Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Bola Biliar Penunjuk Waktu

Empat karya mural Prancis dipamerkan di Jakarta. Upaya membuat seni rupa publik lebih dekat dengan masyarakat.

2 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lukisan itu sebuah papan bujur sangkar besar berwarna oranye mencolok. Pada porosnya, lingkaran putih berdiameter 1,8 meter, dengan angka 93 berukuran besar. Tepat di antara kedua angka itu, sebuah jarum jam kecil. Saking kecilnya, sang jarum tak tampak kalau dipandang sekilas.

Ya, lukisan di dinding lorong utama pintu masuk Stasiun Kota yang selalu menghentikan langkah Kusnadi, 50 tahun. Kusnadi, pekerja di sebuah penerbitan di Jakarta, terpesona pada warnanya yang mencolok. Ia tak mampu berbicara banyak. Komentarnya hanya satu tapi tepat: ”Bagus seperti bola biliar.” Pemilik lukisan bola biliar yang berjudul 93 itu seorang perupa Prancis, Mathieu Mercier.

Karya Mercier dan tiga perupa Prancis lain muncul di sejumlah ruang publik di Jakarta sejak pertengahan Desember. Itulah pameran mural kontemporer bertajuk ”WA”, hasil kerja sama Pusat Kebudayaan Prancis (CCF) Jakarta dan Ruangrupa. Menariknya, Mercier tidak memboyong karyanya itu ke Stasiun Kota. 93 dilukis ulang oleh seniman Indonesia.

Mercier hanya memberikan buku panduan mengenai cara pembuatan—dari pemilihan bahan, alat yang diperlukan hingga metode pengerjaan. Setelah itu lukisan itu ”milik” M.G. Pringgotono dan Saleh, mahasiswa Universitas Negeri Jakarta, Jurusan Seni Rupa Baru, Fakultas Bahasa dan Seni. ”Keunikannya terletak pada interpretasi seniman Indonesia dalam mengikuti petunjuk itu,” tutur Jany Bourdais, Direktur Pusat Kebudayaan Prancis. Pada 2006, hal serupa akan digelar di Argentina.

Pringgotono mengakui, kesulitan utama mengerjakan proyek ini adalah menerjemahkan keinginan si seniman dalam memperlakukan karyanya. Pringgotono mencoba membubuhkan aspek fungsional yang biasa muncul dalam mural Prancis. Mercier memang ingin membuat seni mural yang juga berfungsi sebagai penanda waktu. Tak pelak lagi, terminal, pertokoan hingga ruang publik yang membutuhkan informasi waktu jadi pilihan lokasinya. ”Angka 93 dan jarum jam berfungsi sebagai mana sebuah jam,” katanya.

Lalu ada juga yang menitikberatkan medium yang digunakan. Karya Olivier Millagou tidak menggunakan cat, kuas, dan tembok. Millagou memilih pin up (paku payung) warna emas dan bidang kayu gelap. Ribuan paku payung disusun dengan teknik mosaik membentuk 10 bintang emas plus efek cahayanya. Sekurang-kurangnya dibutuhkan 4.000 paku payung buat menghasilkan karya Drawn Pin-nya. ”Jari saya sampai lecet,” ujar Pringgotono. Karya Millagou ini dapat dilihat di salah satu ruang di CCF Jakarta.

Perupa lainnya, Ivan Fayard, lain lagi. Karyanya, Spermators, seperti sperma, memperlihatkan bentuk kurva-kurva tertutup tak beraturan. Kekuatan karya Fayard terletak pada komposisi warna dan penempatan karya ini di dinding. ”Fayard sepertinya tahu karyanya akan menghasilkan efek berbeda jika dilukis menembus batas atau sudut dinding,” kata Pringgotono. Karya ini kerap menghadirkan efek khusus, misalnya ilusi optis saat mata melihat obyek di dinding.

Di antara karya-karya ini, mungkin hanya Virgine Barre yang hanya muncul sebagai mural penghias dinding. Ia menempuh teknik drawing. Lalu lahirlah karya hitam-putih bergambar anak kecil dan ibunya sedang membaca buku sambil duduk di sofa. Di atasnya tertoreh sebuah tulisan, ”Hitler menyebut dirinya sebagai seorang pengembara yang kesepian.”

”Seluruh karya Barre kami interpretasikan dengan suasana pendidikan karena itu kami pilih toko buku,” Saleh menjelaskan.

Pameran seni rupa publik ”WA” ini setidaknya memberi warna dalam melihat perkembangan seni mural di Indonesia yang lima tahun terakhir menjadi gerakan masif. Seni rupa publik yang tak melulu hadir sebagai seni mural penghias dinding, tapi lahir dengan konteks yang lebih kuat, lebih dekat dengan kepentingan publik.

Cahyo Junaedy

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus