Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepala Redaksi, Kepala Batu
Dia menerapkan prinsip-prinsip dasar yang dia yakini dalam pekerjaannya. Hal itu tecermin dari cara ia mengelola surat kabarnya.
Kepada teman dekatnya, Mohamad Roem, Agus Salim pernah menyatakan prinsip yang dia pegang teguh sepanjang hidup: "Keyakinan saya tentang peri kehidupan; dan pendapat saya tentang pemerintah Hindia Belanda serta kebijaksanaannya, saya tidak bersedia tawar-menawar."
Kutipan di atas bisa kita temukan dalam buku Manusia dalam Kemelut Sejarah (1978). Di buku yang sama kita bisa membaca betapa terperanjatnya Roem lantaran Salim melepaskan jabatan Pemimpin Redaksi Hindia Baroe saat harian itu menanjak pamornya pada 1926. Ternyata sehari sebelumnya pemilik koran meminta ia memperlunakkan kritik terhadap pemerintah kolonial.
Tatkala menerima jabatan itu, dia telah membuat kesepakatan dengan pemilik Hindia Baroe bahwa dia mendapat kebebasan penuh mengelolanya. Alhasil, dia memilih mundur. Sebab, bila jalan terus, hanya ada dua opsi, yaitu mengabaikan permintaan pemilik atau berkompromi dengan hati nuraninya.
Sikap kepala batu yang sama dia tunjukkan ketika memimpin Neratja. Dia menolak tawaran subsidi pemerintah Belanda dalam wujud pembelian beberapa ribu eksemplar koran itu. Kompensasinya, Salim harus meredam perilaku oposan. Penolakan itu justru menaikkan tiras Neratja. Tapi ia harus menebusnya dengan berhenti. Untuk menyingkirkan Salim, pemilik koran memintanya meninjau ulang jabatan rangkapnya: memimpin Neratja dan memimpin Central Sarekat Islam (CSI).
Neratja adalah debut Salim dalam pengelolaan koran. Kees van Dijk dalam The Netherlands Indies and the Great War: 1914-1918 (2007) menyebutkan keuangan Neratja didukung pemerintah. Batavia membutuhkan koran berbahasa Melayu untuk "menjaga" pemikiran warganya.
Mohammad Hatta dalam Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi (2011) menulis, pada 1917 pemerintah mempercayakan Neratja kepada Landjumin Datuk Tumenggung. Bernama pena Notonegoro, Landjumin adalah pegawai kantor agama dan patih di Meester Cornelis, Batavia. Landjumin mengajak Salim, teman masa mudanya, untuk mengelola Neratja. Abdoel Moeis, keponakan Landjumin, yang juga Wakil Ketua CSI, menjadi pemimpin redaksi.
Pemilihan Moeis sebagai pimpinan Neratja adalah strategi pemerintah mengekang pergerakan CSI yang menuntut pembentukan "kolonial parlemen" atau parlemen jajahan yang dipilih rakyat. Strategi itu ibarat senjata makan tuan. Moeis justru menjadikan Neratja corong CSI. Landjumin pun meminta dia turun dari kursi pemimpin redaksi. Posisi yang ditinggalkan Moeis diberikan kepada Salim.
Setali tiga uang dengan Moeis, Salim menjadikan Neratja koran oposisi. Dia mempopulerkan istilah "kaum sana" dan "kaum sini" untuk mempertentangkan penjajah dengan terjajah. Salim menampilkan aspirasi rakyat untuk membentuk pemerintahan sendiri. Mudah diduga, kariernya di Neratja cepat kandas.
Salim lantas berlabuh ke Bandera Islam, di Yogyakarta. Bandera Islam dikelola oleh para petinggi CSI, seperti Haji Oemar Said Tjokroaminoto, Soekiman, dan Sjahboedin Latif. Setelah eksis selama empat tahun, koran yang menjadi corong pergerakan CSI ini dilanda krisis keuangan. Solusinya, kantor Bandera Islam pindah ke Jakarta dan berganti nama menjadi Fadjar Asia.
Penerbitan Fadjar Asia kian terbuka setelah Salim pulang dari Muktamarul Alami Islamy Farulhim bil Syarqiyyah di Mekah, Arab Saudi, pada 1927. Di sela-sela muktamar, Salim berdialog dengan penguasa Saudi. Raja Saudi terkesan. Hasil dari interaksi ini, Salim memperoleh dana untuk menerbitkan surat kabar.
Terbit setiap hari, Fadjar Asia mampu memancarkan harapan bagi bangsa terjajah. Sebagai pemimpin redaksi, dia langsung ke lapangan. Ia berkeliling ke pedalaman Jawa, Sumatera, dan Kalimantan untuk membuat laporan tentang keadaan buruh-buruh yang diperas tenaganya dan diupah amat minim. Laporan Salim tersebar luas karena distribusi Fadjar Asia mencapai kota seperti London, Den Haag, Moskow, hingga negeri Mesir, India, dan Cina.
Kelakuan pemerintah kolonial sampai juga ke kuping Himpunan Serikat Buruh Belanda (Nederlands Verbond van Vakverenigingen, NVV). Melihat kiprah Salim, NVV mengangkatnya menjadi penasihat Konferensi Buruh Sedunia di Jenewa, Swiss. Di depan forum itu, Salim berpidato dalam bahasa Inggris, Belanda, Prancis, dan Jerman, membeberkan kekejaman Belanda di Hindia Belanda.
Pidato itu membuka mata dunia. Amerika Serikat bahkan meninjau kembali politik perdagangan dengan Belanda. Akhirnya, Belanda terpaksa mengubah politik kolonialismenya.
Malaise melanda, Fadjar Asia terkena dampaknya. Ketika Salim masih berada di Eropa dan Tjokroaminoto sakit, pimpinan redaksi diserahkan ke Kartosoewirjo. Dalam kondisi keuangan perusahaan yang merosot drastis, istri Salim, Zainatun Nahar, terpaksa menjual perhiasan untuk membayar gaji karyawan. Saham Salim di perusahaan itu terpaksa dialihkan ke istri Tjokroaminoto. Otomatis, pada 1930, Salim tak lagi punya andil di surat kabar yang ia lahirkan.
Pengalaman luasnya di bidang jurnalistik membuat Persatuan Wartawan Indonesia menjadikan Salim anggota Dewan Kehormatan. Menurut Rosihan Anwar, dalam buku Sejarah Kecil 'Petite Histoire' Indonesia jilid 3 (2009), bersama Mohammad Natsir dan Roeslan Abdulgani, Salim menjadi narasumber kode etik jurnalistik di Kongres PWI 1954. Hasil rumusan kemudian disahkan menjadi Kode Etik Jurnalistik PWI dalam kongres 1955.
Di mata budayawan Taufik Rahzen, Salim adalah pribadi menarik. "Dia menyediakan diri dan kehidupannya sebagai eksperimen gagasan besar," kata pendiri dan pengelola Newseum ini. "Di satu sisi dia orang yang prinsipil, konservatif, tapi sikapnya terbuka, demokratis." Taufik melihat ada dua prinsip dasar yang dipegang Salim dengan teguh. Pertama, kebenaran itu harus ditegakkan melalui perdebatan. Kedua, pekerjaannya harus sesuai dengan prinsip-prinsip dasar yang ia percayai.
Prinsip ini tecermin dari cara ia membangun surat kabarnya. Ketika Salim di Neratja, yang menggunakan sandaran Islam. Begitu ke Hindia Baroe, dia mulai berpikir nasionalisme tak mungkin tanpa Islam, dan sebaliknya. Ketika di Bandera Islam, dia cenderung ke Pan Islamisme, dan di Fadjar Asia, ia mengidolakan Pan Asia.
Taufik, melalui Yayasan Indonesia Buku yang dipimpinnya, enam tahun lalu membuat proyek buku pers Indonesia. Salah satunya Tanah Air Bahasa: Seratus Jejak Pers Indonesia (2007). Agus Salim masuk 100 Tokoh Pers. Alasan Taufik, Indonesia termasuk sedikit negara di dunia yang nasionalismenya dibangun dari percetakan. "Benedict Anderson menyebutnya printed nationalism. Kesadaran muncul karena bentukan dari cetakan, terutama surat kabar," ujarnya.
Walhasil, hampir semua founding father—termasuk Agus Salim—lazimnya menjadi pemimpin redaksi sebelum memimpin partai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo