Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Beban Pasar Keuangan

TANTANGAN akan menghadang sektor keuangan nasional tahun depan seiring dengan krisis utang di Eropa. Pasar keuangan global yang bergejolak tak menentu, naiknya imbal hasil di pasar surat utang dunia, dan ketatnya perebutan likuiditas valuta asing bisa sampai juga ke Indonesia.

Indonesia tetap punya peluang lolos dari ancaman krisis keuangan global ini. Dengan tingkat pengembalian hasil lebih tinggi dibanding negara lain, investor global masih akan melirik Indonesia. Arus modal asing masih akan membanjiri pasar keuangan kita. Apalagi jika tahun depan Indonesia mendapat predikat layak investasi. Sektor perbankan juga masih aman dengan kondisi modal yang sangat baik.

12 Desember 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Waspada di Kala Banjir Valas

Krisis Eropa tak akan menggoyahkan perbankan domestik. Rezim bunga rendah menuntut efisiensi.


SEBUAH keputusan penting dibuat PT Bank Negara Indonesia Tbk pada September lalu. Jajaran direksi memutuskan tak lagi mengucurkan kredit berdenominasi valuta asing kepada debitor baru. Proporsi kredit valas banding rupiah ditekan dari semula 20 : 80 menjadi 15 : 85.

Yang bisa dilayani pun hanya nasabah lama yang punya rekam jejak bagus. Mereka harus pula mau menerima kenaikan suku bunga kredit valas. "Likuiditas dan permodalan harus dijaga," kata Direktur Utama BNI Gatot Suwondo, yang juga Ketua Himpunan Bank-Bank Milik Negara, dua pekan lalu.

Langkah serupa dilakukan oleh PT Bank Mandiri Tbk. Pertumbuhan kredit valas dibatasi tak boleh lebih dari 10 persen, anjlok dibanding saat ini yang mencapai 23-24 persen. Direktur Keuangan Bank Mandiri Pahala Mansury mengatakan pengetatan likuiditas valas merupakan dampak langsung dari krisis utang di Eropa dan Amerika Serikat.

Episentrum krisis memang nun jauh di sana, tapi guncangannya terasa hingga negeri ini. Krisis utang pemerintah sejumlah negara memicu penarikan dana oleh bank-bank di Eropa yang dikucurkan ke perbankan dan korporasi nasional. Ini terjadi sejak Agustus lalu dan diprediksi berlanjut hingga akhir 2012.

Ekonom Standard Chartered Bank, Fauzi Ichsan, mengatakan kawasan Asia, termasuk Indonesia, masih bergantung pada Eropa. Sebab, 40 persen perbankan Asia memenuhi kebutuhan valasnya dari Eropa. Itu sebabnya, ancaman terulangnya krisis 2009 patut diwaspadai. Ketika itu valuta asing kering, diikuti oleh kenaikan tajam suku bunga valas. Ujung-ujungnya, investasi turun tajam.

Meski begitu, Fauzi melihat prospek perbankan nasional tahun depan masih cukup cerah. Ini dilandasi oleh pencapaian kinerja pada tahun ini yang cukup oke. Rasio kecukupan modal perbankan nasional mencapai 16,7 persen-jauh di atas ambang minimum 8 persen, kredit tumbuh 25 persen, dan non-performing loan alias kredit seret hanya 2,7 persen.

Dari sisi likuiditas, kondisi perbankan pun relatif aman. Suku bunga pasar uang antarbank di kisaran 5 persen, yang berarti masih di bawah BI Rate saat ini: 6 persen. Rasio kredit terhadap simpanan dana nasabah atau loan-to-deposit ratio juga cukup tinggi, yaitu 80-90 persen.

Menyangkut soal ancaman krisis terhadap pembiayaan ekspor yang datang dari negara-negara Eropa, Deputi Gubernur Bank Indonesia Halim Alamsyah mengatakan hal itu tidak terlampau mengkhawatirkan. Posisi utang swasta domestik ke benua itu yang mencapai US$ 21,5 miliar per September, sebesar US$ 13,5 miliar di antaranya berasal dari perbankan Belanda, yang relatif aman dari krisis euro.

Indikator lain untuk mengukur likuiditas valas adalah dari devisa neto. Secara teori, devisa neto tidak boleh lebih dari 20 persen modal bank. "Sekarang rasio posisi devisa neto hanya 2,7 persen dari modal bank," kata Direktur Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter BI Perry Warjiyo. Itu artinya likuiditas valas masih aman.

Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Benny Sutrisno berharap stok valas tak sampai habis. Indonesia masih kekurangan barang modal sehingga harus banyak impor. Sayangnya, banyak dari valuta asing yang ada adalah uang panas. Kalau duit jangka pendek itu ditarik keluar, tentu akan runyam. "Rupiah bisa gonjang-ganjing terus," ujarnya. Lihat saja efek Yunani, yang sempat melemahkan rupiah dari 8.400-an menjadi 9.000 per dolar Amerika pada September lalu.

Angin segar diharapkan berembus tahun depan, saat Indonesia dikukuhkan masuk jajaran negara-negara layak investasi (investment grade). Menurut Fauzi, semakin aman tingkat investasi otomatis akan mengundang tawaran pembiayaan dari luar negeri kian deras. Dana yang ditawarkan pun sudah pasti lebih murah.

Hanya, para pebisnis domestik harus tetap waspada terhadap kemungkinan arus dana yang masuk itu sebatas nyangkut di portofolio jangka pendek, seperti saham, Sertifikat Bank Indonesia, dan obligasi. "Kalau itu terjadi, RI bisa bubble dalam 2-3 tahun lagi," kata Fauzi.

Untuk mengantisipasi risiko itu, Gubernur BI Darmin Nasution mengatakan bank sentral melakukan beberapa langkah strategis. Salah satunya berupa penjaringan investor spekulatif, yakni dengan melakukan operation twist di pasar valas dan obligasi negara.

Mekanismenya, ketika terjadi gejolak, BI menjual valas dan menarik rupiah, lantas dana itu digunakan untuk membeli Surat Utang Negara (SUN). Jurus itu ampuh melokalisasi para spekulan. Terbukti tak ada gejolak di pasar obligasi negara. Imbal hasil SUN bertenor 10 tahun tetap di level 6-7 persen.

Selain itu, aturan repatriasi devisa hasil ekspor bakal efektif dijalankan mulai Januari tahun depan. Ini untuk menjamin ketersediaan valuta asing di dalam negeri. Dengan adanya potensi devisa masuk ke perbankan hingga US$ 32,2 miliar, cadangan devisa yang kini masih US$ 111,3 miliar akan semakin aman.

Jurus terakhir adalah menurunkan BI Rate ke level 6 persen, yang merupakan level terendah sejak instrumen ini diluncurkan enam tahun lalu. Dengan bunga rendah dan credit rating yang kinclong, diharapkan kualitas arus modal masuk lebih produktif dan berjangka panjang.

Pahala menyambut baik kebijakan repatriasi modal. Beleid yang mewajibkan transaksi ekspor tercatat di bank nasional itu dinilai bisa menjaga likuiditas valas perbankan. Meski begitu, bank sentral diminta menurunkan lagi ambang batas giro wajib minimum (GWM) valas. GWM valas saat ini yang sebesar 8 persen dianggap terlalu mencekik. 6


Berkah Naik Peringkat

KRISIS di Eropa dan Amerika Serikat tak membuat Direktur Utama PT Bursa Efek Indonesia Ito Warsito pesimistis. "Cerah," katanya ketika ditanya ihwal prospek pasar modal tahun depan. Alasannya, fundamental keuangan para emiten di bursa Jakarta terbilang kuat dan ditunjang kinerja makroekonomi yang sangat baik.

Bursa Jakarta memang tak imun terhadap wabah krisis yang mulai dirasakan sejak Agustus lalu. Indeks harga saham gabungan sempat merosot ke level 3.200, terendah sepanjang tahun. Namun investor berangsur masuk lagi ke lantai bursa. Indeks pun kembali menanjak ke posisi 3.700-an saat ini.

"Tahun depan indeks akan tumbuh 10 persen ke 4.000-4.200," kata Reza Nugraha, analis MNC Securities. Saham sektor infrastruktur, perbankan, dan konsumsi bakal jadi primadona.

Ekonom Institute for Development of Economic and Finance, Aviliani, mengatakan para pengelola dana dari Eropa dan Amerika mengincar lahan investasi baru di Asia. Pasar Indonesia, yang terbesar keempat di dunia, juga menjadi daya tarik. Apalagi pertumbuhan ekonomi nasional cukup tinggi.

Faktor penting lainnya: Indonesia segera naik ke level layak investasi. Standard & Poor's telah memberikan rating BB+ dan Moody's memberikan rating Ba1, yang berarti selangkah lagi menuju investment grade (BBB-). Japan Credit Rating Agency bahkan telah memberikan rating itu sejak Juli tahun lalu.

"Paling lambat kuartal pertama tahun depan rating kita akan membaik," kata Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution. Dengan peringkat layak investasi itu, niscaya modal akan mengalir makin deras.

Di tengah banjir dana asing itu, pasar obligasi dan saham tampaknya masih akan menjadi tujuan utama. Pelaku ekonomi dalam negeri dan pemerintah tentu harus bersiap. Jika banjir dana ini tak dapat diserap atau dimanfaatkan optimal, mubazir jadinya.

Menurut Aviliani, tantangan bagi pemerintah adalah bagaimana mengarahkan capital inflow ke sektor riil. Pemerintah bisa mulai menawarkan obligasi infrastruktur.


Dana Asing di Indonesia (Triliun)
 200920102011
Saham (net buy)13,82718,5 (Oktober)
Penanaman modal langsung102145,8126,6 (September)
Obligasi negara106,3195,75219,8 (Oktober)
Sertifikat BI44,154,9339,9 (Oktober)

Sumber: BI, BKPM, dmo.or.id

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus