Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Keganasan di kamp 9

Orang belanda eks tawanan jepang memprotes pemerintahnya yang bersimpati atas sakitnya kaisar hirohito yang dianggap mesin perang dunia ii. kisah kekejaman jepang terhadap tawanan belanda akan dibukukan.

29 Oktober 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUSIM gugur menghampiri Jepang, dedaunan satu per satu berubah warna, lalu luruh. Hawa pun dingin. Banyak orang bersedih. Beragam kegiatan hanyut oleh arus berita tentang kesehatan Kaisar Hirohito yang gering. Rakyat menunggu apa yang bakal terjadi. Berbagai kepergian dinas ditunda. Bendera Hinoman, menjadi laris. Ribuan orang berdoa. Tetapi di Negeri Belanda hangat. Sejumlah orang tua yang pernah ditawan Jepang mengacungkan tangan protes. Mereka tak ingin pemerintahnya menunjukkan simpati atas sakitnya Kaisar Hirohito. Bagi mereka, kaisar tua yang dikenal sebagai seorang intelektual yang tekun meneliti masalah biologi kelautan itu adalah mesin perang. Setiap lambaian tangannya dan setiap patah katanya akan langsung menggerakkan jutaan rakyat. Mereka kecewa karena Hirohito telah membiarkan tentaranya menantang Sekutu, membiarkan terjadi Perang Dunia II, sampai akhirnya bom atom menetas di Hiroshima. Tuan dan nyonya Belanda di Indonesia, yang semula hidup nyaman dan santai, mengalami rongrongan nasib. Dari kedudukan ndoro, mereka terperosok jadi budak, tinggal di barak-barak busuk, menunggu catu ransum, dan mengalami perubahan watak, demi kelangsungan hidupnya. Toh kisah dalam tawanan Jepang bisa juga menjadi cerita menggembirakan seperti yang terjadi pada Oliemans. Bule Belanda bekas tawanan Jepang di Sumatera ini hidupnya penuh canda. Ia dapat menertawai nasib, membalikkan kegetiran jadi hiburan, sebagaimana dikisahkan dalam buku Het Pannetje van Oliemans "Panci Milik Oliemans" -- yang disusun Van Heekeren. "Ia pernah sukses besar," tulis Heekeren. Di suatu hari yang menjemukan, di barak Blang Kejeren, Aceh, tiba-tiba Oliemans merintih. Rintihannya terdengar seperti "suara wanita pribumi yang sedang diperkosa". Penjaga barak seorang Korea -- terkecoh. Ia menyangka, para tawanan itu menyembunyikan wanita. Serta-merta ia minta agar wanita itu dikeluarkan. Maka, tertipulah kawan kita itu. Oliemans si pemilik panci tak hanya melucu, ia juga dapat manis budi. Ini dilakukannya setiap pagi. Setelah sirene melengking pukul 05.00 Oliemans lalu mengumumkan, "Hari ini adalah hari ...." Mula-mula Oliemans ditertawakan, tapi kemudian pengumuman tentang hari itu menjadi bagian dari kehidupan barak. Biarpun acap bisa tertawa, menjadi tawanan tetap saja celaka. Kamp bertembok tebal, berterali kekar, dengan pecahan kaca menancapi bagian atas dindingnya itu dijaga oleh orang-orang Korea. Sudah satu setengah tahun orang-orang bule -- orang Inggris, Australia, dan serdadu Belanda -- disimpan di penjara Glugur, pinggiran Medan, itu. Februari 1944, ketika Jepang mengumumkan: 500 orang terkuat dan tersehat di antara 1.200 interniran akan dipindahkan, semua gembira. Berita itu cukup menyenangkan. Biarpun mereka harus bekerja keras selama tiga bulan, barak yang baru, kabarnya, "baik dan berudara sejuk". Mereka berharap akan mendapat makanan yang sehat. Banyak orang berpikir, lebih baik dipindah ketimbang tetap di penjara. Di tempat semula, mereka sering dipekerjakan untuk berbagai hal. Bongkar muat barang kapal di Belawan, misalnya. Juga membuat kebun percobaan, menyortir besi tua, atau membuat lubang perlindungan buat kepentingan Jepang. Di penjara kekar yang mereka huni, makanannya buruk, barak penuh kutu busuk dan tikus. Tetapi banyak juga tawanan yang tetap memilih tempat itu. ketimbang tempat lain yang belum ketahuan kondisinya. Bagaimanapun, di kamp itu masih ada kehidupan beradab: perpustakaan, kadang kala ceramah, berbagai macam les, membuat kerajinan tangan, dan menggambar. Demikianlah, ketika dokter melakukan seleksi, ada yang pura-pura sakit, supaya tak diikutsertakan. Sebaliknya, ada yang memaksa ikut biarpun sedang sakit -- karena tak sudi pisah dengan temannya. Tanggal 7 Maret, 1944, yang terpilih -- suka atau tidak harus siap berangkat. Pukul 3 dinihari semua dibangunkan. Masing-masing sibuk dengan segunung bawaannya yang berulang kali dibongkar, dihitung kembali, ditumpuk lagi. Semua berusaha memhoyong sebanyak mungkin hartanya. Ransel, kopor, pakaian, tikar, kasur, selimut, sepatu, buku, kursi reyot bikinan sendiri, panci, dan tetek-bengek lainnya, termasuk barang haram bagi tawanan: radio. Untuk urusan radio Sauterlah biangnya. Dengan tekun ia menghabiskan waktunya untuk mengutak-atik di luar pengawasan petugas. Hasilnya sebuah pesawat mungil yang mudah disembunyikan, untuk tetap mendengar sentuhan dunia luar. Malang, ketika ada pemeriksaan, ia terpaksa menceburkannya ke air. Akibatnya, benda langka itu langsung tak berfungsi. Yang masih bisa dibawa adalah radio yang dipasang di bawah tempat minum. Kalaupun tutup tempat minum itu dibuka, yang tampak hanya air. Namun, akhimya penyelundupan radio ini pun percuma. Pesawat itu perlu listrik, yang tak tersedia di barak baru. Pukul 09.00, semua dimasukkan ke 24 truk pengangkut. Di antara 22 orang pengawal Korea tampak si Letnan Satu Miura dan Sersan Tanaka. Semua jadi tegang, bertanya-tanya: apakah akan dibawa ke pelabuhan Belawan? Mereka takut kalau sampai dikapalkan ke Formosa, takut mati dikubur torpedo. Ketika iringan truk merangkak ke pedalaman, meledaklah kegembiraan mereka. Sejuk, indah, dan nyaman. Itu jalan ke Brastagi. Memang, di Brastagi truk berhenti, tapi hanya sebentar. Ternyata, perjalanan masih jauh. Mereka harus meneruskan berjalan kaki sejauh 120 km dengan, ya ampun, bawaan yang tampaknya hanya bisa dipindahkan sejauh 10 meter itu. "Biarpun militer, kami sudah dua tahun tak berjalan jauh." Tersaruk-saruk lapar, kaki lecet, mereka naik-turun menyusuri jalan menuju Kutacane, pedalaman Aceh. Satu demi satu bawaan berceceran, tak tertanggungkan. Hanya ada seekor kerbau buat pengganjal perut. Seekor lainnya memilih mogok jalan. Sepanjang siang jalan, malam menggeletak di udara terbuka. Sepuluh hari kemudian mereka baru tiba di barak tanpa dinding, beratapkan rumbia. Namanya Kamp 9. Sekitar 9 km dari Blang Kejeren, tempat Belanda membantai para pejuang Aceh dulu. Bila hujan turun. tempias memercik ke mana-mana. Kasur -- bagi yang punya -- dan selimut mesti digulung, diduduki, bila tak ingin basah. Ini barak bekas romusha. Mereka harus melanjutkan kerja yang sudah dirintis romusha, dalam kondisi yang lebih baik, tentu. Di situ ada penggergajian kayu. Merekalah yang harus naik bukit, menebangi cemara, dan mengangkutnya. Segala sesuatu mengenai makanan adalah cerita yang makin lama makin buruk. Jatah nasi terbatas. Sayur bisa dikatakan kebetulan kalaulah ada setiap hari. Juga ikan asin. Koki sebenarnya cukup punya niat baik. Ia rebuskan kedelai buat makan tambahan. Tapi hasilnya malah semua mencret. Krokot, keladi, sentron -- apa boleh buat -- terpaksa digerogoti. Hanya kerja yang terus berkepanjangan. Membuat saluran air, menebang pohon, melebarkan jalan, membersihkan tanah longsor, membangun jembatan adalah makanan sehari-hari. Membabat alang-alang tampaknya ringan, tapi kenyataannya tidak. Pinggiran daun ilalang gampang sekali menyayat kulit, meninggalkan rasa nyeri yang dalam. Musuh utama para interniran itu bukan para penjaga, tapi sakit perut. Disentri merajalela. Baru beberapa hari saja, 43 orang terpaksa dikirim balik ke Medan. Sejumlah tawanan lain mati di Blang Kejeren. "Orang Jepang meminta kepada kami agar pasien yang tengah sakaratul maut ditunggui pakai lampu sentir," kutip Van Heekeren. Yang lain menjadi kurus buncit karena cacing pita. Seorang tawanan, Althuisius, ingat bahwa cacing perut bisa dilawan dengan tumbukan biji labu campur gula. Ternyata benar: ada orang yang "melahirkan" cacing pita sepanjang tiga meter. Kejahatan dalam barak pun meruyak. Entah siapa pelakunya mungkin tawanan, mungkin penjaga. Pencurian selimut, pakaian, juga sepatu, menjadi-jadi. Sekali peristiwa, perawat Brouwer yang sedang bicara dengan pasiennya di barak kaget. Tiba-tiba muncul tangan memotong kelambu di atasnya. Ia berteriak. Tapi " mister-X" keburu lenyap di kegelapan. Tidak puas hanya ancaman maling, banyak yang malah jadi korban rampok, saat malam-malam pergi ke kakus. Pakaian korban direnggut begitu saja, sampai yang bersangkutan telanjang. Jepang dan antek-antek Koreanya tak selamanya kejam. Tak jarang mereka pun teramat manis dan puitis. Di setiap barak -- yang tak lebih baik dari kandang kuda itu -- mereka menggantungkan papan bertuliskan huruf Jepang. "Apa itu?" tanya para tawanan. Miura-san lalu menjelaskan, itulah budaya Jepang: setiap rumah perlu dihiasi kaligrafi puisi. Maka, di barak itu pun Miura menorehkan sajak: cahya bulan menyinari lembah cahya bulan menyinari lembah suara cemara terdengar lembut. Boleh jadi, kenangan manis atau pahit di Aceh Selatan ini akan berlalu begitu saja bila tak ada Oliemans. Dialah yang lagi-lagi punya ulah. Ia minta semua kawan-kawannya menuliskan nama keluarganya di panci militer miliknya. Panci itu lalu digravir rapi. Ada 210 nama tercatat di situ. Berdasarkan "dokumen" inilah kemudian Heekeren menghubungi teman-teman senasib, untuk menyusun buku.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus