Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia disebut Torrance Tornado. Angin menderu dari kampung Torrance.
Dia berlari seperti angin hingga dari jauh orang-orang hanya bisa melihat sebuah garis lurus yang melesat begitu saja. Wusss… dialah Louis Zamperini.
Segalanya dimulai dari rasa takut dan keinginan bertahan. Si kecil Louis adalah seorang remaja dari keluarga imigran Italia yang selalu saja didera anak-anak Amerika yang merasa diri "pemilik tanah Amerika asli". Louis bukan anak santun. Dia berlagak minum susu, padahal isi botol yang ditenggaknya adalah bir atau anggur; dia merokok diam-diam sembari mengintip apa yang ada di balik rok murid perempuan. Ketika ketahuan dan siap dihajar guru, dia berlari sekuat tenaga melintasi lapangan atletik. Si abang, Pete Zamperini, segera sadar: Louis (C.J. Valleroy) harus dilatih dengan keras agar menjadi atlet profesional supaya menjadi seseorang, bukan orang "yang tak berguna dan tak punya tujuan hidup", seperti yang selalu dikatakan Louis remaja. Pete benar. Karena tak rela kalah oleh begajul sekampungnya di Torrance, California, Louis berhenti minum dan merokok.
Sutradara Angelina Jolie, setelah film In the Land of Blood and Honey, sebetulnya tidak menyorot Louis Zamperini sebagai si Torrance Tornado, sang atlet lari pemenang Olimpiade 1936. Peristiwa itu sesekali menjadi kilas balik untuk memperkenalkan karakter Zamperini kepada penonton. Film kedua Jolie ini dimulai dengan adegan baku hantam antara pesawat tempur Amerika dan pesawat Jepang di langit Pulau Nauru pada 1943. Pesawat Zamperini (Jack O'Connell) dan timnya jatuh di atas Samudra Pasifik, seribu kilometer dari selatan Oahu. Inilah tujuan Jolie: memperlihatkan daya tahan Zamperini dan kedua kawannya, pilot Russell Phillips (Domhnall Gleeson) dan Francis McNamara (Finn Wittrock).
Jolie mendekatkan lensa untuk merekam perubahan ketiga tentara ini dari hari ke hari: di atas sekoci, mereka terombang-ambing di atas ombak di tengah samudra; mereka dihajar hujan dan dipanggang terik matahari; mereka dilumuri asinnya garam dan tak jarang diserempet ikan hiu. Ketiganya mencoba bertahan hidup dengan memakan daging mentah apa saja yang menghampiri mereka: dari burung bangau yang hinggap di tepi sekoci hingga ikan kecil dan besar yang ke sana-kemari melenggang. Jolie tidak hanya memperlihatkan perubahan fisik mereka yang semakin hari semakin mirip tengkorak hidup, tapi berhasil mengarahkan seni peran ketiganya sebagai tiga onggokan tulang yang mengais-ngais nyawa dengan gerakan tanpa dialog. Mata kosong, bibir hancur, tubuh remuk, yang nyaris ditinggalkan nyawanya sendiri.
Belakangan kehidupan Zamperini dan pilot Phil semakin tragis karena ditahan dan disiksa habis-habisan di kamp tawanan Jepang. Jolie menggambarkan episode ini sebagai klimaks berdarah tanpa filter, tanpa ampun, tanpa gula pemain apa pun. Adegan kekejian demi kekejian setiap saat itu seolah-olah membuat adegan derita mereka di tengah samudra menjadi begitu ringan seperti sebuah piknik bulan madu.
Sosok Mutsuhiro Watanabe (Miyavi), komandan Jepang paling kejam dalam sejarah-yang masuk sebagai salah satu dari 40 nama penjahat perang Jepang-mendominasi hampir separuh film ini. Dia adalah komandan yang terus-menerus menggunakan Zamperini sebagai sasaran empuknya, pagi, siang, malam, hingga detik terakhir saat Jepang kalah perang. Hingga akhir hayatnya, Zamperini-baru saja wafat setahun lalu-tak pernah tahu mengapa dia dipilih menjadi target hajaran tongkat sang Burung, demikian sebutan bagi Watanabe. Adegan penganiayaan Jepang adalah adegan tersulit untuk disaksikan, tapi agaknya Angelina Jolie merasa perlu menampilkan itu untuk kemudian mengangkat sosok kuat Zamperini, yang jiwanya tak kunjung patah meski melalui penghinaan jiwa raga.
Film ini, meski tak dilirik oleh Academy Awards, adalah sebuah film biopik yang berhasil mengambil bagian yang penting dan dramatik dari seorang atlet Olimpiade terkemuka Amerika. Melalui film ini, Jolie tidak hanya menunjukkan cinta dan perhatiannya secara konsisten dan intens kepada korban perang , tapi juga kemampuannya sebagai seorang seniman yang justru lebih berbakat di belakang kamera.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo