Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Budak Nias tanpa Kepala

KISAH tentang para pemburu kepala manusia dituturkan selama berabad di Nias. Pulau nan permai berpagar hutan nyiur itu—Nias masuk wilayah Sumatera Utara—menyimpan sejumlah jejak menarik dari masa silam. Kampung-kampung megalitik penuh batu berukir. Tradisi hombo batu (lompat batu) yang wajib dilakoni setiap pria yang akan berumah tangga atau hendak berangkat ke medan perang. Juga, perburuan kepala manusia—tradisi yang ternyata belum pupus oleh masa.

Wartawan Tempo Nurlis E. Meuko menelusuri Nias hingga jauh ke pedalaman pada Desember lalu dan merekam sisa-sisa tradisi tersebut.

Berikut ini laporannya.

2 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bertelanjang dada. Tangan kanan mencengkeram sebilah tombak bermata tiga. Tangan kiri menarik seutas tali yang melingkari leher seekor babi putih. Pedang panjang menggelantung di pinggang. Geraham bergerak-gerak mengunyah sirih. Sesekali, cairan merah itu disembur-semburkan ke tepi jalan, menyisakan warna merah darah di bibir. Inilah sosok pria yang jamak terlihat di pedalaman Nias.

Di mana-mana pria. Di jalanan. Di pasar. Di tempat-tempat umum tentu ada terlihat kaum wanita—umumnya ibu-ibu yang telah beranak; atau anak-anak perempuan yang tengah menggendong babi atau membantu ibunya menjemur padi di rumah. Jarang sekali terlihat anak dara melintas. Selama berjam-jam menyusuri jalanan, Tempo berhasil melihat wajah seorang gadis balik jendela kayu di sebuah rumah di Kecamatan Gido, yang masuk wilayah Kabupaten Nias.

Kepala yang nongol di jendela itu jelas perempuan. Rambutnya hitam, panjang. Matanya sipit. Hidungnya mungil lancip. Kulitnya kuning langsat, mirip perempuan dari Cina Selatan. Konon, penduduk Nias berasal dari sana.

Paras mereka serasi dengan alam Nias nan elok. Terletak di atas bentangan Samudera Hindia, Nias memiliki pantai berpasir putih sepanjang 450 kilometer. Pohon kelapa menjadi tumbuhan utama di pulau seluas 5.625 kilometer persegi ini.

Lama ditunggu, anak dara di balik jendela kayu itu tak kunjung keluar dari rumahnya. Ya, sudahlah. Tempo kemudian mengajak bicara salah seorang pria pembawa tombak. Tapi pria yang wajahnya khas taipan ini tak mengacuhkan. Mahal senyum, muka ditekuk, mata amat awas penuh selidik. Tentu ada kiat agar pria Nias bersuara. Sapalah, ”ya’ahowu.” Spontan mereka akan membalas dengan ucapan serupa. Ini semacam salam yang mirip assalamu alaikum.

Setelah itu, barulah kita bisa berdialog sepatah dua patah. Mereka jarang bertanya—hanya menjawab seperlunya. ”Tombak dan pedang untuk menjaga diri,” kata pria bernama Ama Arta Zebua itu. Dia bicara dalam bahasa Indonesia yang kehilangan konsonan di ujung kata—begitu rata-rata orang Nias berbicara. Siapa musuhnya? ”Bisa binatang, bisa manusia,” kata Ama Arta.

Amin Zega, sopir yang mengantar Tempo keliling Gido, menyarankan agar tak banyak bertanya di jalanan. ”Jika salah tanggap, nanti susah. Di sini bekas sarang kosong lima,” katanya. Bothanian Telaumbanua, warga Gunung Sitoli yang ikut dalam perjalanan ini menganggukkan kepala.

”Kosong lima” adalah kode yang diambil dari nomor judi buntut yang bermakna perampok. Dengan lain perkataan, ini kawasan yang tidak ramah. Cerita tentang kosong lima memang sudah santer terdengar sejak di Gunungsitoli, ibu kota Kabupaten Nias. Pulau itu memiliki dua kabupaten. Satu lagi bernama Kabupaten Nias Selatan, beribu kota Teluk Dalam. Gido berjarak 30 kilometer dari Gunungsitoli. Saking santernya kisah kosong lima ini, Agus H. Mendrofa, Wakil Bupati Nias, juga bisa menjawab seketika tatkala ditanya: ”Memang, Gido dikenal sebagai wilayah kosong lima (perampokan—Red.). Itu kan kode buntut,” ujarnya kepada Tempo.

Jalanan di tempat ini memang sepi. Di kiri kanan jalan hanya ada rimba belantara dan hutan nyiur yang menjulang. Sesekali berpapasan dengan sepeda motor yang ngebut. Di tempat yang senyap seperti inilah para anggota kosong lima beraksi. Geng-geng itu umumnya terdiri atas 20-30 orang. Salah satu spesialisasi mereka adalah menghadang dan merampas kendaraan bermotor.

Jika malam datang, penduduk Gido lebih memilih berada di balik selimut. Sebab, berurusan dengan kosong lima sama artinya dengan lenyapnya harta benda—syukur-syukur bila nyawa tak ikut dicabut. ”Jika sasarannya orang miskin, maka anak gadis atau istrinya yang dibawa,” ujar Amin Zega. Alasannya, untuk disuruh memasak dan mencuci di tempat persembunyian mereka.

Kosong lima juga beraksi di perkampungan di sepanjang Sungai Idanogawo dan Moi, sebuah wilayah kawasan perbukitan. ”Biasanya, setelah beraksi mereka kembali ke bukit,” Amin menjelaskan. Kondisi seperti ini berlangsung sejak 1998. Selama tiga tahun aparat penegak hukum seperti tak berkuku di kawasan ini. Apalagi, jarang ada warga yang paham hukum. Mereka lebih memilih diam ketimbang mengadu ke aparat.

Tiga tahun kemudian—pada 2001—bungkamnya warga Gido berubah menjadi amarah. Seorang penduduk melawan. Dia membunuh salah satu bandit. Bahkan pria ini memenggal kepalanya dan menentengnya ke Markas Kepolisian Sektor Gido. Warga enggan mengungkap identitas pria itu. ”Masalahnya, si penjahat kan orang Nias juga. Nanti keluarganya bisa balas dendam,” kata Bothanian.

Aksi pria itu dianggap sebagai tindakan warga secara bersama-sama. Ada pula tubuh penjahat yang ditemukan tanpa kepala tergantung di tiang bendera. Ciri khas penggal kepala ini rupanya bukan sekadar penyaluran amarah. ”Ini wujud tradisi di masa lalu,” kata Melkhior Duha, Ketua Badan Pemberdayaan dan Warisan Nias.

Kebiasaan memenggal kepala manusia, menurut Duha, bersumber dari keyakinan Ono Niha—orang Nias menyebut dirinya Ono Niha, yang berarti anak manusia. Di masa lalu, manusia yang dipenggal kepalanya adalah sawuyu (budak). ”Setiap raja, bangsawan, maupun kepala adat di masa lalu memelihara sawuyu,” kata Duha.

Di Nias ada dua kategori sawuyu. Pertama adalah sondrara hare, orang yang menjadi budak karena melanggar hukum. Satu lagi dari golongan binu: menjadi budak karena kalah perang. Binu paling buruk nasibnya. Dari kalangan inilah biasanya dipilih kepala-kepala yang akan dijadikan tumbal pada upacara pengorbanan manusia.

Ciri khas sawuyu binu ini adalah telinganya dipotong. ”Sebagai tanda agar tak melarikan diri,” kata Duha. Ke mana pun dia lari, ketika ditangkap—meskipun oleh bangsawan atau kerajaan lain—tetap berada dalam posisi budak yang akan dikayau (dipenggal).

Dalam buku Nias The Land of Opportunity yang diterbitkan PT Samaeri Mitracipta Nias, ditulis bahwa perang menjadi salah satu cara untuk menjaring budak di Nias. Jejak latihan perang untuk mencari budak masih tersisa dalam bentuk atraksi batu lompat di Bawomataluo, Teluk Dalam, Nias Selatan. Orang Nias menamakan tradisi ini Hombo Batu. Lompat batu ini adalah cara mengejar musuh, sekaligus untuk melarikan diri.

Jika tidak mampu kabur, maka malanglah nasibnya. Dia akan menjadi budak musuh yang berhasil mengejarnya, dan dia wajib ikut ke mana tuannya pergi, bahkan hingga ke liang kubur. Inilah proses si budak mengikuti tuan yang telah meninggal. Mula-mula, jenazah si tuan diletakkan di batu megalitik berbentuk datar seperti meja. Si budak duduk di sisi jenazah. Jika lebih dari seorang, maka peran budak-budak itu sebagai bantal, tempat tangan dan kaki diletakkan. Mereka akan terus berada di situ untuk menjaga agar cairan jenazah tak mengalir ke tanah.

Setelah tubuh si bangsawan hancur, kepalanya diambil, dimasukkan ke dalam sarkofagus (peti batu). Sarkofagus itu selanjutnya ditanam di bawah menhir (mirip meja batu) yang berdampingan dengan behu atau gowe, yaitu patung batu yang dibikin si bangsawan semasa hidupnya. Batu-batu ini kemudian dikenal sebagai batu megalitik.

Sebelum sarkofagus dimasukkan ke dalam tanah, terlebih dulu disusun kepala budak sebagai penyangganya. Ini adalah semacam keyakinan untuk memuliakan bangsawan itu. ”Ono Niha percaya, si tokoh tadi akan kembali memimpin di dunia bawah,” kata Duha.

Keyakinan tersebut berkaitan erat dengan kepercayaan Molohe di Nias—menyembah roh leluhur—yang dianut warga setempat sebelum agama Kristen masuk ke pulau itu pada abad ke-18. Ono Niha atau orang Nias percaya bahwa ada tiga dunia dalam kehidupan manusia. Dunia tengah, dunia atas, dan dunia bawah. Dunia tengah diisi manusia. Setelah mati akan menjadi manusia bawah yang dipimpin Latura Dano, raja segala dewa dari dunia bawah. Setelah itu, barulah menuju dunia atas bersama Dewa Lowa Langi, raja segala dewa di atas langit.

Nah, orang Nias diyakini sebagai keturunan dewa langit yang kalah dalam pertempuran untuk merebut kerajaan langit. Itulah sebabnya, budak-budak itu diperlukan untuk membantu dia kembali ke kerajaan langit. Budak ini dipenggal kepalanya untuk menyokong sang tuan di dunia bawah dan dunia atas.

Pastor Johannes Hammerle OFMCap, pengelola Museum Pusaka Nias, menyebutkan, ada satu dokumen yang menunjukkan adanya budaya penggal kepala, yaitu tulisan musafir Persia bernama Sulayman. Tulisan yang dibuat pada tahun 851 itu menerangkan soal budaya penggal kepala ini. ”Ini adalah dokumen pertama tentang Nias secara tertulis,” kata pria Jerman yang sudah bermukim di Nias sejak 1971 ini kepada Tempo.

Menurut Pastor Johannes, dalam dokumen Sulayman itu dituliskan, di masa lalu, pria Nias baru akan kawin jika sudah memenggal kepala. ”Satu kepala satu istri, dua kepala dua istri. Di dokumen itu dituliskan ada yang punya 50 istri,” tuturnya.

Setelah Belanda masuk ke Nias pada 1669, budaya memenggal kepala ini perlahan bergeser. Sebagian penduduk Nias menjadi penganut Kristen Protestan. Agama Katolik sudah mulai dipeluk pada abad ke-19: pada 1830 sudah ada 30 orang Nias yang menjadi penganut Katolik. Di Nias juga menyebar agama Islam dan Buddha. Penganut kepercayaan Molohe yang menyembah roh leluhur tetap ada. Di masa itu, menurut Johannes, masalah perbudakan belum pupus benar. ”Banyak bangsawan kaya yang menggelar pesta dan bikin batu,” katanya. Untuk upacara adat itu mereka perlu biaya. ”Maka, mereka menjual budak-budak ke luar negeri,” katanya.

Ketika misionaris Lyman masuk ke Nias pada 1834, dia melihat 500 orang Nias diangkut oleh sebuah kapal Prancis. ”Mereka adalah budak-budak yang dijual,” Pastor Johannes menjelaskan. Waktu itu, para raja dan bangsawan di Nias sudah mulai meninggalkan kebiasaan memenggal kepala budak. ”Daripada memenggal kepala, mereka beralih ke menjualnya ke luar Nias.”

Orang Nias, menurut misionaris Katolik itu, gampang dijual. ”Orang Nias berkulit bersih, maka laris.” Penjualan budak paling hebat terjadi dua ratus tahun silam sehingga tersohor istilah Laku Niha (manusia sangat laris). Perbudakan berakhir pada 1935.

Seiring dengan berakhirnya era perbudakan itu berakhir pula ”tradisi” memenggal kepala budak. Namun, cerita si pengayau kepala manusia ini masih santer, terutama di pedusunan. Tempo menelusuri cerita ini sampai ke pedalaman Gomo. ”Budaya seperti itu tak ada lagi,” kata Fonaziduhu Telaumbanua, warga Gomo.

Meskipun demikian, jejak kekerasan di Nias sampai kini masih ada. Perang antarkampung, misalnya, bukanlah cerita aneh, terutama di Nias Selatan. Umpamanya, perseteruan antara warga Ori Maina Molo dan Ori Toeneasi. Juga, antara Desa Hili Falage dan Hili Namojaua. Antara kedua kampung itu cuma berjarak satu kilometer.

Pertempuran yang terjadi pada 1999 itu hingga kini masih meninggalkan permusuhan. ”Orang yang mati dipenggal pada perang seperti itu bukan cerita aneh,” kata Duha. Memenggal kepala bukan lagi untuk persembahan, melainkan menjaga gengsi kampung. Ini berkaitan dengan semboyan perang di masa lalu, ”Ondrora wa banuasa, kiri-kiri wa mbabatosa” (menjaga kehormatan kampung lebih utama daripada pertalian darah).

Barangkali inilah yang menyebabkan pria pedalaman Nias tak mau meninggalkan tombak dan pedang di rumah. Mereka menentengnya ke mana pun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus