Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI mana gerangan leluhur Ono Niha? Semula zaman, orang Nias percaya mereka keturunan dewa. Syahdan, purba dahulu, Sihai Uwu Nangi, atau Yang Adikuasa, meniupkan angin besar. Bangkitlah badai, maka terciptalah Tano Niha (Pulau Nias).
Sihai Uwu Nangi kemudian menciptakan pohon Tora’a. Dari mayangnya, jadilah seorang manusia, diberi nama Mosilaowa Tuha.
Manusia pria yang baru satu tentu butuh pasangan. Sihai Uwu Nangi menciptakan Buruti Sangazöngazökhi, yang kemudian dikawinkan dengan Mosilaowa. Pasangan inilah yang diyakini beranak-pinak di Tano Niha.
Ada beberapa mitologi lain yang merawikan asal-usul orang Nias. Karena Nias tak punya warisan aksara, hikayat ini dilisankan turun-temurun. Karena itu, terdapat perbedaan nama dewa langit itu. Ada yang menyebutnya Lowa Langi, misalnya. Hanya satu simpul yang sama, yaitu tentang pohon Tora’a—yakni pohon kehidupan.
Tak ada mitologi yang mengaitkan leluhur Ono Niha dengan nenek moyang penghuni Pulau Sumatera. Beberapa kepustakaan menceritakan, orang pertama yang datang ke Nias berasal dari Cina Selatan.
Beberapa orang Nias terpelajar menyebutkan leluhur mereka berasal dari Teteholi’ana’a, yaitu Indocina. Ada yang bilang mereka berasal dari Vietnam. Intinya merujuk pada resam raga orang Nias yang bermata sipit dan berkulit bersih itu.
”Pendekatan fisik memang benar seperti cerita itu,” kata Arkian Zebua, Ketua Yayasan Sanora, lembaga yang menghimpun komunitas orang Nias di Jakarta. Ada simpul kesamaan antara mitologi dan sejarah asal-usul orang Nias ini.
Menurut satu mitologi, orang pertama yang ”turun” ke bumi Nias adalah Balugu Sirao. Nah, beberapa buku sejarah Nias juga menyebutkan keluarga Raja Balugu Sirao, yang datang dari Cina Selatan pada sekitar 2000-1000 Sebelum Masehi.
Setidaknya ada lima putra Sirao yang mendirikan kampung dan membangun kerajaannya di Nias. Di antaranya di Kecamatan Gomo, Nias Selatan. Kawasan ini, menurut sejarah, adalah tempat Hiawalangi’adu—salah seorang putra Sirao—membangun kampung.
Putra Sirao yang lain, Gozo Helaheladano, mendirikan banua (kampung) pertamanya di Gunung Hili Gozo, sekitar delapan kilometer dari Desa Tugala Lauru, Kecamatan Lahewa. Putra Sirao yang lain, Hulu Hada, berkuasa di tepi Sungai Oyo, Kecamatan Mandrehe.
Masih di tepi Sungai Oyo, masuk ke Kampung Laehuwa, ada jejak Silogubanua, cucu Sirao yang kemudian menjadi raja di sini. Ayahnya, Balugu Luomewona, dipercaya merajai Teteholi’ana’a. Putra keempat Sirao, Daeli, berkuasa di tepi Sungai Idano, Kecamatan Gido.
Dari lima titik inilah keturunan Sirao menyebar ke seluruh penjuru Nias. Semua keturunan Sirao meninggalkan jejak berupa batu megalitik. Misalnya jejak perkampungan tradisional seperti di puncak Trundumbaho, Lahusa Idano Tae, Gomo.
Di dekat air terjun Helaowe, Gomo, juga ada jejak peninggalan leluhur Ono Niha. ”Di sinilah asal mula orang Nias,” kata Son Giawa, Camat Gomo.
Dia menunjuk sebuah batu megalit yang sudah dicor berbentuk piramid terbalik. ”Di dalamnya ada batu keramat,” katanya. ”Di depan batu itulah para raja di masa lalu mengambil segala keputusan.”
Jejak lainnya bisa dilihat di Bawomataluo, yang masih utuh kampung tradisionalnya, lengkap dengan batu loncat untuk latihan perang. Kampung purba ini berjarak 15 kilometer dari Teluk Dalam, Nias Selatan.
Mendaki 88 anak tangga, terhamparlah perkampungan batu itu, megah dan kukuh. ”Batu megalit itu semacam simbol keberadaan mereka,” kata Arkian, yang di depan rumahnya di Tumori, Bale Hili, Gunung Sitoli, juga terdapat batu megalit.
Dosen di Universitas Kristen Indonesia ini adalah generasi kelima Raja Tumori, yang keturunan Sirao juga. Arkian meyakini nenek moyangnya memang dari Cina Selatan.
Dia menduga, kedatangan para leluhur itu karena mereka kalah perang di negeri asal. ”Mereka terusir dari kerajaannya di sana,” katanya. Menyingkir dalam bahtera-bahtera besar, mereka kemudian terdampar di Nias. ”Saya duga begitu,” kata pria kelahiran 1953 ini.
Ayah tiga anak itu juga melihat kedekatan peninggalan batu megalit ini dengan budaya Birma. Tokoh lokal di Nias, seperti Melkhior Duha, Ketua Badan Pemberdayaan dan Warisan Nias, juga berpendapat hampir serupa dengan Arkian. Begitu juga dengan Hanati Nazara, bekas wakil rakyat yang kini menjadi tokoh budaya di Nias.
Dari beberapa pendapat itu, makin jelaslah keterputusan hubungan budaya antara orang Nias dan beberapa daerah yang bertetangga dengan pulau itu. Kemudian datanglah para perantau, antara lain dari Sumatera Barat dan Aceh.
Mereka masuk sejak abad ke-15, dan akhirnya menjadi ”orang Nias” melalui hubungan perkawinan. Umumnya mereka bermukim di pesisir Gunung Sitoli.
Tetapi, pendapat berbeda ditawarkan Pastor Johannes Hammerle, pengelola Museum Pusaka Nias. Menurut dia, leluhur orang Nias belum bisa dipastikan asal-usulnya. ”Banyak suku yang masuk ke Nias,” kata pastor asal Jerman yang sudah bermukim di Nias sejak 1971 itu.
Dia mendasarkan pendapatnya pada fakta sejarah, yaitu peperangan untuk mencari budak di Nias. ”Justru karena berasal dari daerah yang berbeda itulah mereka berperang dan menculik orang untuk dijadikan budak,” kata Johannes. Logikanya, jika bersumber dari satu keluarga, tentu mereka tak saling menculik dan menjadikan lawannya budak.
Itulah sebabnya Yayasan Pusaka Nias (payung Museum Pusaka Nias), bekerja sama dengan Institute of Human Genetics Westfalische Wilhems, Universitas Munster, Jerman, sedang melakukan penelitian DNA masyarakat Nias. Kini DNA itu diteliti di Berlin dan Leipzig. Setelah itu, mudah-mudahan, akan lebih memetakan ”langit” asal Ono Niha.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo