mata Anda sekarang?

Mata kiri dan kanan sedang dipasangi membran untuk mempercepat pertumbuhan kulit kornea. Kalau kulit kornea sudah tumbuh, upaya penyembuhan bisa optimal. Tapi memang kemungkinan besar tidak bisa pulih total. Terutama mata kiri.

Berapa persen kira-kira bisa sembuh?

Enggak bisa diprediksi. Saya bertanya kepada dokter, dokternya enggak ada yang bisa ngomong begitu.

Mata kanan?

Jauh lebih baik. Tapi membrannya belum dilepas. Setelah dilepas, kita lihat hasilnya. Saya optimistis bisa sembuh. Insya Allah.

Setelah sembuh, akan kembali menjadi penyidik?

Iya, insya Allah.

Setelah dipasangi membran, apa aktivitas Anda?

Di kamar saja. Sebetulnya boleh ke luar kamar, cuma saya enggak bisa lihat. Kalau saya jalan lalu menabrak orang, kan, enggak lucu. Tiap dua jam menjalani perawatan. Mata ditetesi selama sepuluh menit. Sebelum dipasangi membran, masih bisa baca buku atau baca Al-Quran.

NOVEL BASWEDAN
Tempat dan tanggal lahir: Semarang, 22 Juni 1977 | Pendidikan: SMA Negeri 2 Semarang, Akademi Kepolisian (lulus 1998) | Karier: Kepolisian Resor Kota Bengkulu (1999-2005), Badan Reserse Kriminal Mabes Polri (2005-2007), Penyidik KPK (sejak 2007) | Istri: Rina Emilda | Anak: 5 orang

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus