Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Risalah Pendek dari Meja Paatje

Penulis, pemikir, penerjemah, pendongeng, juga khatib salat Jumat. Agus Salim dijuluki Hatta sebagai seorang generalis.

14 Agustus 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK ada yang boleh mendekat bila Agus Salim sudah duduk di balik meja tulis. Aturan itu sudah sama-sama dipahami semua anak Paatje—panggilan sayang anak-anak Salim kepadanya. Siti Asiah, yang saat itu berusia 10 tahun, kerap mendengar peringatan dari kakak sulungnya, Theodora Atia, begitu ia mendekati sang ayah.

"Jangan ganggu, Paatje lagi kerja," ujar Bibsy—begitu Siti kerap dipanggil—menirukan perintah kakaknya yang disapa Dolly itu.

Bibsy mengingat tak ada waktu khusus kapan Salim berada di balik meja lalu tenggelam dengan buku dan mesin ketiknya itu. "Paatje tidak punya jam kerja," kata Bibsy, 84 tahun, putri kedelapan Salim, di kediaman putranya, Ilham Soenharjo, di kawasan Pamulang, Tangerang Selatan, pertengahan bulan lalu.

Biasanya Salim menghabiskan waktunya untuk menulis artikel surat kabar, menyusun naskah pidato, atau menyiapkan khotbah Jumat ketika tak ada tamu yang datang. Sebagai pemimpin Sarekat Islam, nama Agus Salim sudah tersohor. Banyak anak muda yang sowan ke rumahnya hingga larut malam, sekadar untuk berdiskusi dan meminta wejangan. Mohammad Hatta dan Mohamad Roem adalah sedikit di antara tetamu yang bertandang ke rumah Salim.

Dalam sehari, Salim bisa merampungkan tiga tulisan sekaligus. Menurut Bibsy, ayahnya selalu menuliskan setiap pidato yang akan ia baca. Meskipun ada mesin ketik, tak jarang Salim menulisnya dengan tangan. "Misal pidato yang akan ia sampaikan untuk pertemuan Jong Islamieten Bond," ucap Bibsy. Atau pernah suatu kali Agus Salim kebagian jatah sebagai khatib Jumat. Namun ia baru menyadarinya setengah jam menjelang salat Jumat. Dengan waktu yang mepet, Salim segera mengetik naskah khotbah Jumatnya.

Sebagai kepala redaksi harian Neratja, Salim rutin menerbitkan tulisan-tulisannya di koran yang menjadi corong Sarekat Islam itu. Meski koran terbit di Jakarta, gagasan-gagasan kritisnya terbaca hingga Sumatera. Salah satu pembaca setia tulisan-tulisan Salim adalah Hatta. Pada 1917, Hatta, yang kala itu masih bersekolah di Padang, terpesona oleh ketajaman kata-kata yang dipilih Salim.

"Menarik dan tangkas," tulis Hatta dalam pengantar buku Hadji Agus Salim: Pahlawan Nasional.

Hatta mengatakan Agus Salim sesungguhnya bukan sosok yang penuh disiplin dalam mengikat gagasan-gagasannya. Salim, kata dia, tak punya kesabaran yang panjang

Produktivitas Salim dalam menulis semakin lengkap dengan penguasaannya dalam banyak bahasa. Ia setidaknya bisa berbicara dalam sembilan bahasa, dari bahasa Belanda, Arab, Inggris, Jerman, Prancis, Latin, Cina, Jepang, sampai Turki, selain bahasa daerah, seperti Minang, Jawa, dan Sunda.

Dengan penguasaannya terhadap banyak bahasa itu, Salim rajin menerjemahkan buku-buku asing ke bahasa Indonesia. Saat bekerja di Balai Pustaka pada 1917-1919, ia menerjemahkan banyak buku. Salah satunya empat jilid buku Sejarah Dunia karangan E. Molt. "Itu adalah buku-buku yang dibaca di seluruh dunia," kata Bibsy.

Bukan cuma buku-buku teks, Salim juga menerjemahkan buku-buku sastra karya William Shakespeare. Juga kumpulan fabel karangan Rudyard Kipling, The Jungle Book, yang kemudian diterjemahkan Salim dengan judul Tjerita Mowgli, Anak Didikan Rimba, yang diterbitkan Balai Pustaka pada 1934.

Menurut penuturan Agustanzil Sjahroezah, cucu Agus Salim, sang kakek tak sekadar menerjemahkan, tapi juga mengisahkannya kembali kepada anak-anaknya. "Dengan cara mengobrol ramai-ramai. Bahkan jika ada tokoh-tokoh politik datang," ujar pria yang akrab dipanggil Ibong yang juga Ketua Yayasan Hadji Agus Salim itu.

Jauh sebelum di Balai Pustaka, Salim pernah bekerja sebagai penerjemah di Konsulat Belanda di Jeddah, Arab Saudi, mulai 1906 hingga 1911. Tawaran ini datang dari Snouck Hurgronje tak lama sesudah ia lulus dari Hogere Burger School. Hurgronje sudah mengetahui kecakapan Salim dalam berbahasa.

Kesempatan ini oleh Salim digunakan untuk mengasah kemampuan berbahasa Arab, juga mendalami ilmu-ilmu keislaman. Di Mekah, ia berguru kepada Syekh Ahmad Khatib, yang tak lain pamannya sendiri, ulama terkenal asal Minangkabau.

Ketekunannya sebagai pegawai konsulat ditambah kefasihannya berbahasa Arab mengundang kekaguman para ulama Mekah. Majalah Al Munir, yang terbit di Padang, juga memuji prestasi kerja Agus Salim sebagai pegawai konsulat Belanda di Jeddah.

Tampaknya Salim memang dianugerahi kefasihan berbicara dalam banyak bahasa. Ini ia tunjukkan saat duduk di bangku Europeesche Lagere School. Salim diminta tinggal bersama keluarga Belanda. Ia tinggal di rumah tersebut sampai jam makan malam. Cara inilah yang membuat Salim sangat luwes berbahasa Belanda tanpa aksen.

Penguasaannya atas banyak bahasa kelak menempatkan Salim dalam posisi yang istimewa dalam perkembangan gerakan modern Islam di Indonesia. Seperti ditulis Deliar Noer dalam Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, para pemuda yang menggabungkan diri dengan gerakan modern Islam pada awal abad ke-20 umumnya berasal dari sekolah Belanda. Karena tidak menguasai bahasa Arab, mereka kemudian mengenal Islam dari sumber kedua, yakni buku-buku Islam dalam bahasa Belanda dan bahasa Eropa lainnya.

Sebagai sumber referensi, mereka mengandalkan karya-karya tafsir dalam bahasa Belanda dan Inggris. Di sinilah yang membedakannya dengan Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Salim punya akses yang luas terhadap bacaan-bacaan sumber berbahasa Arab. Pada posisi inilah Salim kemudian menjadi rujukan dan sumber utama pengetahuan anak-anak muda Islam awal abad lalu.

Hatta mencatat tulisan-tulisan Agus Salim di surat kabar Neratja punya pengaruh yang besar terhadap jalan politik yang ditempuh Sarekat Islam. Semula ia menyorongkan politik kooperatif dengan duduk di parlemen. Volksraad, bagi Salim, bisa digunakan sebagai jalan untuk mengajukan tuntutan kepada pemerintah jajahan. Namun enam tahun kemudian pendapat Salim berubah. "Kata-katanya punya pengaruh yang besar sekali atas kebijakan yang ditempuh Sarekat Islam," tulis Hatta.

Setelah tidak lagi menjabat di pemerintahan, Salim tetap aktif menulis, baik untuk majalah maupun surat kabar harian. Pada saat Salim wafat pada 1954, berbagai tulisannya yang tersebar di banyak terbitan kemudian dibukukan dalam Djejak Langkah Hadji A. Salim oleh penerbit Tintamas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus