MASALAH hutang Pertamina menarik perhatian lagi. Dalam pidato
RAPBN di depan DPR Rabu pekan lalu, Presiden Soeharto
menjelaskan garis besar masalah itu secara luas. Keadaan yang
kita hadapi karena masalah itu memang cukup membikin kita perlu
lebih prihatin, namun harus dihadapi dengan dingin dan
berperhitungan.
Berangkat dari situ Fikri Jufri menuliskan laporan utama kali
ini, dengan mengadakan wawancara ke pelbagai fihak. Tak
ketinggalan dengan Dirut Pertamina Dr. H. Ibnu Sutowo. Sementara
itu George Yunus Adicondro, yang pernah mengunjungi beberapa
tempat di mana hotel-hotel dibangun oleh anak perusahaan
Pertamina Patra Jasa, dibantu laporan ansur Amin, menulis satu
bagian tentang bab itu. W.Z. Fadil, pembantu ahli TEMPO,
mengikhtisarkan isi RAPBN 1966-1977 dalam rubrik Nasional.
Laporan utama kali ini juga agak panjang dari biasa, yakni tujuh
halaman.
Kami tidak berpretensi bahwa masalah itu dapat secara seluruhnya
terjawab oleh kami, untuk pembaca yang termasuk dalam khalayak
yang diam-diam bertanya. Maka kami muatkan . bagian tentang
Pertamina dari pidato Presiden di depan DPR itu secara
sepenuhnya. Secara lebih terperinci, wawancara khusus dengan Dr.
Ibnu Sutowo kami harap merupakan bahan yang penting, untuk
mengetahui duduk perkara masalah ini sekedarnya.
* * *
SEMENTARA bagian-bagian laporan utama naik ke Bagian Produksi &
Artistik, buletin Business News tiba. Di dalamnya terdapat
pernyataan Menteri Pertambangan Moh. Sadli, yang menarik.
"Marilah kita sadar," kata Menteri, "dengan adanya kenaikan
harga minyak, timah, tembaga dan sebagainya, kita tidak langsung
menjadi kaya. Bangsa Indonesia pendapatannya rendah, walaupun
mempunyai minyak, timah, tembaga, nikel, yang tidak sedikit.
Tingkah laku, gaya hidup kita tidak patut mengikuti orang-orang
Barat atau Jepang. Kita tetap harus hidup sederhana, bekerja
dengan ukuran-ukuran yang sederhana dan hemat. Dengan berlagak
sebagai orang kaya, tidak akan mendatangkan hormat dan respek,
karena mereka sekarang sudah tahu, hutang kita terlalu banyak".
Lalu Sadli menambahkan: "Kerugian-kerugian di Pertamina kita
pandang sebagai uang sekolah yang besar sekali dan pelajaran
yang pahit. Tidak ada gunanya menyalahkan sesuatu pihak, semua
ikut bersalah. Saya sebagai Menteri Pertambangan ikut
bertanggungjawab dan ikut bersalah".
***
PARA pembaca, setelah tentang tentang hutang Pertamina,
ijinkanlah kami menyampaikan berita kecil. Dalam sayembara
menulis novel Dewan Kesenian Jakarta yang diumumkan Sabtu pekan
lalu, ternyata dua rekan TEMPO mendapat hadiah. Putu Wijaya --
yang sudah sering mendapat hadiah penulisan -- berhasil dengan
novelnya, "Setasiun ". Sinansari Ecip, koresponden di Ujung
Pandang, dengan novel "Perjalanan" -- dengan memakai nama
samaran Silia Saraswati. Itu adalah nama puterinya, yang lahir
waktu Ecip menerima hadiah patung Dewi Saraswati sebagai
pemenang Sayembara Penulisan Pariwisata Nasional 1975.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini