Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Si Palsu Di Mana-Mana

Beredarnya uang palsu di timor timur, terbongkar melalui "uang imbalan" kepada seorang wanita, beberapa pelakunya diadili, kasus serupa juga terjadi di riau. (krim)

11 September 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU hari di bulan Mei 1979, N. Lurdes berkencan dengan Mayor Laut A.R. Daeng Massiki. Itu bukan lelucon yang pertama, hingga banyak yang menduga wanita yang berstatus nona itu pacar Daeng, waktu itu menjabat Komandan Stasiun TNI AL (Sional) di Dilli, Timor Timur. Sebagai imbalan, Lurdes memperoleh 500 lembar Rp 5 ribuan. Pedro Yose Mendosa dan Miquel Sese Nendosa, kerabat wanita itu, juga kebagian rezeki. Bahkan Sese Nendosa lalu membeli rokok dan makan-makan di restoran. Ternyata uang yang dibagikan itu palsu. Bersama enam orang lainnnya, 2 oknum ABRI dan 4 orang sipil, satu di antaranya Achmad Sutomo, Kepala Desa Wonokoyo (Bangil, Kabupaten Pasuruan), Daeng kini sedang diadili secara koneksitas di Pengadilan Negeri Surabaya. Jaksa A. Endang menuduh Untung Sudarsono, Peltu Laut Abdul Alchan, Peltu Laut Moch. Musa, Imam Subroto dan Achmad Sutomo, baik sendiri atau bersama memalsukan uang kertas nominal Rp 5 ribu. Adapun Daeng, dituduh membiayai pencetakan uang palsu dengan modal Rp 625 ribu, dan menyebarkannya di Provinsi RI ke-27, Timor Timur. Kepada majelis hakim yang terdiri dari Wagiman, Letkol Kusbandi dan Siringo-Ringo, jaksa Endang menyatakan bahwa pemalsuan dilakukan bulan Mei 1979 di Jalan Bumiarjo No. 93 Surabaya dan di sebuah rumah di Desa Wonokoyo. Yang berhasil dicetak lumayan juga: 7.900 lembar atau senilai Rp 39,5 juta.Tapi jumlah itu bisa membuat seseorang kaya mendadak, bila sempat tersebar. Daeng yang kini ditahan luar menyangkal tuduhan. Dari Surabaya menuju Dilli, katanya, memang ia membawa Rp 4 juta. Tapi bukan uang palsu, melainkan uang dinas. Dia memang membawa uang sebanyak itu, dan ketika messnya di Dilli digeledah, yang berhasil ditemukan adalah uang rupiah tulen. Ia hanya mengaku memberi empat lembar Rp 5 ribuan kepada Nona Lurdes. Ternyata selembar di antaranya palsu. Namun Daeng berkeras seolah uang palsu itu berasal darinya. Maklum, katanya, Lurdes biasa melayani dan menerima uang dari banyak orang. Achmad Sutomo, yang sempat ditahan 10 bulan dan pengakuannya kepada polisi beitu gamblang, di persidangan juga mencabut pengakuannya. Ia hanya membenarkan rumahnya di Desa Wonokoyo disewa. "Karena di antara mereka ada anggota ABRI (Peltu Alchan dan Peltu Musa), saya ya percaya saja," katanya. Imam Subroto, pemilik alat percetakan, berupa mesin cetak Stopres, mesin potong merk Wing Cheung dan satu set letter, menyatakan tak tahu menahu soal pencetakan uang palsu. Peralatan itu, katanya, dibeli Peltu Alchan, tapi sampai kini belum dibayar. Hanya kedua anggota ABRI itulah yang mengaku membuat uang palsu. "Tapi karena hasilnya jelek, kami bakar semua," kata mereka. Padahal menurut jaksa, yang dibakar hanya yang betul-betul jelek. Keduanya juga menyangkal dibiayai Mayor Daeng dengan pembagian 60% untuk Daeng dan 40% dibagi ramai-ramai. Uang yang berasal dari perwira tamatan Akabri Laut 1965 itu, kata Musa, diberikan untuk modal ngobyek di pelabuhan. Pembuatan uang palsu diancam hukuman maksimal 15 tahun penjara, sesuai pasal 244 KUH Pidana yang biasanya tercantum di lembaran uang kertas. Dan bagi yang membuat atau menyediakan barang atau bahan, diancam hukuman enam tahun penjara atau denda Rp 4.500. Namun tetap saja ada yang nekat. Sampai Agustus lalu, selama 1982 ini kata Jaksa Endang, di Jawa Timur paling tidak telah terjadi lima kasus pembuatan uang palsu. Antara lain di Mojokerto, yang dicetak di bilangan Cakar Ayam Gang III, bulan lalu digrebek polisi. Dua orang pelakunya ditangkap, beserta barang bukti berupa alat pencetak, bahan kimia, setrika dan dongkrak mobil yang dipergunakan untuk mengepres uang. Pecahan Rp 10 ribu dan Rp 5 ribu palsu, disita dalam penggrebekan itu. Aparat keamanan di Riau pun, kini tengah disibukkan kasus serupa. Hampir 12 juta pecahan Rp 1.000 palsu sempat ditarik dari peredaran. Yang mula-mula mencium ribuan palsu itu adalah A Meng, pemilik toko di Penipahan, sebuah desa kecil di Kecamatan Kubu, Kabupaten Bengkalis, Riau. Uang ribuan palsu yang diterimanya dari Ong Cui Hock, pengusaha ikan, kentara sekali dibuat secara sembrono. Kertas licin, warna lebih terang dari yang asli dan ukurannya lebih pendek. Ong konon memperolehnya dari Mia Seng, pedagang ikan antarpulau, yang katanya mendapat uang itu dari orang lain lagi bernama Yong Guan. Mereka kini sedang ditanyai polisi Kodak IV Riau, untuk pengusutan lebih lanjut. Mengapa pecahan Rp 1.000 dan bukan Rp 5.000 atau Rp 10.000, yang diedarkan di Riau, si pembuat uang palsu itu rupanya punya perhitungan yang matang. Sebab uang pecahan Rp 1.000 lah yang paling banyak beredar di kalangan nelayan, di daerah yang dikenal sebagai tempat penyelundupan obat bius itu. "Uang ribuan palsu cepat tersebar dan tak mudah diusut sumbernya," kata sebuah sumber kepada TEMPO di Pakanbaru.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus