Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Baret hijau dan ribuan korban

Westerling memimpin pasukan para khusus baret hijau untuk menumpas pejuang di sul-sel. dengan caranya yang sadistis ia membantai rakyat di berbagai daerah di makassar. ada perbedaan versi tentang jumlah korban.

12 Desember 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERAPAKAH jumlah korban Westerling di Sulawesi Selatan sesungguhnya? 6 Desember 1946 Westerling dan Pasukan Para Khusus Baret Hijau mendarat di Makassar di bawah pimpinan Letnan Satu Westerling. Sebelumnya, pertengahan November, Pembantu Letnan Vermeulen telah tiba di Makassar guna mencari sasaran, agar tugas Westerling lancar. Di Sulawesi Selatan inilah pangkat pimpinan Baret Hijau dinaikkan menjadi kapten oleh Kolonel De Vries, Komandan Teritorial Borneo dan Timur Besar. Memang komandan inilah yang meminta bantuan dari Jawa guna menumpas perjuangan di wilayahnya. Belum lima hari di Makassar, Westerling memulai gerakannya. Dinihari 11 Desember Makassar timur mendapat giliran pertama. Pilihan daerah operasi ini karena diduganya dua pimpinan gerakan perjuangan bersembunyi di Kampung Batua di wilayah timur Makassar. Yakni Robert Wolter Monginsidi dan Ali Malakka. Pasukan Baret Hijau, jumlah sekitar 130 orang, dipecah dua. Tugasnya jelas dan gamblang: mengumpulkan penduduk kampung, mencari senjata. Bila di sebuah rumah kedapatan senjata, langsung rumah itu dibakar. Kepada orang-orang yang dikumpulkan Westerling berpidato bahwa tindakannya bukan tindakan politik -- demikian Willem Ijzereef, sejarawan di Universitas Groningen, Belanda, dalam bukunya De Zuid-Celebes Affaire -- Kapitein Westerling en de standrechtelijk executies atau "Peristiwa Sulawesi Selatan, Kapten Westerling dan pembunuhan dalam keadaan hukum perang". Dan segera saja yang disebutkannya sebagai bukan tindakan politik itu terwujud. Seorang ditembak mati. Kelompok Baret Hijau yang lain melihat sekelompok lelaki bersenjata. Segera tujuh orang tergeletak tak bernyawa. Hari itu sekitar 3.000 penduduk dikumpulkan dari Batua dan sekitarnya. Laki-laki dipisahkan dari wanita dan anak-anak. Kemudian Westerling membacakan 74 nama yang dicari, yang disebutnya "pemimpin gerakan perlawanan, pembunuh, dan perampok." Setelah mengintimidasi sambil memberikan contoh nasib orang yang tak mau menunjukkan nama-nama itu -- langsung ditembak di tempat -- diperolehlah 32 nama dari 74 yang dicari. Ke-32-nya begitu saja dinyatakan bersalah, lalu diberondong senapan. Tak cukup di situ. Kampung Batua lalu dihujani mortir, kemudian dibakar. Dilaporkan operasi dari pukul setengah empat pagi sampai setengah satu siang itu menelan 42 korban. Esoknya, 12 Desember, daerah delta Sungai Berang pun dioperasi. Diduga di situlah perdagangan senjata untuk "kaum ekstremis" dilakukan. Sebuah kampung dibakar. Sekitar 1.500 penduduk dikumpulkan. Sebuah perahu yang kebetulan lewat, tiga penumpangnya langsung dihabisi. Dengan interogasi kilat dari 1.500 orang yang dikumpulkan diperoleh 61 nama yang langsung dihukum mati. Jumlah korban hari itu 80-an. Setelah dua kali operasi Westerling mendapat pujian dari Kolonel De Vries. Penguasa teritorial itu pun memuji-muji cara Westerling bertindak. Kampung Kalakuang, sebuah kampung kecil di timur Makassar, jadi sasaran hari berikutnya. Terjadi sedikit perlawanan. Tapi kedua belas yang melawan itu tewas semuanya. Penduduk kampung lalu dikumpulkan di suatu tempat. Delapan orang mencoba melarikan diri, semuanya ditembak mati. Seorang perempuan meninggal. Ditemukan dokumen perlawanan dan senjata. Pengusutan pun segera dilakukan. Ditemukanlah Letnan Tentara Rakyat Indonesia Abdula Latief dan sejumlah anggota pasukannya. Letnan Abdula Latief tak ikut ditembak mati karena bisa bahasa Belanda. Ia cuma ditawan. Belakangan hari ini diakui oleh Westerling sendiri. "Ya, nasionalis Abdula Latief dan Hamzah, mereka itu nasionalis. Saya berkeyakinan dia pemimpin yang baik dan muda, jujur, dan banyak menyusahkan saya, tapi saya tidak membunuhnya. Juga Wolter Monginsidi, dia pintar berkelahi tapi dia bukan penjahat. Saya pernah bertempur melawan dia," (Ekspres, 22 Agustus 1970). Operasi dari pukul tiga pagi sampai pukul empat seperempat sore itu menelan nyawa 83 orang. Adakah gaya Westerling pula untuk selalu mengganti kepala kampung setelah kampung diteror. Dengan cara itu teorinya, memang, kepala kampung baru akan mudah diajak kerja sama. Tapi benarkah itu? Selalu saja operasi demi operasi kebandelan penduduk tetap dijumpainya. Dan "upacara" mengambil seorang dari penduduk yang telah dikumpulkan, lalu memintanya menunjukkan yang mana "kaum ektremis", selalu makan korban. Seorang atau dua orang yang dicomot biasanya tetap membisu . Dan maut jatuh. Kalau sudah begitu, baru ada yang menunjuk-nunjuk, entah yang ditunjuknya benar pejuang atau bukan. Dalam buku Willem Ijzereef itu pula dibandingkan jumlah korban di Sulawesi Selatan menurut Westerling dan menurut pihak militer Belanda sendiri, selama 11 Desember 1946 sampai dengan 5 Maret 1947. Operasi militer sampai dengan 17 Februari menurut Westerling ia hanya membunuh 350 orang. Sementara itu, pihak militer Belanda sendiri mencatat korban Westerling sampai hari itu sekitar 1.000. Teror kemudian diteruskan ke Parepare, Mandar, dan Bontain. Di tiga daerah ini dikabarkan hampir 700 orang kena bantai. Jumlah itu semua belum termasuk korban yang oleh Westerling disebut "perampok" yakni sekitar 2.660 orang. Lalu mereka yang tak sempat menyelamatkan diri ketika kampung dibakar, lebih dari 550 orang. Dengan data yang dikemukakan Ijzereef, secara kasar korban Westerling (baru Westerling, belum tentara Belanda yang lain sekitar 5.000 orang). Adapun angka 40.000 yang populer itu, menurut Sekretaris Corps Hasanuddin yang diwawancarai majalah Ekspres pada 1970, begini. Pada peringatan korban teror Westerling di Yogyakarta, 1949, Kahar Muzakkar berpidato di Kepatihan Yogyakarta, di hadapan Presiden Soekarno. Di situlah disebut-sebut angka 40.000 itu. Adakah Willem Ijzereef ketika menulis bukunya tak mencoba mewawancarai Westerling? "Ia tak pernah mau diwawancarai ketika saya lagi menulis skripsi yang kemudian terbit sebagai buku itu," tuturnya kepada koresponden TEMPO di Rotterdam. "Setelah buku saya terbit dialah yang menelepon saya. Dan dia selalu mempertahankan diri dengan mengatakan bahwa tidak pernah melakukan kejahatan perang." Hendrik M. (Rotterdam)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus