Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Jalan Spiritual Salgado

Sebuah film dokumenter mengenai kehidupan Sebastiao Salgado, fotografer kenamaan Brasil, ditayangkan di Jerman. Saya menonton di salah satu gedung bioskop di Braunschweig beberapa waktu lalu. Film berjudul das Salz der Erde (Garamnya Bumi) itu disutradarai oleh Wim Wenders, sutradara avant-garde Jerman. Wenders sebelumnya membikin film mengenai maestro tari Jerman, Pina Bausch. Film ini pernah diputar oleh Goethe-Institut Jakarta. Adapun Salgado kiranya tak asing bagi fotografer Indonesia karena beberapa tahun lampau memberi workshop di Jakarta.

16 Februari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebuah film dokumenter mengenai kehidupan Sebastiao Salgado, fotografer kenamaan Brasil, ditayangkan di Jerman. Saya menonton di salah satu gedung bioskop di Braunschweig beberapa waktu lalu. Film berjudul das Salz der Erde (Garamnya Bumi) itu disutradarai oleh Wim Wenders, sutradara avant-garde Jerman. Wenders sebelumnya membikin film mengenai maestro tari Jerman, Pina Bausch. Film ini pernah diputar oleh Goethe-Institut Jakarta. Adapun Salgado kiranya tak asing bagi fotografer Indonesia karena beberapa tahun lampau memberi workshop di Jakarta.

Wim Wenders bekerja sama dengan Juliano Ribeira Salgado, putra sulung Sebastiao Salgado, yang sudah sejak sepuluh tahun mendokumentasi proses kerja ayahnya. Saya melihat ada kejujuran perspektif Juliano tentang ayahnya, dan kecermatan kedua sutradara ini dalam memilih peristiwa penting dalam hidup Sebastiao Salgado secara kronologis, baik dalam dunia profesionalnya maupun kehidupan pribadinya.

Menonton film ini, saya teringat sebuah pameran foto hitam-putih Salgado pada Juli 2014 di Singapura National Museum yang menggetarkan. Bertajuk "Genesis", pameran itu menghadirkan 245 seri foto yang tak hanya memberi kekuatan yang membangkitkan emosi, tapi juga sekaligus keterasingan antara tubuh kita dan tubuh-tubuh yang hadir pada foto-foto itu. Salgado menghadirkan fotografi hitam-putih yang sudah jarang kita lihat dalam dunia warna foto teknologi digital yang membanjir dalam dunia visual kita saat ini.

Dalam bagian pembuka das Salz der Erde, dengan rekaman suaranya sendiri, Wenders menceritakan awal mula ketertarikannya pada foto Salgado. Kurang-lebih 20 tahun lalu ia membeli dua foto Salgado di sebuah galeri, kemudian memajangnya di sebelah meja kerjanya hingga sekarang.

Sosok Sebastiao Salgado kemudian banyak ditayangkan Wenders dalam ukuran potret, di depan background hitam, berhadapan dengan foto hitam-putih Salgado yang dipilih. Salgado kemudian menceritakan pengalamannya dari satu foto ke foto lain. Proyeksi fotografi hitam-putih dalam ukuran layar lebar, diiringi dengan penceritaan dalam bahasa dan suara Salgado yang halus itu, mampu menempatkan kita berada di antara kejadian yang terdokumentasi dalam foto dan pengalaman personal fotografernya.

Misalnya saat Salgado bercerita bagaimana dia merasa terguncang dan hampir tidak kuat secara mental melanjutkan perjalanan ketika mengikuti program pengungsian selama 15 bulan di wilayah Sahel, Afrika, pada 1984, melintasi Chad, Ethiopia, Mali, dan Sudan, bersama organisasi kemanusiaan Doctors Without Borders. Salgado menjadi saksi penderitaan, kekeringan, dan kelaparan, yang terus diiringi oleh kematian yang bertubi-tubi dari tubuh-tubuh yang tidak melawan, terbuang, tergeletak mati dan lalu ditinggalkan, tapi tetap berjalan untuk mengungsi menuju tempat yang aman.

Kesaksian langsung yang dialaminya dan hasil yang tercetak dalam fotografinya sering mengundang konflik dalam dirinya sendiri. Di satu sisi ia merasa sedih menyaksikan kematian-kematian itu, di sisi lain ia ingin menunjukkan kepada dunia tentang apa yang terjadi. Dengan editing yang sangat halus dan fasih, film terasa mengalir mengajak kita memasuki tiga ruangan berbeda tapi berkaitan, antara potret yang bercerita, proyeksi fotografi hitam-putih, dan rekaman dokumentasi proses bekerja dan kehidupan keseharian Salgado.

Material dokumentasi yang dibuat oleh Juliano Ribeiro Salgado memiliki peran sangat penting terutama tatkala menghadirkan momen personal yang detail saat Salgado melakukan pemotretan, seperti ketika mereka sedang berada di Siberia Utara dan di Papua Barat pada 2010.

Sebastiao Salgado dilahirkan pada 1944 di Aimorés, Minas Gerais, Brasil, sebagai satu-satunya anak laki-laki dari delapan bersaudara. Pada 1960-an, ketika masih menjadi mahasiswa di fakultas ekonomi di Sao Paulo, Salgado aktif bergabung dengan aksi-aksi mahasiswa melawan rezim yang berkuasa waktu itu. Pada masa itulah dia bertemu dengan Lélia Wanick Salgado, yang kemudian menjadi istrinya.

Pada awal 1970-an, Sebastio Salgado bersama istrinya pindah ke Paris menempuh studi doktor di bidang ekonomi di University of Paris, yang kemudian dia tinggalkan karena mendapat pekerjaan sebagai ekonom di sebuah organisasi kopi internasional di London. Pada 1973, Salgado terdorong kembali ke Paris dan bertekad bekerja sebagai fotografer profesional. Selama 20 tahun (1974-1994), Salgado menjadi agen fotografi ternama di Paris dan banyak melakukan perjalanan sebagai fotografer jurnalistik yang hasilnya dimuat di berbagai media cetak internasional.

Sejak awal 1990-an, setelah ayahnya wafat dan meninggalkan ratusan hektare tanah hutan yang rusak, Salgado bersama Lelia Salgado kembali ke desa kelahirannya dan bekerja keras memulihkan hutan yang hilang itu. Pada sepuluh tahun pertama, mereka berhasil mengembalikan hutan mereka. Proyek ini menjadi model percontohan pemulihan kawasan hutan di Brasil dan mendapatkan berbagai penghargaan internasional.

Perhatian utama fotografi Salgado adalah kemiskinan, penderitaan, dan penindasan di berbagai negara. Dalam bukunya, Workers (1993), Salgado mendokumentasi para pekerja dengan latar belakang lingkungan alam yang rusak akibat industrialisasi. Terinspirasi dari fotografer jurnalistik seperti Lewis Hine, W. Eugene Smith, dan Walker Evans, Salgado menghadirkan tema keterpurukan, kemiskinan, dan ketidakadilan sosial dalam perspektif fotografi hitam-putih yang indah.

Salgado berkeliling melakukan proyek fotografinya di lebih dari seratus negara dan hasilnya sudah banyak diterbitkan dalam buku fotografinya, seperti Other Americas, Sahel - l'Homme en DĂ©tresse (1986), An Uncertain Grace (1990), Workers (1993), Terra (1997), Exodus (2000), Africa (2007), dan Genesis (2004-2011).

Melalui das Salz der Erde, Wim Wenders mengajak kita menyaksikan siklus kehidupan seseorang yang melewati segala kesaksian nestapa manusia dan alamnya. Kita juga diajak memperhatikan proses kerja seseorang yang memulai karier sebagai fotografer jurnalistik tapi kemudian mampu mengembangkan profesi fotografi tersebut tumbuh menjadi jalan spiritualnya dalam mencari nilai-nilai kemanusiaan.

Das Salz der Erde membawa saya pada perasaan bahwa penderitaan memiliki keindahan tersendiri. Seperti juga penderitaan, kepahitan, kebrutalan hidup yang muncul pada fotografi Sebastiao Salgado, yang tidak sekadar memberitakan, tapi juga menyajikan sebuah bahasa membidik mata hati. Das Salz der Erde akan ditayangkan oleh Goethe-Institut Jakarta dalam rangkaian acara German Cinema tahun ini.

Melati Suryodarmo, Seniman Performance

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus