SUATU hari di bulan Mei 1979, N. Lurdes berkencan dengan Mayor
Laut A.R. Daeng Massiki. Itu bukan lelucon yang pertama, hingga
banyak yang menduga wanita yang berstatus nona itu pacar Daeng,
waktu itu menjabat Komandan Stasiun TNI AL (Sional) di Dilli,
Timor Timur.
Sebagai imbalan, Lurdes memperoleh 500 lembar Rp 5 ribuan. Pedro
Yose Mendosa dan Miquel Sese Nendosa, kerabat wanita itu, juga
kebagian rezeki. Bahkan Sese Nendosa lalu membeli rokok dan
makan-makan di restoran. Ternyata uang yang dibagikan itu palsu.
Bersama enam orang lainnnya, 2 oknum ABRI dan 4 orang sipil,
satu di antaranya Achmad Sutomo, Kepala Desa Wonokoyo (Bangil,
Kabupaten Pasuruan), Daeng kini sedang diadili secara koneksitas
di Pengadilan Negeri Surabaya. Jaksa A. Endang menuduh Untung
Sudarsono, Peltu Laut Abdul Alchan, Peltu Laut Moch. Musa, Imam
Subroto dan Achmad Sutomo, baik sendiri atau bersama memalsukan
uang kertas nominal Rp 5 ribu. Adapun Daeng, dituduh membiayai
pencetakan uang palsu dengan modal Rp 625 ribu, dan
menyebarkannya di Provinsi RI ke-27, Timor Timur.
Kepada majelis hakim yang terdiri dari Wagiman, Letkol Kusbandi
dan Siringo-Ringo, jaksa Endang menyatakan bahwa pemalsuan
dilakukan bulan Mei 1979 di Jalan Bumiarjo No. 93 Surabaya dan
di sebuah rumah di Desa Wonokoyo. Yang berhasil dicetak lumayan
juga: 7.900 lembar atau senilai Rp 39,5 juta.Tapi jumlah itu
bisa membuat seseorang kaya mendadak, bila sempat tersebar.
Daeng yang kini ditahan luar menyangkal tuduhan. Dari Surabaya
menuju Dilli, katanya, memang ia membawa Rp 4 juta. Tapi bukan
uang palsu, melainkan uang dinas. Dia memang membawa uang
sebanyak itu, dan ketika messnya di Dilli digeledah, yang
berhasil ditemukan adalah uang rupiah tulen. Ia hanya mengaku
memberi empat lembar Rp 5 ribuan kepada Nona Lurdes. Ternyata
selembar di antaranya palsu. Namun Daeng berkeras seolah uang
palsu itu berasal darinya. Maklum, katanya, Lurdes biasa
melayani dan menerima uang dari banyak orang.
Achmad Sutomo, yang sempat ditahan 10 bulan dan pengakuannya
kepada polisi beitu gamblang, di persidangan juga mencabut
pengakuannya. Ia hanya membenarkan rumahnya di Desa Wonokoyo
disewa. "Karena di antara mereka ada anggota ABRI (Peltu Alchan
dan Peltu Musa), saya ya percaya saja," katanya. Imam Subroto,
pemilik alat percetakan, berupa mesin cetak Stopres, mesin
potong merk Wing Cheung dan satu set letter, menyatakan tak tahu
menahu soal pencetakan uang palsu. Peralatan itu, katanya,
dibeli Peltu Alchan, tapi sampai kini belum dibayar.
Hanya kedua anggota ABRI itulah yang mengaku membuat uang palsu.
"Tapi karena hasilnya jelek, kami bakar semua," kata mereka.
Padahal menurut jaksa, yang dibakar hanya yang betul-betul
jelek. Keduanya juga menyangkal dibiayai Mayor Daeng dengan
pembagian 60% untuk Daeng dan 40% dibagi ramai-ramai. Uang yang
berasal dari perwira tamatan Akabri Laut 1965 itu, kata Musa,
diberikan untuk modal ngobyek di pelabuhan.
Pembuatan uang palsu diancam hukuman maksimal 15 tahun penjara,
sesuai pasal 244 KUH Pidana yang biasanya tercantum di lembaran
uang kertas. Dan bagi yang membuat atau menyediakan barang atau
bahan, diancam hukuman enam tahun penjara atau denda Rp 4.500.
Namun tetap saja ada yang nekat. Sampai Agustus lalu, selama
1982 ini kata Jaksa Endang, di Jawa Timur paling tidak telah
terjadi lima kasus pembuatan uang palsu. Antara lain di
Mojokerto, yang dicetak di bilangan Cakar Ayam Gang III, bulan
lalu digrebek polisi. Dua orang pelakunya ditangkap, beserta
barang bukti berupa alat pencetak, bahan kimia, setrika dan
dongkrak mobil yang dipergunakan untuk mengepres uang. Pecahan
Rp 10 ribu dan Rp 5 ribu palsu, disita dalam penggrebekan itu.
Aparat keamanan di Riau pun, kini tengah disibukkan kasus
serupa. Hampir 12 juta pecahan Rp 1.000 palsu sempat ditarik
dari peredaran. Yang mula-mula mencium ribuan palsu itu adalah A
Meng, pemilik toko di Penipahan, sebuah desa kecil di Kecamatan
Kubu, Kabupaten Bengkalis, Riau. Uang ribuan palsu yang
diterimanya dari Ong Cui Hock, pengusaha ikan, kentara sekali
dibuat secara sembrono. Kertas licin, warna lebih terang dari
yang asli dan ukurannya lebih pendek. Ong konon memperolehnya
dari Mia Seng, pedagang ikan antarpulau, yang katanya mendapat
uang itu dari orang lain lagi bernama Yong Guan.
Mereka kini sedang ditanyai polisi Kodak IV Riau, untuk
pengusutan lebih lanjut. Mengapa pecahan Rp 1.000 dan bukan Rp
5.000 atau Rp 10.000, yang diedarkan di Riau, si pembuat uang
palsu itu rupanya punya perhitungan yang matang. Sebab uang
pecahan Rp 1.000 lah yang paling banyak beredar di kalangan
nelayan, di daerah yang dikenal sebagai tempat penyelundupan
obat bius itu.
"Uang ribuan palsu cepat tersebar dan tak mudah diusut
sumbernya," kata sebuah sumber kepada TEMPO di Pakanbaru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini