MULA-MULA kamera. Setelah itu kalkulator dan kemudian mobil.
Lalu kini mereka sedang memusatkan perhatian pada pengembangan
bakat -- malah sikap ekspansionisnya -- di bidang busana.
Akibatnya, menurut June Weir penulis artikel ini, "dengan cepat
Tokyo berkembang jadi pusat busana internasional yang baru."
"Kita bertemu dengan Jepang yang sangat merangsang, yang pernah
dimiliki Eropa delapan tahun yang lalu," kata Gene Pressman,
wakil presiden Barney, sebuah perusahaan yang mempromosikan
busana -- wanita maupun pria -- asal Jepang.
Kalman Ruttenstein membumbuinya begini: "Tokyo sedang menjadikan
dirinya sumber utama busana, seperti yang tampak di jalan-jalan
London pada 1960-an." Ruttenstein adalah wakil presiden dan
direktur busana Bloomingdale, toko Amerika pertama yang membeli
busana Jepang pada awal 1960-an.
Tahun lalu, ekspor pakaian jadi Jepang ke AS meningkat 55
persen, menurut organisasi perdagangan luar negeri Jepang,
Jetro. Yaitu dari US$ 100,7 juta pada 1980 menjadi US$156 juta.
Untuk kartal pertama tahun ini, ekspor meningkat sebesar 52
persen.
Seorang disainer toko boneka peragaan busana terkemuka di
Inggris, Adel Rootstein pernah datang ke Jepang pada 1970-an
untuk hadir dalam sebuah seminar. Di sana ia menguping tentang
empat sasaran utama yang hendak mereka capai: transportasi,
komunikasi, perkapalan dan pakaian -- dalam ekspansi berjangka
lama. "Saya dapat memahami untuk bidang permobilan dan
kalkulator," kata nona Rootstein, "namun bidang busana agalinya
sangat tidak lazim dikelola dalam sebuah proyek berskala besar.
Ketika saya kembali ke Inggris, saya diskusikan sasaran-tembak
Jepang ini dengan seorang pejabat Inggris. Ia lalu menunjuk pada
permintaan akan busana yang mendunia -- dan ini menyangkut
perputaran uang yang besar."
Terhadap perputaran uang yang besar, apalagi berskala dunia,
penciuman orang-orang Jepang sudah terkenal luar biasa tajam.
Dan mereka segera melahirkan orang-orang cakap di bidang itu --
yang mulai meraih reputasi internasional, dan sukses finansial.
Weir lalu menyebut nama-nama ini: Hanae Mori, Kenzo, Issey
Miyake dan Kanzai Yamamoto. Hanae Mori, menurut Weir, adalah
"grande dame busana tinggi Jepang," -- yang membuka studionya
pada 1950. "Kini ia mengendalikan kekayaan US$300 juta,"
tambahnya. Ini membuatnya cukup sibuk mondar-mandir antara
Paris-New York-Tokyo. Di Paris ia memiliki sebuah rumah mode
khusus wanita, couture house, di New York ia punya bisnis besar
pakaian jadi dengan Tokyo sebagai pangkalan operasinya.
Kenzo tinggal dan bekerja di Paris. Di sini ia berhasil
melemparkan beberapa lusin trend busana -- dan menanamkan
pengaruhnya di kalangan disainer kaliber dunia. Di dalamnya
termasuk pant dan jacket longgar (oversize). Ia juga yang
memulai pengkombinasian antara struktur dengan warna, terutama
motif yang berkembang-kembang, bergaris-garis dan
berkotak-kotak.
Issey Miyake adalah pionir lain di dalam pengembangan struktur
bahan. Ia bekerja sama dengan perusahaan tekstil Jepang
terkemuka, Toray, dan perusahaan kimia Asahi. Dalam koleksinya
yang terakhir, Issey, perancang cowok ini, juga memperagakan apa
yang disebutnya 'pakaian kertas'.
Kansai mulai pada 1971 dengan modal sekitar US$10 ribu dan enam
pegawai. "Sekarang ia mengoperasikan bisnis berskala dunia,"
lapor Weir "dan nama Kansai menghiasi barang-barang meubel,
peralatan perawatan dan rumah sakit, arloji dan jam, bahkan
alat-alat kantor."
Tapi masih ada selusin nama lain yang tak kurang terkenalnya --
yang telah dan masih mengangkat nama dan citra para perancang
dan pembikin busana Jepang di mata dunia. Mereka adalah: Comme
des Garcons, Yohji Yamamoto, Studio V, Bigi dan Nicole. (Lihat,
mereka juga senang memakai nama asing, yang keren-keren, untuk
memerangkap pasar luar dan dalam negeri!).
Mengapa toko-toko pakaian Amerika menganggap para disainer
Jepang itu hebat? "Disain mereka yang bersih, modern dan
fungsional," itulah yang dicoba jawab oleh Weir. Dan ini bagai
pinang pulang ke tampuk dengan bahannya -- yang tentu bikinan
Jepang pula -- "yang dikerjakan dengan cemerlang dan
merangsang."
Seperti yang mudah ditebak, dalam hal harga, sejalan dengan
kebijaksanaan harga produksi Jepang lainnya. Namun, ada dua
kelompok harga. Menurut Weir, rumah-rumah mode perancang seperti
Issey Miyake, Comme des Garcons dan Nicole memulai harga dari
sekitar US$150 (sekitar Rp 100 ribu) untuk sehelai knit top dan
bergerak ke atas mencapai US$ 800 untuk sehelai mantel. "Harga
disainer mereka dapat sebanding dengan disainer-disainer kita
seperti Calvin Klein, Perry Ellis, Anne Klein -- dan yang
setaraf lainnya," kata Sheila Bernstein, wakil presiden
pemasaran Associated Merchandising Corporation -- organisasi
pemasaran dan pengeceran milik 25 toserba terbesar di AS.
Itu kelompok pertama. Ada satu kelompok lain, yang harganya
lebih bersaing. Mereka, "memiliki gaya yang lebih muda dan
umumnya lebih menyolok, terutama Kenzo, Issey Sport dan Yohji
Yamamoto," kata Weir. Harga? "Berkisar sekitar US$100 sampai
US$400."
Ada dua titik pandangan dalam jajaran disainer Jepang. Kelompok
pertama sangat konsepsual. Ruttenstein dari Bloomingdale mencoba
menjelaskannya begini. "Para disainer Jepang -- seperti Rei
Kawakubo dari Comme des Garcons dan Yohji Yamamoto -- mempunyai
sudut pandangan yang kuat. Mereka mengembangkan suatu pandangan
berdasarkan teori ketimbang kecenderungan (trend). Pendekatan
keseluruhan mereka adalah untuk pribadi busana yang 'nonbusana',
mereka yang tidak ingin membeli disainer yang establish."
BUSANA yang avantgarde dan inovatif agaknya menarik minat para
wanita berpribadi kuat, Weir mencoba menarik kesimpulan.
Disain-disain mereka yang aktual biasanya longgar dan secara
dramatik berpotongan oversize. Dalam hal menggunting, kelompok
ini senantiasa kreatif.
Ada satu kelonnpok yang mengekor pada kecenderungan Eropa --
terutama seperti yang muncul dari disain-disain Kenzo, Sonia dan
Chanel. Dalam kelompok ini termasuk Sueo Irie dari Studio V,
Yoshie Inaba dari Bigi, Misuhiro Matsuda dari Nicole dan
Chisato Tsumori dari Issey Sport. "Busana mereka mudah dipahami
dan lebih mungkin disandang oleh para pemakai Amerika," kata
penulis yang sama.
Ini dikomentari Don Mello, wakil presiden dan direktur pemasaran
busana Bergdorf Goodman: "Issey Sport fantastis. Anda harus
pergi ke Tokyo untuk membelinya, namun perjalanan ke sana
menghabiskan banyak ongkos." Semua sependapat, tentu. Rick
Goldstein, wakil presiden dan direktur busana Macy: "Kita tidak
pergi ke Eropa untuk membeli guntingan Ralph Lauren. Saya juga
akan pergi ke Jepang untuk membeli koleksi bergaya Eropa di
sana."
Ada cela dari panen busana Jepang yang kini tengah berlangsung.
Harganya umumnya mahal, dan disain-disain seringkali hanya untuk
satu ukuran -- free size -- yang diharapkan, atau disugestikan,
sesuai bagi semua orang. Tak heran, jika toko-toko Amerika
menemukan beberapa wanita Amerika yang kecewa. Mereka memang
ingin menghabiskan uang, tapi untuk pakaian yang lebih cocok
dengan ukurannya.
Lihat, bagaimana sesuatu mode seperti mode free size -- lebih
sering dengan maksud menguntungkan pembikinnya, ketimbang para
pemakainya.
Para pengecer juga menyebut tentang berat dan jenis bahan yang
dipergunakan dengan harapan mendapat perbaikan. "Mereka (para
pengecer) menginginkan dipergunakan bahan-bahan yang lebih
ringan dan lebih banyak warna, ketimbang warna kaku dan lebih
banyak hitamnya," nona Mello mengutip para pengecer itu.
Para pembeli tentu ingin semua hal itu mendapat perhatian -- dan
mereka umumnya percaya: para disainer Jepang berhasrat belajar
dari pembeli, dan menanggulangi keinginan pasar. Issey Miyake,
misalnya, merasa perlu melawat ke New York untuk menampung
pendapat. "Saya temui penduduk New York, cara mereka hidup dan
berpikir, yang lugas," katanya. "Saya kunjungi toko-toko --
termasuk Bloomingdale, butik-butik di Madison Avenue dan SoHo.
Saya kunjungi Barney dan mendengarkan konsep pemasarannya yang
terbaru. Mereka begitu up-to-date dan jelas tentang apa yang
sedang mereka kerjakan."
"Sejumlah pengecer Amerika yang sedang berkembang yakin dan
optimistis akan masa depan disain busana Jepang," komentar Weir
di akhir tulisannya. Associated Merchandising Corporation,
misalnya, sangat yakin akan Jepang -- setelah pertemuan tahunan
perusahaan itu di Hongkong baru-baru ini -- dan malah sebuah
perlawatan ke Jepang telah dirancang. "Kami menerima banyak
informasi tentang busana Jepang di sana," kata Phyllis
Albertson, wakil presiden senior perusahaan tersebut. "Dan kami
ingin menunjukkan kepada para pengeteng kami potensi yang
tersedia di Jepang -- yang luar biasa," tambahnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini