ANNEKE, 60 tahun, muncul di Semarang dengan kalung manik warna-warni di leher. Ia mengenakan rok putih lebar, dengan blus warna hitam. Tak menyembunyikan rasa senang, janda itu bertutur dengan bersemangat. "Saya lahir di sini, di negerimu," ucapnya berkali-kali, dalam bahasa Inggris. Lalu, memakai bahasa blasteran ia menyambung, "Asal-usul saya campur aduk. My grandfather married with Indonesian. Tapi kok rambut saya tetap perak, dan kulit saya putih." Anneke menyebut, laki-laki yang dahulu menikahinya lahir dan besar di Belanda. Tapi kulitnya malah gelap. Sedang anaknya yang kedua, "mirip orang Indonesia." Anneke lalu memperlihatkan potret anaknya. Papa Anneke meninggal di Semarang. Namanya, kata Anneke, Van Bronckherst. Maka, ketika teman-temannya beramai-ramai hendak ke Indonesia -- meresmikan monumen "peringatan tempat pengasingan anak laki-laki Bangkong, Gedungjati, 1944-1945" -- Anneke pun ikut. Sebagian yang datang ke Semarang memang pernah ditawan Jepang -- selagi anak-anak. Yang lain: hanya papa dan mamanya yang ditawan Jepang, lalu mati dan dikubur di sini. Ada juga yang sekadar ikut suami. Anneke sendiri mengaku pernah mengenyam tempat pengasingan Gedangan. Sementara rombongan komunitas Bangkong pulang ke hotel, Anneke ngotot pergi ke Gedangan -- tempat yang kini dipakai buat biara. Ia tampak tak sabar, terburu-buru keluar -- kalau bisa malah meloncat -- dari mobil, menuju tempatnya ditahan dahulu. Ia bergerak dari kamar ke kamar, melongok, bercerita, dan terbengong-bengong. Akhirnya ketemu aula besar itu -- kini dijadikan arena main, tempat upacara dan olahraga murid-murid TK dan SD Marsudirini. Di sanalah dulu ia sempat setengah mati ketakutan karena dipukuli. "Badan saya kurus," ujar wanita yang mengaku suka kelepon itu. Makanan? Wow, susah. Dan kalau sakit, dibiarkan tanpa obat. Nasib Anneke sebenarnya tidak lebih pahit dari Paul Huizen, 58 tahun. Di zaman pengasingan, ia berusia sekitar lima belas tahun. Huizen tua, ayahnya, adalah pegawai pabrik gula di Ketanggungan Barat, Brebes, Jawa Tengah. Keluarga Huizen semula hidup tenang. Mereka pun menjalin hubungan baik dengan para pekerja pabrik. Di antaranya yang akrab seingat Paul -- bernama Harsono Kromowidjojo. Penyapu halaman pabrik itu sangat banyak membantu keluarga Huizen, di awal pendudukan Jepang. Kemudian Paul tak pernah lagi melihatnya, meskipun sudah berusaha mencari. Begitu Jepang mendarat dan Belanda kalah, Huizen berikut anaknya ditangkap, dijebloskan ke kamp Pekalongan. Di penjara Pekalongan Paul mendekam selama 2 1/2 tahun. Kemudian bersama kedua adiknya ia diangkut ke Semarang dengan ke kereta api. Mula-mula disekap di rumah tawanan Halmahera. Tapi kemudian dipindah ke Bangkong. Keluarganya, yang biasa hidup nyaman dan tenang di Brebes, tercerai-berai. Dalam tahanan, di Semarang, Paul mendengar ayahnya dibuang ke Pakanbaru. Mamanya ditangkap di Jakarta. Sedang adiknya, seorang ditangkap di Bogor, seorang lagi di Jakarta. Paul ingat betul hari-harinya di Bangkong. Ia seruangan dengan kedua adik lakinya bersama 40 orang lain. "Selain disuruh mencangkul sepanjang jalan, kami juga disuruh membuat kereta untuk anak-anak Jepang. Kami dilempari pisau kalau berhenti bekerja. Kami hanya makan tepung kanji setiap hari, kekurangan gizi, banyak yang mati, dan tidak pernah mandi," kata Paul. "Setiap hari, pakaian kami diperiksa, agar tak menyimpan uang. Kami harus telanjang, seluruh pakaian dilepas, kalau nggak ada uang di pakaian kami, baru kami boleh mengenakan pakaian lagi," kata Paul, sama sekali tanpa tertawa. Sesungguhnya banyak juga di antara warga Bangkong yang punya uang. Uang itu ditanam ke tanah, yang umumnya tanpa sempat digali lagi. "Tidak tahulah, kalau tanah ini digali, apa masih ada uangnya," kata Paul, menunjuk sebuah gedung kecil. Sewaktu rombongan sampai di kamp pengasingan Bangkong -- sekarang buat SMA Sedes Sapientie -- riuhlah mereka. Tak ada bangunan yang sudah berubah bentuk. Para bekas tawanan itu ingat semuanya. "Ya, ya, di ruang ini saya tidur dengan adik saya. Di situ dapur, di situ puskesmas ..oooo, di halaman itu tempat kami apel, disuruh tengkurap, push-up, dan dipukuli," kata Paul. Begitu juga Leo Mahiu, Henk, Wout Anrentsen. Mereka berteriak, bertanya, menunjuk-nunjuk, dan terbelalak. Di lantai dua gedung sekolah Sedes Sapientie, di sebuah teras yang menghadap jalan raya, Paul membidikkan kameranya. Dengan suara tersendat, ia berkisah: "Suatu ketika teman saya yang ditahan di sini berdiri di tempat ini. Ia menghadap jalan raya. Di sana ia melihat iring-iringan wanita tahanan berjalan dan dibentak-bentak petugas. Di antara wanita-wanita itu, ia melihat langsung mamanya dipukuli. Ia tak bisa menolong. Ia tak pernah ketemu dengan mamanya lagi sejak itu." Di ujung ruang yang lain, di lantai bawah terdapat beberapa ruang kecil. Kira-kira berukuran 2 x 2 meter. Di situ, menurut Paul, anak laki-laki belasan tahun yang nakal -- nakal menurut tentara Jepang -- dipukuli. Mereka disuruh menganga di bawah keran air terbuka sampai perutnya kembung. "Kalau sudah mau mati, mereka dimasukkan ke ruang-ruang kecil itu, bertumpuk-tumpuk dengan yang lain. Selama seminggu mereka tak diberi makan. Dan, nah ... itu dia kerannya," ujar Paul sambil menunjuk. Perang telah menyakitkan, karena rakus menelan mereka yang tak berdosa. Di mana-mana orang berusaha memprotes perang dengan cara masing-masing. Monumen di Bangkong hanya sebuah contoh. Celakanya, perang terus saja berlangsung tak putus-putusnya. Berapa monumen lagi kita perlukan?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini