PADA 22 September 1988. Di pekuburan Belanda Kalibanteng, Semarang, terdengar sebuah puisi: perjuangan telah berakhir dengan didirikannya patung ini pengakuan masa lampau yang suram meski lukanya belum sembuh melihat pohon cemara meiambai-lambai mendengar bunyi tong ... tong selamat jalan, Kawan-kawanku kalian masih beitu muda O. o ... Cemara masih melambai. Hanya bunyi "tong . . . tong" terdengar semakin jauh, sayup, di tubir kenangan. Tonggak-tonggak nisan berjajar rapi, putih mencuat dari hijau hamparan rumput. Sepi. Pekuburan itu membagi kesepiannya pada 20-an Belanda gaek yang berdiri khusyuk mendengar pembacaan puisi karya Mram Verduyn. Penderitaan Verduyn adalah juga nestapa mereka. Juga derita semua yang kini terbaring di bawah rerumputan. Empat puluh tiga tahun telah berlalu, hari-hari yang menggetirkan hati itu seakan baru kemarin. Mereka tak mau melupakan bagaimana kebebasan dan keceriaan bermain di masa bocah mereka dicampakkan kasih orangtua direnggut makanan sampah, caci maki, siksaan, banting tulang -- konon bisa lebih kejam dari perlakuan terhadap kebanyakan pribumi. "Pada zaman penjajahan Jepang di wilayah yang dulu bernama Hindia Belanda," kata R. Smugge tenang dan perlahan, mewakili teman-temannya, "anak laki-laki berumur sepuluh tahun ke atas dipisahkan dari ibunya dan ditempatkan di bagian lain. Pisah dari pengasingan wanita." "Lalu, di pengasingan itu kira-kira terkumpul 900 anak laki-laki berumur 10 sampai 14 tahun dan 500-an pria dewasa yang sakit -- berasal dari berbagai tempat pengasingan pria. Anak-anak ini dipaksa menggarap tanah lahan dengan cangkul serta pekerjaan-pekerjaan berat lain untuk Jepang" Suara Smugge, Direktur Lembaga Pemakamam Perang di Indonesia itu, menjadi sendu. Suasana pun hening. Di benak setiap yang hadir kejadian itu terulang. "Pada jangka waktu September 1944 sampai September 1945, kami berdukacita akan meninggalnya 511 orang. Di antaranya 21 orang anak laki-laki, dan 496 orang laki-laki yang sakit. Ini terutama akibat keadaan yang kurang bersih, makanan yang minim dan tidak bergizi, tidak adanya obat, dan perasaan rindu pada orangtua." Seratus anak laki-laki dari pengasingan Bangkong, Semarang, dan 80 anak lain dari pengasingan Ambarawa diboyong, dipindahkan ke barak pengasingan "penebang kayu" -- kini Gereja Kristen Kali Ceret. Mereka diharuskan menebang pohon-pohon jati di sekitar daerah Gedungjati, membelah dan memotong untuk kayu bakar di tempat-tempat pengasingan. "Pengasingan Bangkong" semula adalah biara "Zusters Franciscanessen van Heijthuizen". Penghuninya diambil dari berbagai tempat pengasingan wanita: Halmahera, Gedangan, Lampersari, Sompok, dan Karangpanas. Sebagian di antaranya mati dalam kesedihan Menurut Smugge, angka kematian itu bisa membengkak bila tak ada 50 biarawati di situ. Mahieu -- "ketua panitia peringatan" beberapa staf kedutaan Negeri Belanda, pegawai utusan Pemerintah Kota Madya Semarang & Provinsi Jawa Tengah, mendengarkan kisah Smugge sampai selesai. Akhirnya Smugge maju, membuka kain yang menangkup di tengah makam. Hadirin menunggu, dan .... waduh ...., ternyata sebuah patung perunggu bocah laki berusia 12 tahunan. Patung yang tingginya 1,4 meter itu hanya mengenakan cawat. Kepalanya gundul. Di pundaknya tampak cangkul dan sebuah kapak di bongkah kayu. Di atas pematang di samping kakinya ada segores kalimat "mereka masih begitu muda". Monumen ini digarap selama 3 bulan oleh pematung Belanda Anton Beysens yang khusus menekuni kanak-kanak. Harganya sekitar Rp 20 juta. Patung serupa -- dengan ukuran separuhnya -- juga dijumpai di sebuah pemakaman di Negeri Belanda. Konon, replikanya hendak dimasalkan, dijual, dipakai untuk mengabadikan masa-masa pahit di kaki Jepang. Hasil penjualannya akan dikumpulkan buat kegiatan bersama. Smugge meletakkan karangan bunga di depan patung, diikuti oleh kawan-kawannya dengan wajah menunduk haru, menghunjatkan doa. "Empat puluh tahun sudah, kami baru kembali lagi ke Indonesia," bisik Wout Arentsen, 54 tahun, kepada TEMPO. Tampak air mata merembang di pelupuk matanya. Ayahnya dimakamkan di situ. Kita kenal betul penderitaan bangsa Indonesia di masa Jepang dan juga di masa penjajahan Belanda. Berapa jauh sebenarnya kemalangan para Belanda yang ditawan Jepang? Adrian Venema, profesor yang menyelesaikan SD-nya di Indonesia, menjawab, "Maret 1942, Jepang datang. Mereka lalu menginternir, mengasingkan para keturunan Eropa di sini. Bukan hanya anggota KNIL (ini serdadu Belanda) yang digiring lalu ditahan. Tapi juga semua laki-laki keturunan Eropa. Siapa pun." Di akhir 1942, para wanita dan anak-anak dibekap. Mereka direnggut dari kehidupan serba cukup tuan-tuan penjajah, dicampakkan ke dalam tempat-tempat pengasingan. Awal tahun 1944, Jepang makin gila. Anak-anak lelaki yang berumur 15 tahunan tak lagi dibiarkan berkumpul dengan para ibu dan saudara perempuannya. Mereka dianggap dewasa, jadi harus kumpul bersama para laki-laki dewasa lain di tempat pengasingan yang berbeda. Ini terjadi di Cimahi, Semarang, dan Ambarawa. September 1944. Jepang membuat keputusan yang dikutuk Belanda. Anak-anak lelaki berumur lebih dari 10 tahun harus pisah pula dengan ibunya. Mereka juga tak boleh berkumpul dengan ayah atau para lelaki dewasa lain. Harus bersama para lelaki sakit dan biarawati. Lho, mengapa? Pertanyaan itu baru terjawab seusai Perang. Kolonel Nakata, yang bertanggung jawab atas penginterniran kaum sipil, mengakui kemudian di pengadilan: tindakan itu adalah perintah komando tertinggi Jepang. Alasan pemisahan: agar tak terbetik berahi anak-anak itu dengan wanita interniran. Alasan ini membuat berang para Belanda. Venema, saat mengisahkan perlakuan itu pada TEMPO, masih menyimpan marah. "Tentu saja tak masuk akal! Bagaimana mungkin terpikir kontak seksual di saat fisik maupun mental dalam kondisi terburuk?" ujarnya menggebu. Interniran Bangkong sempat penuh sesak. Dalam kisah Venema, daerah privacy hanya semeter persegi untuk setiap orang. Pimpinan kamp adalah perwira Jepang. Selain Jepang ada sejumlah penjaga Korea. "Orang-orang ini tentara Jepang senewen. Tingkah laku mereka amat menakutkan," kata Venema mengenang. Tapi kenangan manis pengasingan ada juga nyangkut di benak Venema -- mungkin juga pada banyak bocah interniran lain. Seperti kita ketahui, di mata kanak-kanak, kesempatan berada di tengah orang banyak selalu menggembirakan. Paling sedikit berarti banyak teman. Apalagi urusan harian diatur oleh orang Belanda. Namun, hari-hari menyenangkan makin lama makin gersang. Anak-anak pun mulai dikerjain. Mereka dibawa ke sebuah ladang pertanian yang menurut Venema "dekat HBS di Jalan Pahlawan" untuk dijadikan buruh panen. Hasil panen untuk serdadu Jepang, tentunya. Segala hiburan dilarang. Surat-menyurat dengan ibu dibatasi. Makanan dan obat jadi barang langka. Buat tuan-tuan kecil itu, ini bencana besar. Bagi anak yang tertangkap basah ketika mencoba mencari makanan tambahan, ransumnya dicabut. Bangkong mutiak putus dari dunia luar. Juni 1945. Anak lelaki sehat yang paling kuat dikumpulkan. Mereka ditugasi menebang jati. Kehidupan yang keras itu mendesak setiap orang berusaha mempertahankan hidupnya. Obat-obatan yang bisa diselundupkan oleh orangtua mereka jadi alat tukar untuk dapat makanan. Transaksi pun terjadi. Dari saling pinjam, praktek hubungan bocah interniran meningkat. Perdagangan lintah darat pun berkembang. Kesetiakawanan memudar. Semua menjadi egoistis. Setiap anak mencurigai anak lain. "Perlakuan yang buruk dan siksaan setiap acara apel harian telah membunuh perasaan mereka," tutur Venema. Walhasil, pengasingan itu mengubah watak. Ketika Jepang kalah, Agustus 1945, sepertiga penghuni tempat pengasingan Bangkong telah meninggal. Termasuk anak-anak. Ketika para remaja itu tiba kembali di Nederland, banyak yang tak mengenal negeri leluhurnya sendiri. Mereka tak bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan yang sama sekali baru. "Mereka tak kerasan." Menurut Venema, banyak yang lari ke Amerika, Kanada, dan Australia. Membangun kehidupan baru. Beberapa memang sukses: menemukan kecukupan materi dan kebahagiaan. Namun, pengalaman getir di masa Perang terus mengendap, membayang-bayangi pikiran mereka. Mencoba lolos? Wah, memang, ada lima belasan anak yang berkali-kali nekat memanjat tembok. Tapi selalu kembali lagi ke tempat interniran. Alasannya setiap kali sama: tak ada makanan dan obat. "Saya tak tahu siapa mereka," kata Venema. "Sebagian sudah meninggal setelah Perang, sebagian lain tak hendak saling tahu." Luka bersama akibat Perang kini memilin rasa bersaudara di Negeri Belanda. Para bekas interniran telah membentuk kelompok bersama "Komunitas Bangkong" namanya. Kelompok itu mempunyai anggota sekitar 250 orang. Lantaran tak hendak membuang masa lalunya begitu saja. mereka menunjuk orang menjadi komite pengurus. Tahun 1986 lalu. komite itu terbentuk Kolonel Henk L.B Mahieu dipilih jadi ketua. Anggotanya Goof L.J. Huyser. Hans H. Wiessner. Harry A. Spier, dan Adrian Venema. Venemalah yang aktif berhubungan dengan Indonesia. Doktor dari Delft University of Technology ini -- waktu kecil tinggal di Lawang dan Ponorogo, Jawa Timur -- selain menjadi dosen. di Delft, juga membantu ITB dan IPTN, Bandung. Menurut R.A. Van Koetsveld -- salah seorang peserta -- reuni adalah gagasannya. Mulanya Anneke, begitu teman-temannya memanggil, bertemu dengan sejumlah kawan yang dahulu bernasib sama di Indonesia. Mereka lalu berkumpul, melacak kabar teman-temannya yang lain. Disusul seruan di surat kabar dan radio: untuk surat-menyurat lewat Anneke. Banyak yang menanggapi. Maret lalu, para bekas interniran itu berkumpul. Baik mereka yang eks Bangkong atau tempat pengasingan lain. Sekitar 200 orang hadir. Lalu Paul Huizen melontarkan keinginannya untuk pergi ke Indonesia, tapi tak punya uang. "So, I save money. And then Leo bilang, 'saya ikut.' Henk juga begitu, lalu Mrs. Anneke, 'saya juga.' Jadilah kami pergi bersama sekarang ini," kata Paul dengan bahasa gado-gado -- Inggris-Indonesia. Tatkala selubung patung terbuka -- sekitar 100 meter dari simpang pelabuhan udara Semarang -- semua wajah tampak lega. "Komunitas Bangkong" mengaku akan meneruskan langkah, dengan monumen berikutnya: sebuah buku. Diharapkan, pada tahun 1990 buku itu menjadi kenyataan. Hans Zwitser, sejarawan dari ketentaraan Belanda, akan menuliskannya. Walaupun ia bukan bekas Bangkong, diperkirakan ia akan mampu menuturkan segala nestapa Bangkong, karena sempat mencicipi pengasingan di Ambarawa. Demikianlah mereka, yang tak hendak membiarkan kepahitan itu hilang. Sebuah monumen kesedihan telah didirikan di atas tanah yang sempat mereka perah selama 3 1/2 abad.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini