Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Beban Hutang

Presiden mengemukakan masalah hutang pertamina dalam pidato RAPBN 1976/1977. Wawancara khusus dengan dr. ibnu sutowo untuk mengetahui duduk perkara pertamina.

17 Januari 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASALAH hutang Pertamina menarik perhatian lagi. Dalam pidato RAPBN di depan DPR Rabu pekan lalu, Presiden Soeharto menjelaskan garis besar masalah itu secara luas. Keadaan yang kita hadapi karena masalah itu memang cukup membikin kita perlu lebih prihatin, namun harus dihadapi dengan dingin dan berperhitungan. Berangkat dari situ Fikri Jufri menuliskan laporan utama kali ini, dengan mengadakan wawancara ke pelbagai fihak. Tak ketinggalan dengan Dirut Pertamina Dr. H. Ibnu Sutowo. Sementara itu George Yunus Adicondro, yang pernah mengunjungi beberapa tempat di mana hotel-hotel dibangun oleh anak perusahaan Pertamina Patra Jasa, dibantu laporan ansur Amin, menulis satu bagian tentang bab itu. W.Z. Fadil, pembantu ahli TEMPO, mengikhtisarkan isi RAPBN 1966-1977 dalam rubrik Nasional. Laporan utama kali ini juga agak panjang dari biasa, yakni tujuh halaman. Kami tidak berpretensi bahwa masalah itu dapat secara seluruhnya terjawab oleh kami, untuk pembaca yang termasuk dalam khalayak yang diam-diam bertanya. Maka kami muatkan . bagian tentang Pertamina dari pidato Presiden di depan DPR itu secara sepenuhnya. Secara lebih terperinci, wawancara khusus dengan Dr. Ibnu Sutowo kami harap merupakan bahan yang penting, untuk mengetahui duduk perkara masalah ini sekedarnya. * * * SEMENTARA bagian-bagian laporan utama naik ke Bagian Produksi & Artistik, buletin Business News tiba. Di dalamnya terdapat pernyataan Menteri Pertambangan Moh. Sadli, yang menarik. "Marilah kita sadar," kata Menteri, "dengan adanya kenaikan harga minyak, timah, tembaga dan sebagainya, kita tidak langsung menjadi kaya. Bangsa Indonesia pendapatannya rendah, walaupun mempunyai minyak, timah, tembaga, nikel, yang tidak sedikit. Tingkah laku, gaya hidup kita tidak patut mengikuti orang-orang Barat atau Jepang. Kita tetap harus hidup sederhana, bekerja dengan ukuran-ukuran yang sederhana dan hemat. Dengan berlagak sebagai orang kaya, tidak akan mendatangkan hormat dan respek, karena mereka sekarang sudah tahu, hutang kita terlalu banyak". Lalu Sadli menambahkan: "Kerugian-kerugian di Pertamina kita pandang sebagai uang sekolah yang besar sekali dan pelajaran yang pahit. Tidak ada gunanya menyalahkan sesuatu pihak, semua ikut bersalah. Saya sebagai Menteri Pertambangan ikut bertanggungjawab dan ikut bersalah". *** PARA pembaca, setelah tentang tentang hutang Pertamina, ijinkanlah kami menyampaikan berita kecil. Dalam sayembara menulis novel Dewan Kesenian Jakarta yang diumumkan Sabtu pekan lalu, ternyata dua rekan TEMPO mendapat hadiah. Putu Wijaya -- yang sudah sering mendapat hadiah penulisan -- berhasil dengan novelnya, "Setasiun ". Sinansari Ecip, koresponden di Ujung Pandang, dengan novel "Perjalanan" -- dengan memakai nama samaran Silia Saraswati. Itu adalah nama puterinya, yang lahir waktu Ecip menerima hadiah patung Dewi Saraswati sebagai pemenang Sayembara Penulisan Pariwisata Nasional 1975.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus