Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HARI itu matahari belum lagi terbit. Beberapa pemuda masih membungkus diri dengan kain sarung di ruang tunggu pelabuhan penyeberangan Kota Labuha menuju Pulau Kasiruta Bacan, Halmahera Selatan, Maluku Utara. Ketika matahari muncul, barulah puluhan orang memadati pelabuhan penyeberangan. Mereka umumnya penumpang dengan tujuan dua desa di pulau tersebut: Palamea dan Doko. "Umumnya mereka penambang batu bacan," kata Amirudin, 34 tahun, pengemudi speedboat, kepada Tempo.
Bacan kini sangat tersohor. Penyebabnya, batu akik asal dua desa itu menjadi pemicu booming batu mulia di Tanah Air dalam dua tahun belakangan. Harga cincin, kalung, dan liontin batu bacan di Jakarta meroket gila-gilaan. Satu akik cincin bacan dijual puluhan juta rupiah. Melonjaknya harga batu bacan itu terjadi setelah dikabarkan menjadi suvenir Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk Barack Obama, Presiden Amerika Serikat.
Datanglah ke Jakarta Gems Center di kawasan Pasar Rawa Bening, Jatinegara. Di pusat penjualan akik terbesar di Asia Tenggara itu, batu bacan jadi primadona. Tanyalah kepada Junaedi, 54 tahun, pemilik toko AKS 97. "Sekitar lima tahun lalu, sekilonya hanya Rp 4 juta. Sekarang sudah 50 kali lipat," kata Ketua Asosiasi Perajin Usahawan Batu Aji, Permata, Cincin, dan Aneka Kerajinan itu.
Junaedi, yang berbisnis batu akik sejak 1989, mengatakan lima tahun lalu di Rawa Bening hanya terdapat sekitar 1.300 gerai, kini berkembang menjadi sekitar 2.000. Junaedi belum memasukkan mereka yang berjualan di pinggir jalan. Perputaran uang di sana juga meningkat. Sebelum 2014, mendapatkan Rp 20 juta sebulan per gerai susah. "Sekarang angka itu bisa didapat sehari," ujarnya.
Predikat batu bacan sebagai "ratu akik" juga karena warnanya yang bisa berubah-ubah: dari hijau muda ke hijau tua menjadi biru kehijau-hijauan. "Batu bacan tersusun dari silika oksida. Jenis ini mempunyai zat kapur. Warna batu bacan berubah karena zat kapurnya larut dalam air," kata Shaheen Nazir, ahli batu dari Indonesia Colour Gems Laboratory (ICGL) Jakarta.
Ingar-bingarnya suasana penjualan akik di Pasar Rawa Bening kontras dengan suasana Desa Palamea, tempat asal batu bacan. Desa ini terlihat tak selayaknya sebuah perkampungan tambang yang makmur. Mencapai lokasi tambang harus ditempuh dengan tiga jam berjalan kaki dengan menelusuri bukit sepanjang lima kilometer. Tiba di lokasi tambang, puluhan terpal biru ukuran 6 x 7 meter terlihat berjejer rapi tepat di bibir lubang penggalian batu.
Penambangan batu bacan dilakukan secara tradisional menggunakan cangkul, linggis, betel, palu, sekop, serta senter kepala.?Lubang galian berdiameter 3 meter dengan rata-rata kedalaman setiap lubang 30-40 meter. Satu lubang penambangan batu bacan dikerjakan oleh satu kelompok yang berjumlah 3-7 orang. Setiap orang mendapat jatah pekerjaan 1-2 jam. "Kalau sudah mendapatkan urat batu bacan, barulah semua orang dalam satu kelompok ini kerja bersama-sama," kata Samsudin, 34 tahun, salah satu penambang di Palamea.
Samsudin menuturkan, sejak 2011, jumlah penambang batu bacan di Desa Palamea melonjak tajam. Penambang bukan lagi penduduk setempat, melainkan warga daerah lain, seperti Labuha, Tobelo, Galela, dan bahkan Sulawesi Utara. Mereka tertarik lantaran pendapatan dari penambangan batu bacan lebih besar ketimbang penambangan emas. "Sekali menambang bisa mendapatkan Rp 30-50 juta," ujar Samsudin.
Setiap dua minggu sekali, ada pembeli yang datang langsung ke Palamea. Satu bongkahan 1 kilogram dengan warna hijau bening dihargai Rp 100 juta. Biasanya hasil penambangan batu bacan dibagi tiga: 30 persen untuk pemilik lahan, 5 persen untuk penyuplai bahan makanan, dan 65 persen untuk penambang. "Uang dibagi setelah bongkahan batu terjual," ujar Nurdin, penambang lain.
Transaksi batu bacan di Desa Palamea umumnya dilakukan antara penambang dan penadah. Sangat jarang transaksi dilakukan pembeli langsung dengan penambang. Akibatnya harga di lokasi penambangan lebih rendah dibanding di Ternate atau Jakarta.
Di Palamea, bongkahan batu bacan dengan ukuran 2 kilogram dihargai Rp 80-100 juta. Di Ternate Rp 150 juta. "Konsumen lebih senang membeli batu bongkahan karena harganya relatif standar. Mereka bisa membentuk batu sesuai dengan keinginannya," ujar Ashlih Abusama, 39 tahun, salah satu perajin di Labuha. "Kalau di Jakarta, harga jualnya bisa lebih tinggi. Saya pernah menjual bongkahan batu bacan kepada pembeli dari Jakarta dengan harga Rp 200 juta," kata Riad Rasid, 51 tahun, salah satu penadah batu dari Labuha.
Booming batu akik memang unik. Berbeda dengan booming lukisan, tanaman Anthurium, atau ikan koki, pembeli batu akik datang dari semua lapisan: bawah dan atas. Sebarannya pun merata di seluruh pelosok Nusantara. "Pemburu batu akik dari orang desa seudik-udiknya sampai orang kota sekota-kotanya," kata Junaedi, pedagang di Pasar Rawa Bening.
Batu mulia di perut bumi Indonesia memiliki sejarah sangat panjang. Ahli geologi Institut Teknologi Bandung, Sujatmiko, menyebutkan proses pembentukan batu mulia berhubungan dengan kegiatan magma di perut bumi yang keluar lewat saluran tubuh gunung api. Indonesia memiliki banyak gunung berapi. Itulah sebabnya hampir semua provinsi di Indonesia kaya batu mulia. Lokasi batu mulia itu tersebar menurut jalur magma gunung api purba. Batu tertua di Indonesia berupa fosil karang laut ditemukan di Papua, umurnya lebih dari 400 juta tahun. "Di Papua, batu mulia itu bergelimpangan di sungai," kata Sekretaris Jenderal Masyarakat Batu Mulia Indonesia ini.
Perencana keuangan Eko Indarto dari Finansia Consulting melihat minat masyarakat terhadap batu akik bukan gejala sesaat. "Sebagai barang koleksi, boom batu akik akan bertahan lama," ujarnya. Batu akik, menurut Eko, belum mempunyai standar pengakuan seperti emas, tapi saat ini sudah mulai dilirik sebagai barang investasi.
Selain bacan, batu akik yang kini menjadi primadona adalah batu pancawarna dari Garut, Jawa Barat. Batu itu dihasilkan dari penambangan di punggung Gunung Kencana, Desa Sukarame, Kecamatan Caringin. Kawasan ini tidak jauh dari Samudra Hindia atau sekitar 20 kilometer dari bibir pantai Rancabuaya.
Tempo menyambangi lokasi penambangan itu, yang tidak jauh dari tempat tinggal Edong, orang yang pertama kali menemukan batu ini, di Kampung Cikarawang. Untuk sampai ke lokasi penambangan, diperlukan waktu sekitar 20 menit menyusuri jalan setapak. Di pinggir jalan setapak ini terdapat tebing dengan kemiringan 70-80 derajat.
Sepintas lubang tambang berdiameter sekitar 1 meter ini mirip sarang ular di kemiringan tebing. Di setiap mulut lubang, satu-dua pria bertubuh kekar keluar-masuk sambil memegang senter. Tubuh mereka belepotan keringat bercampur tanah. Dari dalam lubang inilah batu akik dengan sebutan batu edong ditemukan.
Batu Garut edong memiliki lima warna: merah cabai, hijau, hitam, kuning, dan putih tulang. Maman, pensiunan pegawai PLN, yang mulanya menjual batu Garut dengan cara berkeliling ke Tasikmalaya, Bandung, Cirebon, dan Jakarta, mengaku saat ini memasok batu akik Garut ke Jepang dan Belanda. "Cincin ini harganya sekarang di Belanda Rp 500 juta," ujarnya sambil menunjukkan sebuah cincin berbatu Garut. Selain warna, batu Garut yang paling banyak diburu adalah yang memiliki corak lukisan, baik menyerupai pemandangan alam, benda, hewan, maupun orang. "Batu yang bergambar ini harganya fantastis," kata Maman. Menurut dia, harga batu pancawarna bergambar bisa mencapai Rp 1 miliar. "Harga batu ini tidak standar," ucapnya.
Salah satu batu akik yang juga tengah banyak diburu untuk koleksi adalah batu berjad api atau fire opal Wonogiri, Jawa Tengah. Batu itu dihasilkan dari kaki Gunung Muser di Kecamatan Kismantoro. "Dulunya masyarakat sekitar menyebutnya sebagai batu pecah seribu atau batu retak. Jika digosok, retakan itu terlihat seperti pola api di balik batu yang jernih," ujar Jasmani, perajin batu akik setempat. "Menurut Jasmani, batu fire opal cukup langka. Bahan fire opal juga mahal. Sekeping batu seukuran bungkus rokok, misalnya, harganya bisa Rp 1 juta. Jika sudah jadi akik, menurut Jasmani, harganya sangat bervariatif, tergantung warna dan tingkat kejernihannya. "Paling murah Rp 500 ribu untuk berjad api warna kuning. Sedangkan yang merah menyala bisa sampai Rp 2 juta."
Selain dari Bacan, Garut, dan Wonogiri, batu akik yang tengah menjadi perhatian adalah yang berasal dari Sungai Dareh, aliran Sungai Batang Hari, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat-250 kilometer dari Padang. "Batu lumut Sungai Dareh saya jual Rp 8 juta," kata Jumroni, 35 tahun, penjual batu akik dari Kabupaten Dharmasraya. Ia menunjukkan batu 2 x 1 sentimeter berwarna hijau lumut.
Orang setempat menyebut batu itu lumuik Sungai Dareh. Batu hijau itu terlihat bening. Di dalam batu terdapat serat seperti lumut di sungai. Menurut Jumroni, batu yang mahal itu memiliki motif lumut yang bagus. Misalnya rangkaian lumut berbentuk wayang. Jumroni juga menjual batu dalam bentuk bongkahan seperti batu-batu di sungai. Bongkahan batu dengan berat 4 kilogram dijual Jumroni Rp 35 juta. Sebab, batu itu tembus cahaya. "Sudah ada yang nawar Rp 30 juta. Tapi tidak saya jual," katanya.
Irsyad, 51 tahun, salah seorang kolektor batu di Dharmasraya, mengatakan batu lumut Sungai Dareh kualitas atas ada dua jenis: pucuk pisang dan kumbang jati. Harga kedua jenis itu termasuk mahal. Satu cincin batu kualitas super harganya Rp 12 juta. "Pucuk pisang itu lebih bening. Adapun kumbang jati lumutnya terlihat banyak di dalam batu itu," kata mantan Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Dharmasraya ini.
Pemerhati batu yang juga dosen seni rupa Universitas Negeri Padang, Syafwandi, mengatakan batu lumut Sungai Dareh terkenal karena kejernihannya. Batu itu memiliki kilatan yang sempurna. "Batu lumut yang bagus itu seperti ada minyak di atasnya. Berkilat-kilat. Padahal ketika disentuh tak ada minyaknya," ujarnya.
Budhy Nurgianto (ternate), Andri El Faruqi (dharmasraya), Sigit Zulmunir (garut), Ahmad Rafiq (wonogiri), Dian Yuliastuti, Nurdin Kalim (jakarta), Anwar Siswadi (bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo