PANGGILAN pertama datang pada suatu petang yang lembab bulan
Juli 1977. Luke Thompson, sersan kepala Pasukan Khusus Amerika,
sedang berada di rumahnya di Fayetteville, New York City.
Penelepon memperkenalkan dirinya sebagai Pat Loomis dari
Washington. Tanpa berpanjang kata, Loomis langsung saja bertanya
apakah Thompson berminat merekrut sebuah pasukan dari para bekas
pasukan Baret Hijau (Green Berets) ? "Untuk sesuatu tugas di
luar negeri, dan imbalannya setimpal," kata Loomis saat itu. Tak
ada penjelasan lain darinya.
Thompson menerima saja tawaran itu. "Tak mengetahui bahwa ia
sedang dilibatkan dalam salah satu operasi yang paling aneh dan
mencekam dalam sejarah spionase internasional," tulis Philip
Taubman dalam The New York Times Magazine.
Begitu percakapan dengan Loomis berakhir, Thompson baru merasa
khawatir: jangan-jangan tawaran itu adalah perangkap dari dinas
intelijens asing yang bermusuhan dengan AS. Ia lalu menelepon
perwira intelijens militer di Fort Bragg, Fayetteville, Markas
Besar Pasukan Khusus AS, untuk melaporkan tawaran itu dan
meminta petunjuk mereka. Lalu dua perwira mendatanginya di
rumah, dan menurut Thompson sendiri, mereka bertiga
mendiskusikannya sepanjang malam.
Hari berikutnya Loomis menelepon kembali. Ia ingin bertemu
dengan Thompson esoknya di Fayetteville -- dan keduanya sepakat
bertemu di Sheraton Motor Inn. Pada pertemuan hari itu, menurut
Thompson, ia diberitahu oleh para perwira intel bahwa mereka
sudah mengecek tawaran itu "sampai ke puncak" dan ternyata
memang "legal dan benar". Mereka berkata pada Thompson, "Anda
dapat melaksanakannya sekehendak anda."
Pada kesempatan berikutnya, di Sheraton, yang menyebut dirinya
Loomis memperkenalkan diri sebagai agen rahasia CIA. Tidak
sampai tiga pekan kemudian, Thompson -- yang kepergiannya
direstui komandannya -- bersama tiga bekas anggota Baret Hijau
yang telah direkrutnya, telah berada di Libya. Tugas mereka:
melatih para teroris. Astaga!
Lima tahun telah berlalu. Namun "operasi Libya tetap merupakan
misteri, kontroversi dan sasaran pengusutan," komentar Taubman,
koresponden NYT untuk Washington itu. Otak missi ini adalah
Edwin P. Wilson dan E. Terpil, menurut wartawan yang sama.
Keduanya bekas intel AS yang pernah didakwa oleh Juri Agung
Federal bertanggung jawab dalam pengiriman secara tidak sah
bahan-bahan peledak ke Libya -- untuk dipakai dalam latihan para
teroris negeri itu.
Wilson belakangan terjaring dalam perangkap yang dipasang secara
internasional oleh Departemen Kehakiman AS. Perkaranya hingga
sekarang masih belum diputus oleh Pengadilan Negeri Washington
-- dengan jaminan US$20 juta. Terpil -- lebih parah lagi --
menjadi buronan, terakhir dikabarkan menetap di Beirut. "Sesaat
sebelum pertemuannya dengan Thompson, Pat Loomis oleh CIA
dibebaskan dari tugas, membantu Wilson," menurut Taubman. Tapi
karena prosedur administrasi, Loomis masih tetap terdaftar dalam
daftar gaji CIA ketika ia mengadakan kontak dengan Thompson.
CIA dalam pada itu berulang kali mengakui bertanggung jawab atau
mendukung operasi. Namun beberapa sumber menduga, para perwira
senior yang akrab dengan Wilsonlah yang memberikan persetujuan
terhadap rencana operasi Libya itu. "Barangkali dengan harapan
dapat menimba informasi intelijens berharga tentang terorisme
Libya," wartawan masalah-masalah intel itu menduga. Juga ada
kemungkinan -- seperti yang sedang dilacak terus oleh para jaksa
Federal bahwa para pejabat senior CIA yang sama secara diam-diam
menjadi "teman seperkongsian Wilson." Para pengusut Federal di
Washington, Houston, Denver dan di beberapa kota AS lainnya
masih terus meneliti berbagai aspek dari kasus itu -- dan
sejumlah tuduhan baru.
DARI begitu banyak teka-teki yang muncul dari berbagai kejadian
itu, salah satu di antaranya yang paling musykil untuk
disingkapkan adalah: Mengapa kelompok yang berasal dari pasukan
Baret Hijau -- orang-orang yang dilatih sebagai pasukan komando
elite AS dan menganggap dirinya patriot sejati --menerima
tawaran melatih teroris musuh pemerintah dan negaranya sendiri?
Yang bersangkutan sendiri mengakui bahwa "alasan-alasannya tak
sukar untuk dipahami". Bayarannya bagus (katanya dijanjikan
bayaran US$ 6.500 atau sekitar Rp 4,5 juta per bulan). Aksi-aksi
yang dijalankan cukup merangsang naluri pasukan profesional.
Mereka juga mengklaim, mereka direkrut secara resmi untuk
menjalankan tugas infiltrasi ke dalam tubuh aparat intel Libya.
Namun ada sesuatu yang menimbulkan tanda tanya: dari
latihan-latihan yang mereka terima dan dari tugas-tugas yang
telah mereka laksanakan sebelumnya, apakah mengena di hati
nurani untuk kemudian menjalankan misi yang tak jelas itu?
Apakah memang sudah lumrah bagi mereka menerima "tugas laknat"
-- dari oknum-oknum pejabat yang dapat dicurigai iktikadnya,
nota bene untuk membantu diktator yang anti-Amerika itu?
Lebih jauh Taubman juga mencurigai cara kerja organisasi intel
Amerika itu. "Khususnya hubungan antara CIA dan Baret Hijau,
hingga para spion itu mau menjalankan operasi tanpa suatu
wewenang yang jelas."
Sejak pertengahan 1970-an, anak negeri Paman Reagan telah
mengetahui bahwa pemerintahnya menjalankan serangkaian operasi
tak terungkapkan, termasuk pembunuhan-pembunuhan, di banyak
negeri. Tapi mereka tak tahu sedikit pun tentang para pelakunya,
apa yang dilakukan dan dampak apa yang telah didapat. Sebagian
besar tugas sangat dirahasiakan dan para pelakunya dilarang
mendiskusikan, apalagi mempergunjingkannya.
"Luke Thompson, kini pensiun dan sakit hati, memutuskan membuka
mulut," tulis Taubman. Dan inilah kisah pengalamannya. Sebuah
cerita yang membuka pintu dunia dan menyingkap banyak hal dari
belantara spionase internasional.
Tidak semua pembeberan Thompson dapat dicocokkan dengan sumber
informasi lain, menurut koresponden NYT itu. Pemerintah ternyata
menolak memperbincangkan beberapa misi yang ia kemukakan. Hingga
pendapat, pikiran dan emosi yang disampaikannya, sepenuhnya
miliknya sendiri. Namun, "sebagian besar dari unsur ceritanya,
termasuk peristiwa yang menimpa sebagian besar unit Baret Hijau,
diakui oleh yang lainnya -- dan masuk dalam file pemerintah,"
kata Taubman. Sumber-sumber informasi itu -- termasuk pejabat
dan bekas pejabat Hankam serta bekas perwira intel, dan dokumen
pemerintah, yang diterbitkan maupun tidak --semuanya mengukuhkan
kebenaran fakta yang dikemukakan Thompson.
TAHUN-tahun mengenakan baret hijau, 1962-978, Thompson
menempati pojok tergelap dalam hidupnya -- dan pantas menjadi
tokoh dalam novel Graham Green. Begitu konon. "Ia bagian dari
agen rahasia terselubung tentara Amerika yang menangani
pekerjaan kotor kebijaksanaan politik AS -- seringkali di bawah
pengawasan CIA -- di seluruh dunia," menurut Taubman. Menurut
pengakuan Thompson sendiri, ia terlibat dalam komplotan
pembunuhan tak terungkap di Republik Dominika, 1965.
Diungkapkannya pula, bahwa rekan-rekannya kemudian pergi ke
Bolivia. Untuk apa? "Untuk membantu serdadu-serdadu Pemerintah
Bolivia memburu, kemudian membunuh Che Guevara, pemimpin
revolusi Kuba."
Di Asia Tenggara, kata Thompson, ia dan rekan-rekan Baret
Hijaunya juga turun tangan. Di Vietnam, sasarannya adalah
melenyapkan para gubernur, pengusaha dan pemimpin politik yang
diduga menjadi simpatisan Vietcong. Menyelinap ke Vietnam Utara
dan Kamboja, lalu diam-diam merusak dari dalam -- beberapa bulan
sebelum serbuan resmi Amerika, 1970.
***
LUKE Floyd Thompson lahir pada 13 Maret 1934 di Lewis County,
Kentucky. Ia anak ketujuh dari 15 bersaudara -- empat di
antaranya mati ketika kanak. "Di daerah yang begitu udiknya,"
katanya, "hingga kampung halamanku tanpa sentuhan kota sedikit
pun." Ayahnya, Meredith, seorang pandai besi. Sang ibu Verna
Gillum, fulltimer ibu rumah tangga. Ketika Luke berusia 3 tahun,
Sungai Ohio meluap dan menghanyutkan rumah keluarga Thompson.
Mereka kemudian pindah ke Ashland, dan di sana ayahnya tak
berhasil mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya.
Bidang kemiliteran akhirnya jadi bagian tak terpisahkan dari
keluarga Thompson. Ayah Luke bertugas di kavaleri yang
ditempatkan di Prancis, selama Perang Dunia I. Enam saudaranya
"teken serdadu" ketika usia mereka cukup, dan empat di antaranya
terlibat aktif dalam Perang Dunia II. Luke sendiri bergabung
dengan Garda Nasional dalam usia 14 dan terdaftar di AB tiga
tahun kemudian.
Thompson "anak bandel", seperti yang diakuinya. Ia masih ingat
ketika ikut merampok seorang penyelundup minuman keras di
Kentucky. "Kami masuk ke kedai minuman Red Bud, menembak jukebox
dengan senjata kaliber 45, dan merampas US$75. Kami memarkir
kendaraan yang siap kabur di bukit, karena itulah satu-satunya
jalan yang mudah." Berhadapan dengan polisi keesokan harinya ia
berhasil meyakinkan bahwa ia sudah mengakhiri apa yang
disebutnya "bisnis bajingan".
PADA 1955, ia "mulai menjadi bajingan lagi," katanya. Kini
dalam bentuk pergi tanpa izin dan melanggar peraturan
kemiliteran lainnya. Akibatnya, Thompson dihadapkan ke
pengadilan militer: dipecat dari dinas dan mendekam satu tahun
di penjara Leavenworth, Kansas. Padahal, "jika saya berkelakuan
baik dan disiplin, saya sudah diserahi tanggung jawab yang lebih
baik," katanya. Keluar dari penjara, ia membutuhkan beberapa
tahun untuk meyakinkan AB agar direhabilitasikan -- yang terjadi
pada 1959.
Pada tahun itu pula, pada fase kedua kemiliterannya, ia
memperoleh latihan berat untuk Pasukan Khusus. Saat itu Baret
Hijau masih belum apa-apa, relatif belum teruji, yang dibangun
pada 1952 -- agar AS memiliki sebuah pasukan yang mampu
melaksanakan operasi perang nonkonvensional, termasuk kegiatan
komando dan intelijens. Mereka melatih serdadu musiman yang
dipersiapkan hanya untuk dinas beberapa tahun tertentu. Latihan
tambahan memang sangat khusus dan intensif, diikuti dengan
sebuah karier pada bagian akhir aktivitas militer, di seluruh
dunia. Karier apa itu, tentu yang ada hubungannya dengan
kepintaran berkelahi.
Akhir 1950-an, CIA mulai berpaling ke Pasukan Khusus untuk
mencukupi tenaga di bidang operasinya yang gelap-gelapan di
seluruh dunia. Hubungan antara CIA dengan Baret Hijau berkembang
baik di kawasan Asia Tenggara dalam masa 1960-an dan 1970-an.
Menurut para pejabat Departemen Hankam, beratus-ratus anggota
Pasukan Khusus bertugas dalam berbagai operasi yang diawasi CIA.
Operasi semacam itu terus berlanjut, dan dengan pengetahuan para
pejabat intel. Ingat usaha penyelamatan sandera AS di Iran yang
gagal, 1980? Ternyata "sejumlah Baret Hijau yang berpangkalan di
Jerman Barat memasuki Teheran sebagai usahawan Jerman, untuk
membantu persiapan penyelamatan itu," tulis Taubman.
Mithos tentang Baret Hijau, sebagian, dimulai dari program
latihan mereka. Sekitar separuh dari peserta latihan berat dan
keras itu berguguran -- karena tidak mampu menyelesaikan atau
dianggap tidak qualified sebagai pasukan khusus pada akhir
latihan. Keahlian membunuh dituntut dari setiap anggota Baret
Hijau -- dan Thompson, dalam hal ini, cukup unggul.
Setelah dilantik sebagai anggota Pasukan Khusus, Thompson
terpilih sebagai peserta sekolah intel -- salah satu dari
sejumlah bidang yang menjadi spesialisasi Baret Hijau. Tapi
ketika mengetahui ada penundaan enam minggu sebelum pelajaran
dimulai, ia lalu memanfaatkannya dengan mengikuti latihan medis.
Mulanya, katanya, ia menganggap "semua anggota korp kesehatan
antiwajib militer dan aneh-aneh," katanya. Tapi setelah waktu
berlalu, Thompson menjadi asyik dengan praktek pengobatan.
Setelah melengkapi kursus singkat kesehatan pada 1961, Thompson
bergabung dengan Pasukan Khusus ke-7 yang berpangkalan di Fort
Bragg. Ia segera bertugas di Tim A (kelompok dasar Pasukan
Khusus, terdiri 12 orang) yang dikirim ke Vietnam -- untuk
melatih Hansip agar lebih mampu melawan Vietcong.
TUGAS utama Thompson berikutnya datang pada awal April 1965.
"Saat itu," katanya, "saya terpilih menjadi anggota tim rahasia
yang dikirim ke Republik Dominika." Waktu itu, Kolonel Francisco
Caamano Deno, yang memimpin segerombolan gerilyawan berusaha
menggulingkan pemerintah. AS, ketika itu, berpura-pura bersikap
netral terhadap perang saudara yang sedang berkecamuk di sana.
Akhir April, ketika kerusuhan meningkat dan gerombolan nyaris
berhasil, datang Presiden Johnson mengirim pasukan marinir.
Johnson mencanangkan "nyawa warga Amerika sedang dalam bahaya."
Dan pasukan marinir berhasil mencegah penggulingan kekuasaan
oleh golongan kiri.
Menurut Thompson, peristiwa itu bermula dengan pengiriman sebuah
tim Baret Hijau "hanya untuk memonitor aktivitas orang-orang
sipil Amerika, termasuk sukarelawan Peace Corp: apakah mereka
benar masih sehat selamat." Ketika Baret Hijau tiba di tempat,
yang mereka saksikan cukup mengejutkan. Jebulnya, "sejumlah
orang Amerika malah membantu para gerilyawan." Jadinya sasaran
utama pun menyimpang, ungkap Taubman, "dari melindungi warganya
sendiri menjadi memata-matainya." Sial!
Tugas memata-matai tiba-tiba dihentikan. Thompson dan
rekan-rekannya lalu diperintahkan bergabung dengan tim khusus
perang nonkonvensional AL AS. "Tugasnya mempersiapkan pembunuhan
terhadap Caamano," katanya. Tim gabungan itu memutuskan
menyerang Caamano pada sebuah gedung yang sering dipakainya
berembuk dengan pemimpin-pemimpin gerilya Dominika lainnya.
Mereka mendekati lokasi dari pantai ke arah sepasang jalan yang
paralel dengan membawa bahan-bahan peledak, di tangan
masing-masing. Setelah memasang perangkap maut itu, mereka
mundur, dengan membawa -- kalau ada -- para korban. "Kami harus
menghindari adanya petunjuk kesertaan Amerika," kata Thompson.
Ternyata "pada menit terakhir, misi itu ditunda," ungkap
Thompson lebih jauh. "Tanpa memberikan alasannya." Bekas para
perwira intel belakangan berkata, "rencana itu dianggap terlalu
riskan dan dapat mengganggu ketimbang menyelamatkan kepentingan
Amerika -- dengan menjadikan Caamano seorang martyr."
THOMPSON tak pernah kembali ke Amerika Latin. Tapi ia
melaporkan, dua tahun belakangan sejumlah rekan Baret Hijaunya
bergelap-gelap mengambil bagian dalam penangkapan, kemudian
pembunuhan, Che Guevara. Deskripsi Thompson tentang operasi di
Bolivia dikukuhkan oleh bekas Baret Hijau lainnya -- si pelaku
langsung. Juga diakui oleh para bekas perwira intel dan Hankam
yang terlibat. "Semuanya minta tak disebutkan namanya."
Ceritanya begini. Sekelompok Baret Hijau beranggotakan 10-12
orang dari Pasukan Khusus 8 yang berpangkalan di Panama, dikirim
ke Bolivia pada akhir 1967. Sebagai bagian rencana yang
disponsori CIA untuk melatih angkatan bersenjata Bolivia
menjaring Guevara. Di sebuah perkemahan di pinggiran La Paz,
orang-orang Amerika bekerja dengan 100 sampai 150 anggota
pasukan khusus Bolivia. "Selama dalam menjalankan program
latihan, jaringan intel Bolivia melaporkan: Guevara sedang
berada di pegunungan, di timur La Paz," tulis Taubman. Pasukan
Baret Hijau, menurut seorang peserta latihan, mengirim sendiri
orang-orang intelnya untuk mengecek. "Kebenaran Guevara di
tempat itu diperteguh."
Langkah selanjutnya: memperinci rencana penangkapan. Tugas utama
persiapan ditangani yankee-yankee sendiri. Dan dalam beberapa
minggu, sekelompok kecil orang-orang Bolivia diseleksi dengan
ketat dan dilatih keras untuk disertakan dalam operasi.
Akhirnya, usaha penjebakan dilakukan. Didampingi
penasihat-penasihat Amerikanya, pasukan Bolivia berangkat
melacaki jejak Guevara yang sedang melatih pasukan gerilya di
pegunungan terpencil. "Ia (Guevera) ditangkap dan dibunuh di
tempat," kata bekas seorang anggota Baret Hijau yang
menyaksikan, "Orang-orang Bolivia yang menarik pelatuknya.
Mereka ingin membalaskan dendam."
Mayat Guevara dibawa ke perkemahan. Di sana ia diidentifikasikan
oleh dua anggota intel Amerika, yang terbang dari Panama.
***
SETELAH rencana pembunuhan yang batal di Republik Dominika,
fokus karir J Thompson kembali ke Asia Tenggara. Ia kembali ke
Vietnam, dalam rangka alih-tugasnya yang pertama. Kemudian ke
Thailand, untuk serangkaian 'misi' ke Laos, Kamboja, bahkan
Vietnam Utara. Di Vietnam, "mengumpulkan bahan intelijens
strategis," kata Thompson.
Katanya, ia sendiri pernah mengikuti empat misi ke Vietnam
Utara--dan selusin yang lain oleh rekan-rekannya.
Lebih jauh, Thompson diperintahkan bergabung dalam operasi
berselubung di Thailand -- yang ditangani AB dan CIA. Berada di
bawah pengawasan Komando Bantuan Militer Kelompok Operasi Khusus
Vietnam, tugasnya melatih kelompok-kelompok pasukan khusus Thai.
Bersama-sama dengan Baret Hijau, mereka ditugaskan kemudian
memegat jalur Ho Chi Minh.
"Selama keliling di Asia Tenggaralah, pembunuhan menjadi hal
rutin bagi Thompson," komentar Taubman. Semua masih terbayang di
kepalanya dengan jernih. "Orangnya adalah penerjemah
berkebangsaan Vietnam. Telah dibuktikan sersan intel kita bahwa
ia mensuplai informasi untuk Vietcong Saya lalu disapa: 'Inilah
bagianmu'."
Seminggu kemudian Thompson dan penerjemah itu bersama-sama dalam
suatu operasi. "Pasukan kami tiba-tiba berhadapan dengan
Vietcong. Begitu kami tiarap, kusembur dia. Ia tak pernah tahu."
Kendati Thompson belum tahu orangnya dan belum jelas apakah ia
musuh, ia tidak ragu dalam membunuh. "Itu terjadi secara
mekanis," katanya. "Itu sesuatu yang harusnya terjadi. Tugas
sehari-hari, seperti menggosok gigi." Jika mungkin, katanya,
Baret Hijau mencoba menyembunyikan keterlibatan mereka --
seolah-olah pembunuhan itu dilakukan Vietcong atau tentara
Vietnam lainnya. "Anda harus mencoba memencilkan korban dari
seseorang atau keadaan yang dapat menjelaskan tentang sebab dan
penyebab kematiannya -- dengan menggunakan sniper, semburan api
(firefight) atau bahan peledak. Tanpa kata-kata. Cuma dor! Anda
bukan hakim. Anda hanya mesin."
Menurut Thompson, sasaran pembunuhan termasuk siapa saja yang
dianggap sebagai pendukung atau simpatisan Vietcong. Di dalam
daftar dimasukkan pula orang-orang sipil seperti kepala daerah,
usahawan dan pemimpin politik. Bekas anggota Baret Hijau dan
perwira Hankam itu menekankan: pembunuhan seperti itu biasa.
BAGAIMANAPUN, ada juga suatu pembunuhan yang hingga kini
mengganggu perasaannya. Pada suatu pertempuran. Masih diingatnya
peristiwa itu. "Saat itu sudah sampai pada keadaan dibunuh atau
membunuh. Saya sedang melangkah di jalan tikus dengan gaya
seperti tertera dalam textbook, waspada terhadap apa pun.
Tiba-tiba seseorang menapak ke jalan dengan senapan di tangan.
Dan kubunuh ia. Segera sesudah itu, gemetar seluruh tubuhku --
kukira karena aku masih hidup -- namun sepanjang hari itu dan
sesudahnya, aku terganggu oleh pikiran tentang diri orang itu."
"Tampaknya ia teman sendiri," lanjut Thompson. "Ia melakukan
seperti apa yang diperintahkan. Kami memang pernah berselisih --
dan aku menghajarnya. Namun tak pernah aku merasa unggul. Malah
aku tak tahu siapa namanya. Ia sepotong jiwa di rimba belantara,
aku pun sepenggal jiwa di rimba belantara. Ini mungkin
pembunuhan yang paling celaka yang pernah kulakukan."
Dalam masa itu, Thompson -- dalam ungkapan Baret Hijau -- sambil
"menggemuki" Vietcong yang dicurigai, ia juga mengumpulkan
orang-orang Amerika, Vietnam, malah Vietcong yang terluka dan
sakit di dalam tendanya. Ini tidak menimbulkan pertentangan
dalam dirinya. "Aku menapak di antara penyembuhan dan
pembunuhan," katanya. "Kukenakan seragam tempurku dan
mengkamuflasekannya, lalu berangkat. Tak ada soal bagiku ketika
berada di antara masa peralihannya."
Thompson mengaku melayani siapa saja yang datang ke kliniknya.
"Saya mengurus sebuah lembaga yang netral. Aku harus
memperlakukan dengan baik orang-orang yang mungkin pernah
membunuh sahabat-sahabatku. Namun aku harus pula memenangkang
good will penduduk setempat. Ada simpanan uang di bank untuk
setiap orang di pasukan."
* * *
KARIR Thompson di Asia Tenggara, termasuk misi-misinya ke
Malaysia dan Kamboja. Akhir 1967, setelah tugas singkat sebagai
instruktur medis di Fort Bragg, ia dikirim ke Thailand. Di sana
ia menghadapi kegawatan terbesar sebagai petugas kesehatan:
demam tipus yang menular. "Klinik primitifku hanya mempunyai
enam tempat tidur untuk 170 pasien penderita penyakit itu,"
katanya. Thompson hanya kehilangan selusin pasiennya -- angka
kematian yang jauh lebih rendah dibanding yang pernah dicapai
juru obat lainnya di kawasan itu. Untuk itu ia menerima
penghargaan Instansi Kesehatan Militer -- yang konon setaraf
dengan penghargaan yang diberikan kepada Walter Reed -- dokter
militer AS yang ternama. " Ia tunjukkan surat penghargaan itu
kepada saya," tulis Taubman.
Satu dari dua tour Thompson paling akhir berlangsung pada
Januari 1968. Saat itu ia ditugaskan dalam pasukan tempur untuk
mencari dan menghancurkan Vietcong di sepanjang perbatasan
Vietnam-Kamboja. Menurut Thompson, Baret Hijau mengomandoi tiga
batalion bayaran yang terutama terdiri dari orang-orang Kamboja.
"Kami keluar masuk Kamboja setiap saat yang diperlukan,"
katanya. Serangan-serangan ke Kamboja berlangsung dua tahun
sebelum Presiden Nixon mengumumkan bahwa pasukan Amerika dan
Vietnam Selatan sedang memasuki Kamboja untuk menghancurkan
Markas Besar Vietnam Utara dan perbekalannya.
Masa tugas paling akhir Thompson di Asia Tenggara terjadi pada
1972. Waktu itu ia dikirim ke Thailand untuk melatih
serdadu-serdadu bayaran yang akan beroperasi di Laos. Program
latihan itu, katanya, dilakukan oleh CIA. Bekas perwira-perwira
intel membenarkan, operasi semacam itu memang sedang
ditingkatkan di Thailand saat itu -- tapi mereka tak tahu apakah
Thompson terlibat.
MENJELANG Thompson meninggalkan Asia Tenggara untuk
penghabisan kalinya, akhir 1972, tenaganya sudah terkuras
habis dan sealklt kecewa. "Aku telah menjadi pembunuh ketika aku
bebas tugas," katanya. "Aku hanya mampu terhuyung-huyung di
hadapan seseorang dan menggoyang-goyangkannya. Rambut gondrong,
dan dalam hal apa pun aku telah berubah. Jika AS memutuskan
mengumumkan perang saudara, aku memutuskan berperang di pihak
sana -- jika Jane Fonda dan McGovern berdiri di pihak sana."
Untunglah, kata Thompson, "Aku ada kesempatan menegakkan
kepalaku." Selama menetap di Jepang setelah misi paling akhirnya
di Vietnam, Thompson kawin dengan pemandu wisata Jepang -- yang
ditemuinya di Expo '70, Osaka. Pasangan ini menetap beberapa
bulan di pangkalan Pasukan Khusus AS di Okinawa, sebelum ke Fort
Bragg. "Perkawinan dan selingan di Okinawa memberiku waktu,"
katanya, "untuk menyusutkan naluri kebuasan yang telah
berkembang sejak lama."
Antara 1972-1977 Thompson menghabiskan sebagian besar waktunya
untuk melatih di AS sendiri. Dua kali dalam tahun-tahun itu ia
membantu melatih pasukan khusus Taiwan, kemudian berada di
Zaire, dua minggu melatih pasukan komando negeri itu. Tidak ada
satu pun dari latihan-latihan itu dilakukan secara
sembunyi-sembunyi, menurut Thompson.
Dalam keseluruhan masa tugasnya, Thompson seorang serdadu yang
patuh. "Secara pribadi aku tidak mengatakan bahwa pemerintah
menyuruhku melakukan secuatu yang tidak patut," ujarnya.
"Mungkin anda atau orang lain menganggapnya tidak benar. Namun,
kukira aku tidak pernah diminta melakukan sesuatu yang salah
oleh atasanku."
* * *
ORANG yang di musim panas 1977 mengusulkan Trhompson merekrut
sekelompok bekas anggota Baret Hijau untuk melatih pasukan
kumando Libya, lengkapnya bernama Patry E. Loomis. Ia sendiri
bekas anggota Baret Hijau dan agen rahasia CIA. Ini menurut para
jaksa Federal dan bekas pejabat intel yang lagi-lagi tak mau
disebutkan namanya. Namun tidak dijelaskan bahwa Loomis pernah
dipecat karena membantu bekas agen CIA Wilson dan Terpil
mengapalkan sejumlah bom waktu ke Libya.
Wilson dan Terpil ini -- belakangan baru diketahui --
menandatangani persetujuan dengan kolonel Mu'ammar el Qaddafi
untuk membantu melatih para teroris. Wilson telah bertugas
selaku agen rahasia CIA selama 20 tahun, dan sebagai anggota
kelompok agen rahasia AL yang dikenal dengan "Satuan Tugas 157".
Bebas tugas pada 1976, pada tahun itu pula ia teken persetujuan
dengan Libya. Terpil bertugas selaku teknisi PHB untuk CIA --
sebelum dipaksa berhenti pada 1971 mengikuti berbagai
pelanggaran hukum oleh Biro Intelijens AS itu. "Ia kemudian
menjadi salesman senjata internasional dan penyalur-kunci
peralatan militer kepada yang kemudian menjadi orang kuat
Uganda, Idi Amin," menurut Taubman.
Dalam anggapan Thompson, operasi Libya menjadi sah sebagian
karena ditopang oleh latar belakang mereka. Anggota Baret Hijau
lainnya -- termasuk komandan Thompson sendiri -- "berkata kepada
saya, bahwa operasi itu tidak lebih hebat dari yang dituntut
CIA." Thompson yang pantang mundur juga berkata, apa yang
diterimanya dari pejabat intel militer juga mengurangi
keragu-raguannya. "Kesan yang dibersitkan oleh para pejabat
intel adalah operasi-operasi yang mereka jalankan disetujui
pemerintah, hingga kini masih merupakan misteri utama yang tidak
terpecahkan," Taubman berkomentar.
Thompson tidak dapat mengingat kembali nama dua orang yang
katanya datang menemuinya di rumah setelah telepon Loomis
pertama. Dua perwira intel AB yang lain di Fort Bragg memberikan
keterangan yang bertentangan dengan wawancara. Mereka juga tak
dapat mengingat langkah-langkah pokok yang mereka ambil setelah
Thompson pertama kali melapor-mengikuti panggilan telepon
Loomis. Kedua orang itu keberatan namanya diperjelas. Tokoh
ketiga, Carl H. Oelschig -- perwira intel senior pada Markas
Besar Pasukan Khusus pada 1977 -- dalam sebuah wawancara
mengakui, saya pertama kali mengetahui tentang operasi Libya
setelah Thompson kembali dari sana. Saya hampir terpungging dari
kursi ketika mendengar dari Luke apa yang telah terjadi,"
katanya.
Oelschig menginstruksikan Thompson agar melapor pada FBI dan
berbicara dengan perwira intel militer lainnya di Fort Bragg.
Sementara itu, Oelschig melapor pada atasannya -- yang
menjanjikan akan melakukan cekingmelalui lebih banyak intel
senior yang mangkal di Fort Meade Katanya, ia tak tahu
bagaimana hasilnya, dan jika ada ia akan kirimkan ke Fort Bragg.
"Akan saya tangani sebisa-bisanya," katanya, "dan anggaplah itu
telah ditangani sebaik-baiknya."
Para pengusut Federal percaya bahwa pejabat-pejabat senior CIA
yang berhubungan rapat dengan Wilson selama ia masih di CIA,
boleh jadi telah menyerimpung penyelidikan-penyelidikan dari
Fort Bragg. Yang lain berspekulasi bahwa Wilson, yang mempunyai
teman-teman di Departemen Hankam, entah bagaimana caranya,
berhasil mencapai tokoh-tokoh kunci intel dan mempengaruhi
mereka untuk menyetujui operasi Libya. Atau mungkin saja
Thompson, dalam usahanya membenarkan aksi-aksinya, mengklaim
telah memperoleh kata angguk, kendati sebenarnya tidak.
Orang masih juga meraba-raba di dalam gelap untuk menjawab
pertanyaan, "mengapa atasan Thompson di Fort Bragg merestuinya
meninggalkan tugas begitu saja?" tanya Taubman. Thompson sendiri
mengatakan, permohonannya untuk mangkir tugas disetujui
komandannya, karena telah menerima perintah dari atasan mereka
di Washington -- yang membenarkan kesertaannya dalam misi ke
Libya. Dalam dokumen mana hal itu bisa dicek, tidak jelas.
Kolonel Robert A. Mountel --perwira komandan Thompson saat itu
-- berkata "saya tidak pernah menerima perintah dari siapapun
tentan operasi Libya itu." Katanya, kemangkiran Thompson
disetujui, karena para perwira Baret Hijau "mengira Thompson
ingin mengecek kemungkinan lowongan kerja sipil baginya."
Lainnya berkata bahwa sangat lumrah bagi veteran pasukan Baret
Hijau bepergian begitu saja, "agar mereka dapat ikut secara
resmi -- dan tak resmi -- sesuatu tugas di luar negeri."
Sementara jaksa Federal menduga bahwa para perwira Pasukan
Khusus telah mengizinkan Thompson pergi ke Libya, kendati mereka
tidak tahu apakah operasi itu disetujui pemerintah. "Karena
mereka berpendapat itu dapat menciptakan kegiatan intelijens
yang produktif." Jika begitu, "mereka terlalu jauh melangkahi
tugas," kata para pejabat AB.
Padahal, operasi intel yang melibatkan Baret Hijau, harusnya
diselesaikan dan disetujui dulu oleh pejabat senior Pentagon
melalui perintah resmi yang dikeluarkan oleh staf Komando
Bersama. Perintah itu kemudian diturunkan melalui saluran
tertentu kepada para komandan Pasukan Khusus. "Tidak ada
perintah semacam itu yang dikeluarkan sehubungan dengan kasus
Thompson," menurut para pejabat AB.
***
Apa pun penjelasannya, keragu-raguan masih tetap
membayang-bayangi kasus Thompson. Nyatanya ia telah menghilang
ketika bersama tiga rekrutan menemui Wilson di kawasan pelabuhan
udara internasional Zurich, Agustus 1977, untuk menerima
instruksi akhir. "Ed Wilson orang paling hebat yang pernah
kujumpai," kata Thompson. "Profesionalismenya menyerap sampai ke
pori-pori .... Ia kartu as."
Menurut Thompson, Wilson berkata pada mereka bahwa: sekali
mereka berada di Libya, harus membuat diri "sangat dibutuhkan."
Dan mereka tidak boleh melakukan sesuatu yang bisa membahayakan
keamanan Amerika. Bahwa mereka akan menerima layanan kesehatan
di rumah sakit terbaik di dunia -- jika mengalami cedera. Ia
(Wilson) menguncinya dengan menambahkan: "aku dapat membunuh
kalian jika kalian mengkhianatiku -- seperti juga kalian dapat
memperlakukannya sama jika aku setengah-setengah."
Thompson dan rekan-rekannya terbang ke ibukota Libya, Tripoli,
bersama senjata ringan dan peralatan militer lainnya di dalam
kotak terkunci seberat 400 pound, berikut beberapa map, cetak
biru, penuntun penggunaan peralatan teknik mutakhir. Mengikuti
sejumlah pertemuan singkat dengan rekan-rekan Libya, orang-orang
Amerika itu lalu dibawa ke sebuah istana di luar Tripoli
--ditunjukkan pula laboratorium bahan-bahan peledak kepada
mereka. Sekelompok ahli artileri AS, umumnya veteran miiiter
yang sudah direkrut oleh kompanyon Wilson sendiri, sudah
menunggu di sana. Mereka inilah yang mengajari orang-orang Libya
bagaimana menangani bom-bom teroris, kata Thompson. Di sini ia
merasa sulit berhubungan langsung dengan terorisme.
Setelah beberapa minggu melatih pasukan Libya tentang taktik
komando, Thompson mengaku tidak cocok bekerja untuk organisasi
teroris Libya. Ia mengatakan ingin kembali ke AS untuk urusan
pribadi. Thompson lalu diberi tiket ke Fort Bragg melalui London
dan Washington. Tiba di sana, ia melapor kepada para pejabat
intel militer -- termasuk Oelschig -- dan menyatakan ingin
bicara dengan FBI. Dan sejak itu FBI mengusut perkara operasi
Libya itu.
***
MESKIPUN penelepon-penelepon tengah malam mengancam
keselamatannya jika ia bekerja sama dengan para pengusut
Federal ia tetap memberikan kesaksiannya di depan juri agung --
dan hasilnya: tanpa tuntutan. "Namun segera menjadi jelas
baginya, bahwa karir militernya sudah berakhir," tulis Taubman.
Pada Juli 1978, ia pensiun dari Baret Hijau. Katanya, tak
seorang pun dari Baret Hijau yang menghubunginya sejak saat itu.
"Peralihan ke kehidupan sipil ternyata tidak gampang," Taubman
berkomentar. Pada 1978, Thompson pindah ke Hawaii untuk mencari
ketenangan dan menghindar dari akibat buruk misi ke Libya. Tiga
tahun lamanya ia bekerja sebagai kepala keamanan pada proyek
pengeboran minyak lepas pantai di Newfoundland dan di Teluk
Mexico -- sambil tetap mundar-mandir ke Hawaii.
Thompson meninggalkan pekerjaan itu Desember tahun lalu --
setelah hubungan dengan perusahaan tersebut dipersulit oleh
munculnya berita keterlibatannya dengan kasus Libya. Ia kini
sedang mengikuti latihan perawat -- untuk memperoleh izin kerja
resmi di rumah sakit Honolulu. Istrinya dan tiga anaknya,
masing-masing usia 5, 7 dan 9 tahun, telah mempunyai banyak
teman di lingkungan tempat tinggalnya di sana. Tapi Thompson
mengaku belum punya teman. "Tak kudapat seorang teman pun," ia
berkata. "Anda orang pertama yang kupercayai," katanya tertuju
pada Taubman.
Hampir setiap hari ia mengasingkan diri dalam perahu layarnya.
Ia menamai perahu itu dengan nama Jepang, Sayochidori, yang
menurut Thompson artinya "burung malam". Tanpa latihan khusus
dalam cara mengemudikannya -- ia belajar sendiri -- ia melayari
sekitar Teluk Kaneohe. Diturunkannya layar jika angin santer,
atau jika hujan menyembur dari Lautan Pasifik.
"Saya tahu saya sedang kabur dari sesuatu, atau untuk memburu
sesuatu," katanya ketika sedang berada di dala perahunya. "Aku
gembira. Jika anda bertanya mengapa, saat sulit bagiku
mengatakan tentang apa yang sedang kupikirkan," katanya kepada
Taubman, wartawan khusus di bidang intel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini