Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bari Gana’a Tano Niha

Pastor dari Jerman dan seorang tokoh lokal bersusah payah menyelamatkan budaya Tano Niha. Pemerintah akan mengubah sikap.

2 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JANGGUTNYA lebat. Murah senyum. Tubuhnya yang tegap hampir menyentuh kusen pintu setinggi dua meter. Dari bola matanya yang cokelat, terpancar sinar keteduhan. Tutur katanya lembut, bahasa Indonesianya tertata rapi.

”Ya’ahowu!” Ia menyapa dengan salam khas Nias ketika Tempo menemuinya di Museum Pusaka Nias di Jalan Yos Sudarso, Gunung Sitoli, bulan lalu.

Sambil tersenyum, ia meraih notes Tempo dan menuliskan namanya, P. Johannes M. Hämmerle OFMCap.

Negeri asalnya nun di sana: Jerman. Namun, pastor dari ordo Kapusin inilah yang mendirikan Museum Pusaka Nias. Bukan pekerjaan sebentar, memang. Di museum dengan areal dua hektare ini tersimpan paling tidak 6.500 koleksi peninggalan Nias.

Di sini ada batu megalitik, patung kayu, peralatan dapur, dan—tentu saja—pakaian tradisional. Ada miniatur rumah adat Nias, sampai berjenis-jenis binatang yang hidup di hutan pulau itu: burung beo dan rusa dalam kebun binatang mini di areal museum.

”Saya merintisnya sejak tahun 1972,” kata pria kelahiran Hausach, Jerman, 9 Juli 1941 itu. Artinya, Pastor Johannes mulai menggeluti seluk-beluk budaya dan alam Nias hanya setahun setelah menjejakkan kakinya di pulau itu.

Johannes tiba di Nias pada 8 Agustus 1971. ”Sebagai misionaris, saya memang wajib berkunjung ke daerah-daerah terpencil,” katanya. Saat menjalankan misinya, dia kerap berpapasan dengan turis asing yang berkunjung ke Tano Niha.

Kendala utama mereka adalah bahasa, sehingga para turis itu mengalami kesulitan mencari tahu seluk-beluk Nias. ”Mereka sering bertanya kepada saya,” kata Pastor Johannes.

Sang Pastor mulai tergerak mempelajari berbagai hal tentang Nias. Semula sekadar asal bisa melayani pertanyaan para turis. ”Saya menjadi sering tinggal di desa-desa, mempelajari budaya dan alam Nias,” ia bercerita.

Pada masa itulah ia melihat kegiatan warga yang mengancam peninggalan budayanya sendiri. ”Mereka menghancurkan berbagai alat pemujaan peninggalan leluhurnya,” katanya. ”Bahkan pematung berhenti beraktivitas.”

Dia tak sepenuhnya menyalahkan mereka. Ada kekeliruan dalam pemahaman ajaran agama yang masuk ke Nias, pada abad ke-18. Setelah beralih agama, mereka meninggalkan ritual pemujaan—yang memang seharusnya. Hanya, mereka juga menghancurkan tempat pemujaan, termasuk batu-batu megalitik.

Para pendatang asing tak urung memanfaatkan kesempatan ini. Mereka seperti berebut ”mengoleksi” berbagai peninggalan kuno pulau itu. ”Kalau dibiarkan, ini bisa melenyapkan jejak budaya Nias,” kata Pastor Johannes.

Johannes semakin peduli setelah tahu Nias tak mengenal aksara. Akibatnya, rekaman sejarah pulau itu semakin sulit ditelusuri. ”Mereka hanya mempunyai budaya bertutur,” katanya.

Mulailah sang Pastor mendata dan menginventarisasi benda dan ritual kebudayaan Nias. Semula, penduduk dengan sukarela memberikan cuma-cuma berbagai benda yang memang hendak mereka musnahkan itu. ”Belakangan, saya harus membeli,” kata Johannes.

Tak kurang dari sembilan tahun Johannes berkelana ke berbagai pelosok pulau itu. Setelah itu mulai terasa, dibutuhkan tempat untuk menampung benda-benda berharga itu.

Secara resmi, Museum Pusaka Nias berdiri pada 1991. Payungnya adalah Yayasan Pusaka Nias, yang didirikan oleh ordo Kapusin, Sibolga, Sumatera Utara, pada tahun yang sama. Ide menjaga nilai budaya itu memang sesuai dengan ajaran Konsili Vatikan II, yang tertera dalam Gaudium et Spes.

Setelah berdiri, museum ini juga menetapkan agenda meneliti benda purbakala. Bekerja sama dengan Universitas Airlangga, Surabaya, Museum Pusaka Nias pernah meneliti gua Togi Ndrawa di Desa Lelewonu Niko’otano, Gunung Sitoli, pada 2000.

Dari hasil ekskavasi, diketahui gua Togi pernah menjadi tempat bermukim manusia pada zaman Epipaleotik (zaman batu), yang dikenal sebagai budaya Hoabinh. Tanah dari dalam gua ini telah diteliti di akademi ilmu pengetahuan di Kota Heidelberg, Jerman.

Bekerja sama dengan Universitas Albert Ludwig, Jerman, museum juga melakukan serangkaian penelitian terhadap benda-benda peninggalan zaman megalitik Nias. Begitulah, jadi tak salah jika ada yang mengandaikan Museum Pusaka Nias sebagai bari gana’a (peti untuk menyimpan emas) bagi Tano Niha.

Akhirnya Johannes tak sendiri. Ada tokoh lokal yang juga rajin mendata budaya Nias, Melkhior Duha namanya. Ketua Badan Pemberdayaan dan Warisan Nias (BPWN) ini tak lain adalah sekretaris Johannes jua, pada periode 1991-2002.

Lelaki kelahiran Teluk Dalam, Nias Selatan, 28 Februari 1966, ini kemudian mendirikan Yayasan BPWN. Berkantor di Jalan Pattimura, Kompleks Makam Pahlawan, Gunung Sitoli, dia menuangkan hasil berguru pada Johannes. ”Saya jalan sendiri bukan karena bertentangan, melainkan untuk menumbuhkan keberagaman,” katanya.

Kini Yayasan BPWN, yang hanya berjarak dua kilometer dari Museum Pusaka Nias, mengoleksi 1.050 benda peninggalan leluhur Nias. Sama dengan Johannes, Duha juga mengumpulkannya dari berbagai pelosok. ”Ada yang dari ganti rugi, banyak juga yang menghibahkannya,” kata ayah lima anak itu kepada Tempo.

Duha berangan-angan mendirikan Galeri Nias. Karena itu, dia sudah membeli tanah yang berjarak 400 meter dari Bandara Binaka, Gunung Sitoli. ”Nanti, siapa pun bisa mencari tahu dengan gampang seluk-beluk budaya Nias,” kata pria yang kini bermukim di Mudik, Gunung Sitoli, itu.

Satu hal yang dikeluhkan Duha, biasa: pemerintah kurang memelihara kekayaan budaya Nias. ”Saya tak tahu siapa yang salah di sini,” katanya. ”Apakah pemerintah atau wakil kami di parlemen.”

Bahkan, menurut Duha, pemerintah di dua kabupaten Nias—Nias dan Nias Selatan—tak tanggap ketika pencurian marak pada 1980-1990. ”Padahal, salah seorang dedengkot pencurinya juga orang yang hidupnya di Nias,” katanya.

Johannes menceritakan hal yang sama. ”Jika ada benda selundupan yang diselamatkan, juga ditelantarkan begitu saja,” ia mengeluh. Dalam penelusuran Tempo di pulau itu, keluhan kedua perawat peninggalan budaya itu ada benarnya. Di Bawomataluo, misalnya, batu loncat yang sudah retak tengahnya dibiarkan tak terurus. Ada pula rumah adat yang hampir roboh.

Keadaan lebih parah bisa ditemukan di puncak bukit Tundrumbaho, Lahusa Idano Tae, Gomo, Nias Selatan. Di sini ada bekas desa yang penuh batu ukir, namun kondisinya memprihatinkan.

Semak-belukar sudah menutupi bebatuan peninggalan leluhur Ono Niha itu. Di sana-sini bergeletakan patung yang berpatahan. Ada pula yang sudah hilang kepalanya.

Kondisi gua Togi Ndrawa tak jauh beda. Lubang pintunya tak tampak lagi, penuh semak-belukar. Padahal, gua ini tercatat sebagai tempat pertama ekskavasi arkeologi di Nias. Untunglah Wakil Bupati Nias, Agus H. Mendrofa, tak menampik kritik. Agus berjanji, Pemerintah Kabupaten Nias akan mengubah sikap pada masa mendatang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus