Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Kisah peragawati tanpa bulan

Cerita : syuman djaya. sutradara : chaerul umam. skenario : syuman djaya dan chaerul umam. pemain : zoraya perucha, cok simbara, slamet raharjo, bob sadino. resensi oleh : putu wijaya.

29 Oktober 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERANG BULAN DI TENGAH HARI Cerita: Syuman Djaya Skenario: Syuman Djaya dan Chaerul Umam Pemain: Zoraya Perucha, Cok Simbara, Slamet Rahardjo, Bob Sadino, Nindy Ellesse Sutradara: Chaerul Umam INI kisah Sora, seorang ibu muda yang menjadi peragawati atas ajakan Hady, sahabat suaminya. Bekas perenang yang berprestasi itu semula hidup sederhana dan tenang bersama anaknya: Gambir, 6 tahun, dan suaminya Sonny (Sys Ns) yang tak becus. Tetapi ketika ia meroket dengan cepat menjadi top model, anaknya sempat ditabrak motor dan gegar otak. Karena cinta anak dan merasa keadaan ekonominya sudah cukup, Sora (Zoraya Perucha) berniat mengundurkan diri. Hady (Cok Simbara) yang bencong itu terkejut. Soalnya, kehadiran Sora di atas cat walk sebenarnya atas prakarsa Halim (Bob Sadino), pedagang sekaligus bandit besar, yang diam-diam memuja Sora. Halim tak rela "kuda putih" itu mengundurkan diri, karena akan jauh darinya. Hady pun mengatur siasat. Dengan akal busuk perkawinan Sora diretakkan. Sora bercerai. Sonny lantas menggugat harta perkawinan ltu. Sora pun bangkrut, karena pengacaranya gagal mempertahankan hartanya di pengadilan. Sora terpaksa kembali menjadi peragawati. Namun, tak berarti ia jatuh ke tangan Halim. Wanita ini bukan makhluk lemah. Lagi pula, ia sangat mencintai Gambir. Seakan-akan itulah segalanya buat dia. Merasa itu sebagai kunci yang selama ini menghalangi perangkap yang dipasang Halim, antek-antek Halim bergerak lagi. Mereka memperalat Sonny untuk merebut Gambir dari Sora. Untung, ada Devina (Nindy Ellesse) penyanyi rekan Sora, yang memperkenalkan Sora pada Singgih (Slamet Rahardjo Djarot) -- yang kemudian menjadi pahlawan di dalam cerita ini. Pada suatu kesempatan ke luar negeri, Sora difitnah. Di dalam tasnya ditemukan narkotik. Peristiwa ini, melalui sidang pengadilan yang cukup seru, menyeret Sora ke dalam bui. Toh Halim, yang mendalangi semua itu, masih belum mampu juga melangkah lebih dekat. Terutama karena kehadiran Singgih, pengacara yang makin lama makin dekat ke dalam hidup Sora. Akhirnya bisa Anda tebak. Pihak kepolisian berhasil membongkar fitnah itu. Cerita dikunci dengan perasaan lega buat penonton. Lalu sutradara Chaerul Umam membubuhkan kata "wassalam" di atas layar -- sementara mobil tua Singgih diderek oleh petugas berikut pasangan baru itu di dalamnya. Tak ada bulan di dalam film ini. Yang ada adalah barisan peragawati, Bob Sadino, Perucha, Cok Simbara, dan Slamet Rahardjo yang menjadi tim yang kompak. Chaerul Umam dengan fasih menuturkan kisah yang diramu oleh Almarhum Syuman Djaya ini menjadi tontonan yang memikat. Kecermatannya dalam mengarahkan setiap pemain berbuah. Cok Simbara bermain bagus. Perucha juga meyakinkan. Slamet Rahardjo mungkin terlalu besar untuk peranannya, tetapi ia memoles film ini jadi kukuh. Adegan-adegan di pengadilan, misalnya, terhidang dengan baik. Bahkan pengusaha sukses Bob Sadino muncul mengasyikkan sebagai bandit terhormat. Sayang, film ini tidak dipersiapkan menjadi sebuah karya yang besar. Padahal, temanya menyangkut seabrek masalah unik. Kehidupan peragawati -- yang tampak masih kurang gemerlapan dalam film ini -- tampil memikat. Bisnis kelas tinggi yang dihuni bandit kakap pun muncul dengan balk. Belum lagi soal mafia pengacara yang tidak lagi membela keadilan, tetapi hanya dagang. Masih ditambah soal narkotik, dan persaingan hak cipta di dalam industri tekstil. Menuturkan semua itu dalam tempo kurang dari dua jam memang bisa kewalahan. Akibatnya, persoalan-persoalan itu tak sempat digarap tuntas. Ia mengapung di permukaan bukan karena sengaja digantung untuk memancing persoalan, tetapi terasa ditinggalkan begitu saja. Syuman Djaya sebagai penulis cerita mungkin sengaja tak hendak menekuk terlalu dalam ke setiap sudut persoalan. Juga tak ingin menyusahkan penonton dengan relung hati setiap tokoh. Di dalam film ini, liku cerita menjadi utama. Tokoh-tokoh bermunculan, tetapi seperti struktur wayang, mereka hanya diperkenalkan untuk melancarkan cerita, tidak diusut atau diselesaikan dengan tuntas. Mereka hanya bayang-bayang. Tindakan-tindakan besarnya muncul, tetapi alasan-alasannya kurang dikemukakan sehingga peristiwanya menjadi enteng, meskipun sesungguhnya nyata dan sulit. Skenario film ini memajang dirinya dalam bingkai sketsa. peristiwa demi peristiwa kemudian meluncur kadangkala terlalu lancar, sehingga memang tidak ada waktu untuk perenungan. Hidup memang kelihatan penuh warna, tanjakan, dan lubang-lubang, tetapi begitu gampang dibereskan. Apakah ini cermin hidup penulisnya? Chaerul Umam, sebagai sutradara, menuturkan kisah Sora dengan gesit. Lokasi terpental dari satu tempat ke tempat yang lain. Gambar-gambar jadi bervariasi dan dinamis. Film ini terasa dibuat dengan sengaja untuk pasar, tapi alhamdulillah tidak menjadi film pasaran. Ia komunikatif, memikat, dengan kualitas terjaga rapi. Tapi sementara terhibur kita pun jadi penasaran, karena tak tega segala persoalan yang menarik itu selesai begitu lancar. Kisah Sora dengan seluruh persoalan sampingannya ini punya peluang untuk memberikan sesuatu yang lebih dalam. Tak ada alasan buat mengatakan film ini buruk meskipun kadang para pemain berdialog terlalu cepat sehingga suaranya dempet dan sulit ditangkap. Sementara itu, penata artistik tidak terlalu memompa adegan-adegan wah sehingga kesan gemerlapan kurang menohok. Musik pun masih hanya menjadi ilustrasi, pengiring, padahal dengan materi yang ada sebenarnya ia bisa memainkan peran lebih besar. Sebagai bagian dari peristiwa. Terang Bulan ini adalah hasil kompromi antara sebuah cerita yang menarik di tangan seorang sutradara yang sudah menguasai medianya dan kondisi pasar. Saya Yakin, kalau ada kesempatan, di tangan Chaerul Umam, sketsa Terang Bulan ini bisa menjadi sebuah karya yang besar. Putu Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus