UDARA di Jakata mendung di -- pagi 7 Januari itu ketika
Presiden Soeharto berdiri didepan DPR menyampaikan RAPBN 76/77.
Dan seperti sudah diduga sernula angka-angka RAPBN 76/77 yang
diungkapkan kemudian ternyata tidak secerah angka-angka APBN
tahun sebelumnya. Bonanza minyak tahun lalu menyebabkan APBN
75/76 bisa meningkat dengan 73% dari anggaran tahun sebelumnya.
Namun kali ini, sekalipun penerimaan minyak masih tetap besar,
jumlah anggaran hanya naik dengan 29% dari APBN 75/76.
Ketergantungan terhadap bantuan luar negeri ternyata malah
meningkat dibanding anggaran tahun sebelumnya. Bahkan bantuan
luar negeri ini merupakan satu-satunya pos yang mengalami
kenaikan paling menyolok, dengan hampir 3 kali lipat dari
jumlah anggaran tahun sebelumnya. Tadinya unsur bantuan luar
negeri sudah bisa ditekan sampai 90 saja dari seluruh
penerimaan. Kini dengan RAPBN 76177 ini bantuan luar negeri naik
menjadi 20% dari jumlah seluruh penerimaan. Bertambahnya
ketergantungan terhadap kredit luar negeri ini menjadi lebih
mahal lagi bila diingat bahwa kini Indonesia tidak lagi
mempunyai hak sebagai penerima kredit murah. Tapi barangkali
inilah satu satunya jalan keluar di hadapan situasi di mana
keperluan pembiayaan. pembangunan meningkat, sedangkan
penerimaan dari minyak hanya naik dengan 7 dan penerimaan
pos-pos lain tak begitu menggairahkan.
Lesunya perdagangan luar negeri menyebabkan pemerintah kali ini
tak banyak mengharapkan penerimaan dari pajak impor dan bea
masuk. Baik pajak penjualan impor maupun bea masuk angkanya
dapat dikatakan sama dengan angka pada anggaran sebelumnya. Ini
berarti bahwa pemerintah melihat adanya kelesuan di bidang
impor, ataupun kalau ada kenaikan impor, maka komposisinya akan
bergeser ke arah bahan-bahan baku dan barang modal yang
mempunyai tarip bea masuk yang rendah. Impor untuk 76/77
diperkirakan hanya akan naik dengan 2% menjadi US$ 5868 juta.
Pupuk yang biasanya berjumlah sepertiga dari seluruh impor akan
merupakan faktor penting dalam usaha penekanan impor. Untungnya
selama tahun lalu impor pupuk sudah cukup banyak hingga
nampaknya dalam waktu mendatang ini pemerintah tak usah membuat
pesanan baru. Apalagi karena tahun lepan kapasitas produksi
dalam negeri juga akan bertambah. Dengan demikian devisa yang
terpepet ini akan bisa digunakan untuk impor bahan baku dan
barang modal lain yang lebih penting. Di balik seretnya impor
ini adalah ekspor yang tak menggembirakan tahun ini, yang hanya
meningkat dengan 4 dibandingkan kenaikan 81% yang dialami
selarna APBN 74/75. Untuk pertama kalinya selama enam tahun
neraca pembayaran Indonesia mengalami defisit yang akan
berjumlah US$ 285 juta. Ini terjadi sekalipun Bank Indonesia
sudah memperoleh pinjaman tunai dari bank-bank luar negeri
sebesar US$ 1050 juta. Cadangan devisa pemerintah terpakai untuk
melunasi hutang-hutang jangka pendek Pertamina yang menurut
Gubernur Bank Sentral Rach mat Saleh di depan Komisi VII DPR
tempo hari berjumlah US$ 1300 jbta. Pada RAPBN 76/77 ini
berkurangnya resesi di negara industri diharapkan akan sedikit
menaikkan ekspor Indonesia: US$ 528 juta dari minyak dan hanya
US$ 84 juta dari ekspor nonminyak. Dan ekspor yang seret ini
mengakibatkan penurunan pajak ekspor hampir dengan separoh.
Mengeser Prioritas
Mungkin untuk kompensasi berkurangnya kenaikan penerimaan pajak
perseroan minyak, pemerintah pada RAPBN 76/77 ini nampaknya
berusaha akan meningkatkan pajak penerimaan minyak lainnya yang
berupa hasil penjualan hasil-hasil minyak dalam negeri (bensin,
minyak tanah, solar, dsb). Selama ini harga barang-barang
tersebut masih perlu disubsidi, karenanya pos ini menunjukkan
angka yang negatip. Kalau pada APBN tahun ini biaya subsidi ini
diperkirakan akan berjumlah Rp 31 milyar, maka pada RAPBN 76/77,
biaya ini akan berbalik menjadi penerimaan yang diperkirakan
akan berjumlah Rp 17,7 milyar. Karena konsumsi minyak di dalam
negeri tak akan meningkat dengan 157o seperti peningkatan
penerimaan ini, maka kenaikan penerimaan pos ini hanya mungkin
kalau pemerintah menaikkan harga hasil-hasil minyak di dalam
negeri. Dus bisa dipastikan bahwa dalam waktu dekat ini --
biasanya di awal April nanti -- harga bahan bakar di dalam
negeri akan dinaikkan lagi.
Dengan adanya penerimaan yang agak ketat, maka nampaknya
pernerintah terpaksa melakukan pergeseran prioritas dalam
anggaran penerimaannya: sedikit mengorbankan pengeluaran rutin
untuk meningkatkan pengeluaran pembangunan. Dan ternyata
anggaran pembangunan untuk pertama kalinya dalam sejarah akan
lebih besar dari anggaran rutin. Penerimaan rutin kali ini hanya
akan naik dengan 9%, sedangkan pengeluaran pembangunan akan
meningkat dengan 51%. Belanja pegawai hanya akan naik dengan 7%
setahun sebelumnya kenaikannya adalah 43%. Demikian pula
anggaran gaji dan pensiun yang sebelumnya naik dengan 39%, kali
ini hanya akan naik dengan 5%. Tak akan ada kenaikan gaji
pegawai negeri? Ada sih ada, cuma kenaikannya tak bakalan
segede kenaikan yang sudah-sudah. Dan hanya terbatas pada
golongan I saja.
Bagaimana pun pemerintah nampaknya masih bertekad untuk terus
memperbaiki kesejahteraan pegawainya. Usaha pemerintahuntuk
lebih mengeratkan ikat pinggangnya juga nampak pada
sektor-sektor lain: belanja barang di luar negeri akan dikurangi
dengan Rp 3 milyar, subsidi untuk Irian Jaya tak akan bertambah,
demikian pula subsidi kabupaten perkapita tetap Rp 400 per
kapita. Pengorbanan di beberapa sektor pengeluaran rutin memang
tak bisa dielakkan. Harap jangan isap jari. Apalagi karena tahun
ini pemerintah mesti menyisihkan Rp 105 milyar lebih banyak
untuk membayar cicilan hutang luar negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini