Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Baret hijau...libya sampai vietnam

Kisah pengalaman kepala pasukan khusus a.s. (baret hijau), sersan luke thompson, direkrut sebagai agen rahasia terselubung tentara amerika yang menangani pekerjaan kotor kebijaksanaan politik as. (sel)

11 September 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PANGGILAN pertama datang pada suatu petang yang lembab bulan Juli 1977. Luke Thompson, sersan kepala Pasukan Khusus Amerika, sedang berada di rumahnya di Fayetteville, New York City. Penelepon memperkenalkan dirinya sebagai Pat Loomis dari Washington. Tanpa berpanjang kata, Loomis langsung saja bertanya apakah Thompson berminat merekrut sebuah pasukan dari para bekas pasukan Baret Hijau (Green Berets) ? "Untuk sesuatu tugas di luar negeri, dan imbalannya setimpal," kata Loomis saat itu. Tak ada penjelasan lain darinya. Thompson menerima saja tawaran itu. "Tak mengetahui bahwa ia sedang dilibatkan dalam salah satu operasi yang paling aneh dan mencekam dalam sejarah spionase internasional," tulis Philip Taubman dalam The New York Times Magazine. Begitu percakapan dengan Loomis berakhir, Thompson baru merasa khawatir: jangan-jangan tawaran itu adalah perangkap dari dinas intelijens asing yang bermusuhan dengan AS. Ia lalu menelepon perwira intelijens militer di Fort Bragg, Fayetteville, Markas Besar Pasukan Khusus AS, untuk melaporkan tawaran itu dan meminta petunjuk mereka. Lalu dua perwira mendatanginya di rumah, dan menurut Thompson sendiri, mereka bertiga mendiskusikannya sepanjang malam. Hari berikutnya Loomis menelepon kembali. Ia ingin bertemu dengan Thompson esoknya di Fayetteville -- dan keduanya sepakat bertemu di Sheraton Motor Inn. Pada pertemuan hari itu, menurut Thompson, ia diberitahu oleh para perwira intel bahwa mereka sudah mengecek tawaran itu "sampai ke puncak" dan ternyata memang "legal dan benar". Mereka berkata pada Thompson, "Anda dapat melaksanakannya sekehendak anda." Pada kesempatan berikutnya, di Sheraton, yang menyebut dirinya Loomis memperkenalkan diri sebagai agen rahasia CIA. Tidak sampai tiga pekan kemudian, Thompson -- yang kepergiannya direstui komandannya -- bersama tiga bekas anggota Baret Hijau yang telah direkrutnya, telah berada di Libya. Tugas mereka: melatih para teroris. Astaga! Lima tahun telah berlalu. Namun "operasi Libya tetap merupakan misteri, kontroversi dan sasaran pengusutan," komentar Taubman, koresponden NYT untuk Washington itu. Otak missi ini adalah Edwin P. Wilson dan E. Terpil, menurut wartawan yang sama. Keduanya bekas intel AS yang pernah didakwa oleh Juri Agung Federal bertanggung jawab dalam pengiriman secara tidak sah bahan-bahan peledak ke Libya -- untuk dipakai dalam latihan para teroris negeri itu. Wilson belakangan terjaring dalam perangkap yang dipasang secara internasional oleh Departemen Kehakiman AS. Perkaranya hingga sekarang masih belum diputus oleh Pengadilan Negeri Washington -- dengan jaminan US$20 juta. Terpil -- lebih parah lagi -- menjadi buronan, terakhir dikabarkan menetap di Beirut. "Sesaat sebelum pertemuannya dengan Thompson, Pat Loomis oleh CIA dibebaskan dari tugas, membantu Wilson," menurut Taubman. Tapi karena prosedur administrasi, Loomis masih tetap terdaftar dalam daftar gaji CIA ketika ia mengadakan kontak dengan Thompson. CIA dalam pada itu berulang kali mengakui bertanggung jawab atau mendukung operasi. Namun beberapa sumber menduga, para perwira senior yang akrab dengan Wilsonlah yang memberikan persetujuan terhadap rencana operasi Libya itu. "Barangkali dengan harapan dapat menimba informasi intelijens berharga tentang terorisme Libya," wartawan masalah-masalah intel itu menduga. Juga ada kemungkinan -- seperti yang sedang dilacak terus oleh para jaksa Federal bahwa para pejabat senior CIA yang sama secara diam-diam menjadi "teman seperkongsian Wilson." Para pengusut Federal di Washington, Houston, Denver dan di beberapa kota AS lainnya masih terus meneliti berbagai aspek dari kasus itu -- dan sejumlah tuduhan baru. DARI begitu banyak teka-teki yang muncul dari berbagai kejadian itu, salah satu di antaranya yang paling musykil untuk disingkapkan adalah: Mengapa kelompok yang berasal dari pasukan Baret Hijau -- orang-orang yang dilatih sebagai pasukan komando elite AS dan menganggap dirinya patriot sejati --menerima tawaran melatih teroris musuh pemerintah dan negaranya sendiri? Yang bersangkutan sendiri mengakui bahwa "alasan-alasannya tak sukar untuk dipahami". Bayarannya bagus (katanya dijanjikan bayaran US$ 6.500 atau sekitar Rp 4,5 juta per bulan). Aksi-aksi yang dijalankan cukup merangsang naluri pasukan profesional. Mereka juga mengklaim, mereka direkrut secara resmi untuk menjalankan tugas infiltrasi ke dalam tubuh aparat intel Libya. Namun ada sesuatu yang menimbulkan tanda tanya: dari latihan-latihan yang mereka terima dan dari tugas-tugas yang telah mereka laksanakan sebelumnya, apakah mengena di hati nurani untuk kemudian menjalankan misi yang tak jelas itu? Apakah memang sudah lumrah bagi mereka menerima "tugas laknat" -- dari oknum-oknum pejabat yang dapat dicurigai iktikadnya, nota bene untuk membantu diktator yang anti-Amerika itu? Lebih jauh Taubman juga mencurigai cara kerja organisasi intel Amerika itu. "Khususnya hubungan antara CIA dan Baret Hijau, hingga para spion itu mau menjalankan operasi tanpa suatu wewenang yang jelas." Sejak pertengahan 1970-an, anak negeri Paman Reagan telah mengetahui bahwa pemerintahnya menjalankan serangkaian operasi tak terungkapkan, termasuk pembunuhan-pembunuhan, di banyak negeri. Tapi mereka tak tahu sedikit pun tentang para pelakunya, apa yang dilakukan dan dampak apa yang telah didapat. Sebagian besar tugas sangat dirahasiakan dan para pelakunya dilarang mendiskusikan, apalagi mempergunjingkannya. "Luke Thompson, kini pensiun dan sakit hati, memutuskan membuka mulut," tulis Taubman. Dan inilah kisah pengalamannya. Sebuah cerita yang membuka pintu dunia dan menyingkap banyak hal dari belantara spionase internasional. Tidak semua pembeberan Thompson dapat dicocokkan dengan sumber informasi lain, menurut koresponden NYT itu. Pemerintah ternyata menolak memperbincangkan beberapa misi yang ia kemukakan. Hingga pendapat, pikiran dan emosi yang disampaikannya, sepenuhnya miliknya sendiri. Namun, "sebagian besar dari unsur ceritanya, termasuk peristiwa yang menimpa sebagian besar unit Baret Hijau, diakui oleh yang lainnya -- dan masuk dalam file pemerintah," kata Taubman. Sumber-sumber informasi itu -- termasuk pejabat dan bekas pejabat Hankam serta bekas perwira intel, dan dokumen pemerintah, yang diterbitkan maupun tidak --semuanya mengukuhkan kebenaran fakta yang dikemukakan Thompson. TAHUN-tahun mengenakan baret hijau, 1962-978, Thompson menempati pojok tergelap dalam hidupnya -- dan pantas menjadi tokoh dalam novel Graham Green. Begitu konon. "Ia bagian dari agen rahasia terselubung tentara Amerika yang menangani pekerjaan kotor kebijaksanaan politik AS -- seringkali di bawah pengawasan CIA -- di seluruh dunia," menurut Taubman. Menurut pengakuan Thompson sendiri, ia terlibat dalam komplotan pembunuhan tak terungkap di Republik Dominika, 1965. Diungkapkannya pula, bahwa rekan-rekannya kemudian pergi ke Bolivia. Untuk apa? "Untuk membantu serdadu-serdadu Pemerintah Bolivia memburu, kemudian membunuh Che Guevara, pemimpin revolusi Kuba." Di Asia Tenggara, kata Thompson, ia dan rekan-rekan Baret Hijaunya juga turun tangan. Di Vietnam, sasarannya adalah melenyapkan para gubernur, pengusaha dan pemimpin politik yang diduga menjadi simpatisan Vietcong. Menyelinap ke Vietnam Utara dan Kamboja, lalu diam-diam merusak dari dalam -- beberapa bulan sebelum serbuan resmi Amerika, 1970. *** LUKE Floyd Thompson lahir pada 13 Maret 1934 di Lewis County, Kentucky. Ia anak ketujuh dari 15 bersaudara -- empat di antaranya mati ketika kanak. "Di daerah yang begitu udiknya," katanya, "hingga kampung halamanku tanpa sentuhan kota sedikit pun." Ayahnya, Meredith, seorang pandai besi. Sang ibu Verna Gillum, fulltimer ibu rumah tangga. Ketika Luke berusia 3 tahun, Sungai Ohio meluap dan menghanyutkan rumah keluarga Thompson. Mereka kemudian pindah ke Ashland, dan di sana ayahnya tak berhasil mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya. Bidang kemiliteran akhirnya jadi bagian tak terpisahkan dari keluarga Thompson. Ayah Luke bertugas di kavaleri yang ditempatkan di Prancis, selama Perang Dunia I. Enam saudaranya "teken serdadu" ketika usia mereka cukup, dan empat di antaranya terlibat aktif dalam Perang Dunia II. Luke sendiri bergabung dengan Garda Nasional dalam usia 14 dan terdaftar di AB tiga tahun kemudian. Thompson "anak bandel", seperti yang diakuinya. Ia masih ingat ketika ikut merampok seorang penyelundup minuman keras di Kentucky. "Kami masuk ke kedai minuman Red Bud, menembak jukebox dengan senjata kaliber 45, dan merampas US$75. Kami memarkir kendaraan yang siap kabur di bukit, karena itulah satu-satunya jalan yang mudah." Berhadapan dengan polisi keesokan harinya ia berhasil meyakinkan bahwa ia sudah mengakhiri apa yang disebutnya "bisnis bajingan". PADA 1955, ia "mulai menjadi bajingan lagi," katanya. Kini dalam bentuk pergi tanpa izin dan melanggar peraturan kemiliteran lainnya. Akibatnya, Thompson dihadapkan ke pengadilan militer: dipecat dari dinas dan mendekam satu tahun di penjara Leavenworth, Kansas. Padahal, "jika saya berkelakuan baik dan disiplin, saya sudah diserahi tanggung jawab yang lebih baik," katanya. Keluar dari penjara, ia membutuhkan beberapa tahun untuk meyakinkan AB agar direhabilitasikan -- yang terjadi pada 1959. Pada tahun itu pula, pada fase kedua kemiliterannya, ia memperoleh latihan berat untuk Pasukan Khusus. Saat itu Baret Hijau masih belum apa-apa, relatif belum teruji, yang dibangun pada 1952 -- agar AS memiliki sebuah pasukan yang mampu melaksanakan operasi perang nonkonvensional, termasuk kegiatan komando dan intelijens. Mereka melatih serdadu musiman yang dipersiapkan hanya untuk dinas beberapa tahun tertentu. Latihan tambahan memang sangat khusus dan intensif, diikuti dengan sebuah karier pada bagian akhir aktivitas militer, di seluruh dunia. Karier apa itu, tentu yang ada hubungannya dengan kepintaran berkelahi. Akhir 1950-an, CIA mulai berpaling ke Pasukan Khusus untuk mencukupi tenaga di bidang operasinya yang gelap-gelapan di seluruh dunia. Hubungan antara CIA dengan Baret Hijau berkembang baik di kawasan Asia Tenggara dalam masa 1960-an dan 1970-an. Menurut para pejabat Departemen Hankam, beratus-ratus anggota Pasukan Khusus bertugas dalam berbagai operasi yang diawasi CIA. Operasi semacam itu terus berlanjut, dan dengan pengetahuan para pejabat intel. Ingat usaha penyelamatan sandera AS di Iran yang gagal, 1980? Ternyata "sejumlah Baret Hijau yang berpangkalan di Jerman Barat memasuki Teheran sebagai usahawan Jerman, untuk membantu persiapan penyelamatan itu," tulis Taubman. Mithos tentang Baret Hijau, sebagian, dimulai dari program latihan mereka. Sekitar separuh dari peserta latihan berat dan keras itu berguguran -- karena tidak mampu menyelesaikan atau dianggap tidak qualified sebagai pasukan khusus pada akhir latihan. Keahlian membunuh dituntut dari setiap anggota Baret Hijau -- dan Thompson, dalam hal ini, cukup unggul. Setelah dilantik sebagai anggota Pasukan Khusus, Thompson terpilih sebagai peserta sekolah intel -- salah satu dari sejumlah bidang yang menjadi spesialisasi Baret Hijau. Tapi ketika mengetahui ada penundaan enam minggu sebelum pelajaran dimulai, ia lalu memanfaatkannya dengan mengikuti latihan medis. Mulanya, katanya, ia menganggap "semua anggota korp kesehatan antiwajib militer dan aneh-aneh," katanya. Tapi setelah waktu berlalu, Thompson menjadi asyik dengan praktek pengobatan. Setelah melengkapi kursus singkat kesehatan pada 1961, Thompson bergabung dengan Pasukan Khusus ke-7 yang berpangkalan di Fort Bragg. Ia segera bertugas di Tim A (kelompok dasar Pasukan Khusus, terdiri 12 orang) yang dikirim ke Vietnam -- untuk melatih Hansip agar lebih mampu melawan Vietcong. TUGAS utama Thompson berikutnya datang pada awal April 1965. "Saat itu," katanya, "saya terpilih menjadi anggota tim rahasia yang dikirim ke Republik Dominika." Waktu itu, Kolonel Francisco Caamano Deno, yang memimpin segerombolan gerilyawan berusaha menggulingkan pemerintah. AS, ketika itu, berpura-pura bersikap netral terhadap perang saudara yang sedang berkecamuk di sana. Akhir April, ketika kerusuhan meningkat dan gerombolan nyaris berhasil, datang Presiden Johnson mengirim pasukan marinir. Johnson mencanangkan "nyawa warga Amerika sedang dalam bahaya." Dan pasukan marinir berhasil mencegah penggulingan kekuasaan oleh golongan kiri. Menurut Thompson, peristiwa itu bermula dengan pengiriman sebuah tim Baret Hijau "hanya untuk memonitor aktivitas orang-orang sipil Amerika, termasuk sukarelawan Peace Corp: apakah mereka benar masih sehat selamat." Ketika Baret Hijau tiba di tempat, yang mereka saksikan cukup mengejutkan. Jebulnya, "sejumlah orang Amerika malah membantu para gerilyawan." Jadinya sasaran utama pun menyimpang, ungkap Taubman, "dari melindungi warganya sendiri menjadi memata-matainya." Sial! Tugas memata-matai tiba-tiba dihentikan. Thompson dan rekan-rekannya lalu diperintahkan bergabung dengan tim khusus perang nonkonvensional AL AS. "Tugasnya mempersiapkan pembunuhan terhadap Caamano," katanya. Tim gabungan itu memutuskan menyerang Caamano pada sebuah gedung yang sering dipakainya berembuk dengan pemimpin-pemimpin gerilya Dominika lainnya. Mereka mendekati lokasi dari pantai ke arah sepasang jalan yang paralel dengan membawa bahan-bahan peledak, di tangan masing-masing. Setelah memasang perangkap maut itu, mereka mundur, dengan membawa -- kalau ada -- para korban. "Kami harus menghindari adanya petunjuk kesertaan Amerika," kata Thompson. Ternyata "pada menit terakhir, misi itu ditunda," ungkap Thompson lebih jauh. "Tanpa memberikan alasannya." Bekas para perwira intel belakangan berkata, "rencana itu dianggap terlalu riskan dan dapat mengganggu ketimbang menyelamatkan kepentingan Amerika -- dengan menjadikan Caamano seorang martyr." THOMPSON tak pernah kembali ke Amerika Latin. Tapi ia melaporkan, dua tahun belakangan sejumlah rekan Baret Hijaunya bergelap-gelap mengambil bagian dalam penangkapan, kemudian pembunuhan, Che Guevara. Deskripsi Thompson tentang operasi di Bolivia dikukuhkan oleh bekas Baret Hijau lainnya -- si pelaku langsung. Juga diakui oleh para bekas perwira intel dan Hankam yang terlibat. "Semuanya minta tak disebutkan namanya." Ceritanya begini. Sekelompok Baret Hijau beranggotakan 10-12 orang dari Pasukan Khusus 8 yang berpangkalan di Panama, dikirim ke Bolivia pada akhir 1967. Sebagai bagian rencana yang disponsori CIA untuk melatih angkatan bersenjata Bolivia menjaring Guevara. Di sebuah perkemahan di pinggiran La Paz, orang-orang Amerika bekerja dengan 100 sampai 150 anggota pasukan khusus Bolivia. "Selama dalam menjalankan program latihan, jaringan intel Bolivia melaporkan: Guevara sedang berada di pegunungan, di timur La Paz," tulis Taubman. Pasukan Baret Hijau, menurut seorang peserta latihan, mengirim sendiri orang-orang intelnya untuk mengecek. "Kebenaran Guevara di tempat itu diperteguh." Langkah selanjutnya: memperinci rencana penangkapan. Tugas utama persiapan ditangani yankee-yankee sendiri. Dan dalam beberapa minggu, sekelompok kecil orang-orang Bolivia diseleksi dengan ketat dan dilatih keras untuk disertakan dalam operasi. Akhirnya, usaha penjebakan dilakukan. Didampingi penasihat-penasihat Amerikanya, pasukan Bolivia berangkat melacaki jejak Guevara yang sedang melatih pasukan gerilya di pegunungan terpencil. "Ia (Guevera) ditangkap dan dibunuh di tempat," kata bekas seorang anggota Baret Hijau yang menyaksikan, "Orang-orang Bolivia yang menarik pelatuknya. Mereka ingin membalaskan dendam." Mayat Guevara dibawa ke perkemahan. Di sana ia diidentifikasikan oleh dua anggota intel Amerika, yang terbang dari Panama. *** SETELAH rencana pembunuhan yang batal di Republik Dominika, fokus karir J Thompson kembali ke Asia Tenggara. Ia kembali ke Vietnam, dalam rangka alih-tugasnya yang pertama. Kemudian ke Thailand, untuk serangkaian 'misi' ke Laos, Kamboja, bahkan Vietnam Utara. Di Vietnam, "mengumpulkan bahan intelijens strategis," kata Thompson. Katanya, ia sendiri pernah mengikuti empat misi ke Vietnam Utara--dan selusin yang lain oleh rekan-rekannya. Lebih jauh, Thompson diperintahkan bergabung dalam operasi berselubung di Thailand -- yang ditangani AB dan CIA. Berada di bawah pengawasan Komando Bantuan Militer Kelompok Operasi Khusus Vietnam, tugasnya melatih kelompok-kelompok pasukan khusus Thai. Bersama-sama dengan Baret Hijau, mereka ditugaskan kemudian memegat jalur Ho Chi Minh. "Selama keliling di Asia Tenggaralah, pembunuhan menjadi hal rutin bagi Thompson," komentar Taubman. Semua masih terbayang di kepalanya dengan jernih. "Orangnya adalah penerjemah berkebangsaan Vietnam. Telah dibuktikan sersan intel kita bahwa ia mensuplai informasi untuk Vietcong Saya lalu disapa: 'Inilah bagianmu'." Seminggu kemudian Thompson dan penerjemah itu bersama-sama dalam suatu operasi. "Pasukan kami tiba-tiba berhadapan dengan Vietcong. Begitu kami tiarap, kusembur dia. Ia tak pernah tahu." Kendati Thompson belum tahu orangnya dan belum jelas apakah ia musuh, ia tidak ragu dalam membunuh. "Itu terjadi secara mekanis," katanya. "Itu sesuatu yang harusnya terjadi. Tugas sehari-hari, seperti menggosok gigi." Jika mungkin, katanya, Baret Hijau mencoba menyembunyikan keterlibatan mereka -- seolah-olah pembunuhan itu dilakukan Vietcong atau tentara Vietnam lainnya. "Anda harus mencoba memencilkan korban dari seseorang atau keadaan yang dapat menjelaskan tentang sebab dan penyebab kematiannya -- dengan menggunakan sniper, semburan api (firefight) atau bahan peledak. Tanpa kata-kata. Cuma dor! Anda bukan hakim. Anda hanya mesin." Menurut Thompson, sasaran pembunuhan termasuk siapa saja yang dianggap sebagai pendukung atau simpatisan Vietcong. Di dalam daftar dimasukkan pula orang-orang sipil seperti kepala daerah, usahawan dan pemimpin politik. Bekas anggota Baret Hijau dan perwira Hankam itu menekankan: pembunuhan seperti itu biasa. BAGAIMANAPUN, ada juga suatu pembunuhan yang hingga kini mengganggu perasaannya. Pada suatu pertempuran. Masih diingatnya peristiwa itu. "Saat itu sudah sampai pada keadaan dibunuh atau membunuh. Saya sedang melangkah di jalan tikus dengan gaya seperti tertera dalam textbook, waspada terhadap apa pun. Tiba-tiba seseorang menapak ke jalan dengan senapan di tangan. Dan kubunuh ia. Segera sesudah itu, gemetar seluruh tubuhku -- kukira karena aku masih hidup -- namun sepanjang hari itu dan sesudahnya, aku terganggu oleh pikiran tentang diri orang itu." "Tampaknya ia teman sendiri," lanjut Thompson. "Ia melakukan seperti apa yang diperintahkan. Kami memang pernah berselisih -- dan aku menghajarnya. Namun tak pernah aku merasa unggul. Malah aku tak tahu siapa namanya. Ia sepotong jiwa di rimba belantara, aku pun sepenggal jiwa di rimba belantara. Ini mungkin pembunuhan yang paling celaka yang pernah kulakukan." Dalam masa itu, Thompson -- dalam ungkapan Baret Hijau -- sambil "menggemuki" Vietcong yang dicurigai, ia juga mengumpulkan orang-orang Amerika, Vietnam, malah Vietcong yang terluka dan sakit di dalam tendanya. Ini tidak menimbulkan pertentangan dalam dirinya. "Aku menapak di antara penyembuhan dan pembunuhan," katanya. "Kukenakan seragam tempurku dan mengkamuflasekannya, lalu berangkat. Tak ada soal bagiku ketika berada di antara masa peralihannya." Thompson mengaku melayani siapa saja yang datang ke kliniknya. "Saya mengurus sebuah lembaga yang netral. Aku harus memperlakukan dengan baik orang-orang yang mungkin pernah membunuh sahabat-sahabatku. Namun aku harus pula memenangkang good will penduduk setempat. Ada simpanan uang di bank untuk setiap orang di pasukan." * * * KARIR Thompson di Asia Tenggara, termasuk misi-misinya ke Malaysia dan Kamboja. Akhir 1967, setelah tugas singkat sebagai instruktur medis di Fort Bragg, ia dikirim ke Thailand. Di sana ia menghadapi kegawatan terbesar sebagai petugas kesehatan: demam tipus yang menular. "Klinik primitifku hanya mempunyai enam tempat tidur untuk 170 pasien penderita penyakit itu," katanya. Thompson hanya kehilangan selusin pasiennya -- angka kematian yang jauh lebih rendah dibanding yang pernah dicapai juru obat lainnya di kawasan itu. Untuk itu ia menerima penghargaan Instansi Kesehatan Militer -- yang konon setaraf dengan penghargaan yang diberikan kepada Walter Reed -- dokter militer AS yang ternama. " Ia tunjukkan surat penghargaan itu kepada saya," tulis Taubman. Satu dari dua tour Thompson paling akhir berlangsung pada Januari 1968. Saat itu ia ditugaskan dalam pasukan tempur untuk mencari dan menghancurkan Vietcong di sepanjang perbatasan Vietnam-Kamboja. Menurut Thompson, Baret Hijau mengomandoi tiga batalion bayaran yang terutama terdiri dari orang-orang Kamboja. "Kami keluar masuk Kamboja setiap saat yang diperlukan," katanya. Serangan-serangan ke Kamboja berlangsung dua tahun sebelum Presiden Nixon mengumumkan bahwa pasukan Amerika dan Vietnam Selatan sedang memasuki Kamboja untuk menghancurkan Markas Besar Vietnam Utara dan perbekalannya. Masa tugas paling akhir Thompson di Asia Tenggara terjadi pada 1972. Waktu itu ia dikirim ke Thailand untuk melatih serdadu-serdadu bayaran yang akan beroperasi di Laos. Program latihan itu, katanya, dilakukan oleh CIA. Bekas perwira-perwira intel membenarkan, operasi semacam itu memang sedang ditingkatkan di Thailand saat itu -- tapi mereka tak tahu apakah Thompson terlibat. MENJELANG Thompson meninggalkan Asia Tenggara untuk penghabisan kalinya, akhir 1972, tenaganya sudah terkuras habis dan sealklt kecewa. "Aku telah menjadi pembunuh ketika aku bebas tugas," katanya. "Aku hanya mampu terhuyung-huyung di hadapan seseorang dan menggoyang-goyangkannya. Rambut gondrong, dan dalam hal apa pun aku telah berubah. Jika AS memutuskan mengumumkan perang saudara, aku memutuskan berperang di pihak sana -- jika Jane Fonda dan McGovern berdiri di pihak sana." Untunglah, kata Thompson, "Aku ada kesempatan menegakkan kepalaku." Selama menetap di Jepang setelah misi paling akhirnya di Vietnam, Thompson kawin dengan pemandu wisata Jepang -- yang ditemuinya di Expo '70, Osaka. Pasangan ini menetap beberapa bulan di pangkalan Pasukan Khusus AS di Okinawa, sebelum ke Fort Bragg. "Perkawinan dan selingan di Okinawa memberiku waktu," katanya, "untuk menyusutkan naluri kebuasan yang telah berkembang sejak lama." Antara 1972-1977 Thompson menghabiskan sebagian besar waktunya untuk melatih di AS sendiri. Dua kali dalam tahun-tahun itu ia membantu melatih pasukan khusus Taiwan, kemudian berada di Zaire, dua minggu melatih pasukan komando negeri itu. Tidak ada satu pun dari latihan-latihan itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi, menurut Thompson. Dalam keseluruhan masa tugasnya, Thompson seorang serdadu yang patuh. "Secara pribadi aku tidak mengatakan bahwa pemerintah menyuruhku melakukan secuatu yang tidak patut," ujarnya. "Mungkin anda atau orang lain menganggapnya tidak benar. Namun, kukira aku tidak pernah diminta melakukan sesuatu yang salah oleh atasanku." * * * ORANG yang di musim panas 1977 mengusulkan Trhompson merekrut sekelompok bekas anggota Baret Hijau untuk melatih pasukan kumando Libya, lengkapnya bernama Patry E. Loomis. Ia sendiri bekas anggota Baret Hijau dan agen rahasia CIA. Ini menurut para jaksa Federal dan bekas pejabat intel yang lagi-lagi tak mau disebutkan namanya. Namun tidak dijelaskan bahwa Loomis pernah dipecat karena membantu bekas agen CIA Wilson dan Terpil mengapalkan sejumlah bom waktu ke Libya. Wilson dan Terpil ini -- belakangan baru diketahui -- menandatangani persetujuan dengan kolonel Mu'ammar el Qaddafi untuk membantu melatih para teroris. Wilson telah bertugas selaku agen rahasia CIA selama 20 tahun, dan sebagai anggota kelompok agen rahasia AL yang dikenal dengan "Satuan Tugas 157". Bebas tugas pada 1976, pada tahun itu pula ia teken persetujuan dengan Libya. Terpil bertugas selaku teknisi PHB untuk CIA -- sebelum dipaksa berhenti pada 1971 mengikuti berbagai pelanggaran hukum oleh Biro Intelijens AS itu. "Ia kemudian menjadi salesman senjata internasional dan penyalur-kunci peralatan militer kepada yang kemudian menjadi orang kuat Uganda, Idi Amin," menurut Taubman. Dalam anggapan Thompson, operasi Libya menjadi sah sebagian karena ditopang oleh latar belakang mereka. Anggota Baret Hijau lainnya -- termasuk komandan Thompson sendiri -- "berkata kepada saya, bahwa operasi itu tidak lebih hebat dari yang dituntut CIA." Thompson yang pantang mundur juga berkata, apa yang diterimanya dari pejabat intel militer juga mengurangi keragu-raguannya. "Kesan yang dibersitkan oleh para pejabat intel adalah operasi-operasi yang mereka jalankan disetujui pemerintah, hingga kini masih merupakan misteri utama yang tidak terpecahkan," Taubman berkomentar. Thompson tidak dapat mengingat kembali nama dua orang yang katanya datang menemuinya di rumah setelah telepon Loomis pertama. Dua perwira intel AB yang lain di Fort Bragg memberikan keterangan yang bertentangan dengan wawancara. Mereka juga tak dapat mengingat langkah-langkah pokok yang mereka ambil setelah Thompson pertama kali melapor-mengikuti panggilan telepon Loomis. Kedua orang itu keberatan namanya diperjelas. Tokoh ketiga, Carl H. Oelschig -- perwira intel senior pada Markas Besar Pasukan Khusus pada 1977 -- dalam sebuah wawancara mengakui, saya pertama kali mengetahui tentang operasi Libya setelah Thompson kembali dari sana. Saya hampir terpungging dari kursi ketika mendengar dari Luke apa yang telah terjadi," katanya. Oelschig menginstruksikan Thompson agar melapor pada FBI dan berbicara dengan perwira intel militer lainnya di Fort Bragg. Sementara itu, Oelschig melapor pada atasannya -- yang menjanjikan akan melakukan cekingmelalui lebih banyak intel senior yang mangkal di Fort Meade Katanya, ia tak tahu bagaimana hasilnya, dan jika ada ia akan kirimkan ke Fort Bragg. "Akan saya tangani sebisa-bisanya," katanya, "dan anggaplah itu telah ditangani sebaik-baiknya." Para pengusut Federal percaya bahwa pejabat-pejabat senior CIA yang berhubungan rapat dengan Wilson selama ia masih di CIA, boleh jadi telah menyerimpung penyelidikan-penyelidikan dari Fort Bragg. Yang lain berspekulasi bahwa Wilson, yang mempunyai teman-teman di Departemen Hankam, entah bagaimana caranya, berhasil mencapai tokoh-tokoh kunci intel dan mempengaruhi mereka untuk menyetujui operasi Libya. Atau mungkin saja Thompson, dalam usahanya membenarkan aksi-aksinya, mengklaim telah memperoleh kata angguk, kendati sebenarnya tidak. Orang masih juga meraba-raba di dalam gelap untuk menjawab pertanyaan, "mengapa atasan Thompson di Fort Bragg merestuinya meninggalkan tugas begitu saja?" tanya Taubman. Thompson sendiri mengatakan, permohonannya untuk mangkir tugas disetujui komandannya, karena telah menerima perintah dari atasan mereka di Washington -- yang membenarkan kesertaannya dalam misi ke Libya. Dalam dokumen mana hal itu bisa dicek, tidak jelas. Kolonel Robert A. Mountel --perwira komandan Thompson saat itu -- berkata "saya tidak pernah menerima perintah dari siapapun tentan operasi Libya itu." Katanya, kemangkiran Thompson disetujui, karena para perwira Baret Hijau "mengira Thompson ingin mengecek kemungkinan lowongan kerja sipil baginya." Lainnya berkata bahwa sangat lumrah bagi veteran pasukan Baret Hijau bepergian begitu saja, "agar mereka dapat ikut secara resmi -- dan tak resmi -- sesuatu tugas di luar negeri." Sementara jaksa Federal menduga bahwa para perwira Pasukan Khusus telah mengizinkan Thompson pergi ke Libya, kendati mereka tidak tahu apakah operasi itu disetujui pemerintah. "Karena mereka berpendapat itu dapat menciptakan kegiatan intelijens yang produktif." Jika begitu, "mereka terlalu jauh melangkahi tugas," kata para pejabat AB. Padahal, operasi intel yang melibatkan Baret Hijau, harusnya diselesaikan dan disetujui dulu oleh pejabat senior Pentagon melalui perintah resmi yang dikeluarkan oleh staf Komando Bersama. Perintah itu kemudian diturunkan melalui saluran tertentu kepada para komandan Pasukan Khusus. "Tidak ada perintah semacam itu yang dikeluarkan sehubungan dengan kasus Thompson," menurut para pejabat AB. *** Apa pun penjelasannya, keragu-raguan masih tetap membayang-bayangi kasus Thompson. Nyatanya ia telah menghilang ketika bersama tiga rekrutan menemui Wilson di kawasan pelabuhan udara internasional Zurich, Agustus 1977, untuk menerima instruksi akhir. "Ed Wilson orang paling hebat yang pernah kujumpai," kata Thompson. "Profesionalismenya menyerap sampai ke pori-pori .... Ia kartu as." Menurut Thompson, Wilson berkata pada mereka bahwa: sekali mereka berada di Libya, harus membuat diri "sangat dibutuhkan." Dan mereka tidak boleh melakukan sesuatu yang bisa membahayakan keamanan Amerika. Bahwa mereka akan menerima layanan kesehatan di rumah sakit terbaik di dunia -- jika mengalami cedera. Ia (Wilson) menguncinya dengan menambahkan: "aku dapat membunuh kalian jika kalian mengkhianatiku -- seperti juga kalian dapat memperlakukannya sama jika aku setengah-setengah." Thompson dan rekan-rekannya terbang ke ibukota Libya, Tripoli, bersama senjata ringan dan peralatan militer lainnya di dalam kotak terkunci seberat 400 pound, berikut beberapa map, cetak biru, penuntun penggunaan peralatan teknik mutakhir. Mengikuti sejumlah pertemuan singkat dengan rekan-rekan Libya, orang-orang Amerika itu lalu dibawa ke sebuah istana di luar Tripoli --ditunjukkan pula laboratorium bahan-bahan peledak kepada mereka. Sekelompok ahli artileri AS, umumnya veteran miiiter yang sudah direkrut oleh kompanyon Wilson sendiri, sudah menunggu di sana. Mereka inilah yang mengajari orang-orang Libya bagaimana menangani bom-bom teroris, kata Thompson. Di sini ia merasa sulit berhubungan langsung dengan terorisme. Setelah beberapa minggu melatih pasukan Libya tentang taktik komando, Thompson mengaku tidak cocok bekerja untuk organisasi teroris Libya. Ia mengatakan ingin kembali ke AS untuk urusan pribadi. Thompson lalu diberi tiket ke Fort Bragg melalui London dan Washington. Tiba di sana, ia melapor kepada para pejabat intel militer -- termasuk Oelschig -- dan menyatakan ingin bicara dengan FBI. Dan sejak itu FBI mengusut perkara operasi Libya itu. *** MESKIPUN penelepon-penelepon tengah malam mengancam keselamatannya jika ia bekerja sama dengan para pengusut Federal ia tetap memberikan kesaksiannya di depan juri agung -- dan hasilnya: tanpa tuntutan. "Namun segera menjadi jelas baginya, bahwa karir militernya sudah berakhir," tulis Taubman. Pada Juli 1978, ia pensiun dari Baret Hijau. Katanya, tak seorang pun dari Baret Hijau yang menghubunginya sejak saat itu. "Peralihan ke kehidupan sipil ternyata tidak gampang," Taubman berkomentar. Pada 1978, Thompson pindah ke Hawaii untuk mencari ketenangan dan menghindar dari akibat buruk misi ke Libya. Tiga tahun lamanya ia bekerja sebagai kepala keamanan pada proyek pengeboran minyak lepas pantai di Newfoundland dan di Teluk Mexico -- sambil tetap mundar-mandir ke Hawaii. Thompson meninggalkan pekerjaan itu Desember tahun lalu -- setelah hubungan dengan perusahaan tersebut dipersulit oleh munculnya berita keterlibatannya dengan kasus Libya. Ia kini sedang mengikuti latihan perawat -- untuk memperoleh izin kerja resmi di rumah sakit Honolulu. Istrinya dan tiga anaknya, masing-masing usia 5, 7 dan 9 tahun, telah mempunyai banyak teman di lingkungan tempat tinggalnya di sana. Tapi Thompson mengaku belum punya teman. "Tak kudapat seorang teman pun," ia berkata. "Anda orang pertama yang kupercayai," katanya tertuju pada Taubman. Hampir setiap hari ia mengasingkan diri dalam perahu layarnya. Ia menamai perahu itu dengan nama Jepang, Sayochidori, yang menurut Thompson artinya "burung malam". Tanpa latihan khusus dalam cara mengemudikannya -- ia belajar sendiri -- ia melayari sekitar Teluk Kaneohe. Diturunkannya layar jika angin santer, atau jika hujan menyembur dari Lautan Pasifik. "Saya tahu saya sedang kabur dari sesuatu, atau untuk memburu sesuatu," katanya ketika sedang berada di dala perahunya. "Aku gembira. Jika anda bertanya mengapa, saat sulit bagiku mengatakan tentang apa yang sedang kupikirkan," katanya kepada Taubman, wartawan khusus di bidang intel.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus