Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bebas, Bukan tanpa Beban

Para bocah korban penculikan mengalami trauma. Tak hanya dialami orang berduit. Paranormal ramai turun tangan.

27 Agustus 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAYANG-bayang tiga pria bertubuh kekar yang jauh dari sikap bersahabat belum lenyap dari kepala Erizka Rafitasari. Ancaman mereka akan membunuhnya selalu terngiang-ngiang di telinga gadis 16 tahun itu. Ingatan terhadap ancaman itu selalu membuat ia menggigil.

Erizka adalah korban penculikan. Pengalaman yang tak bakal ia lupakan seumur hidup itu terjadi dua hari menjelang hari ulang tahun Proklamasi, dua pekan lalu. Saat itu ia dalam perjalanan pulang sekolah, naik taksi dari Jalan Setiabudi II menuju rumahnya di Jalan Rasamala Raya, Pancoran, Jakarta Selatan—berjarak sekitar sepuluh kilometer.

Tak ada tanda-tanda mencurigakan ketika taksi meluncur ke Pancoran. Tapi, menjelang Rasamala Raya, tiba-tiba sang sopir tancap gas. Mobil melesat, dan pengemudi taksi itu tak menggubris teriakan Eriz yang minta turun. ”Kamu saya culik,” Sutrisno, pengemudi taksi itu, menyergah.

Sekitar 300 meter setelah melewati Jalan Rasamala Raya, tiba-tiba muncul dua orang dari belakang. Ternyata keduanya—belakangan diketahui bernama Endi dan Ali—selama itu menyuruk di bagasi. Sang penculik lantas menelepon orangtua Eriz, minta tebusan Rp 50 juta. ”Kami segera mencari uang ke sana-kemari,” kata Nyonya Amir Ahmadi, ibu Eriz.

Ketika uang sudah terkumpul, muncul masalah lain: bagaimana uang itu akan diserahkan? Negosiasi pun terjadi. Akhirnya disepakati, penyerahan uang tebusan dilakukan di kawasan Taman Mini Indonesia Indah. Amir, ayah Eriz, langsung meluncur ke Taman Mini. Ia tak sendirian, tapi diikuti polisi.

Ternyata penculik mencium kedatangan polisi itu. Erizka tak jadi dilepaskan, uang tebusan utuh. Amir dan istrinya panik. Tapi, tiga jam kemudian, tanpa diduga, Eriz muncul naik ojek. Mereka mendapati Eriz dalam keadaan syok. Seperti sang anak, sampai kini Amir dan istrinya masih waswas jika sang penculik muncul lagi.

Penculikan juga pernah dialami Vincent, 13 tahun, siswa kelas I SMP Tarakanita Serpong, Tangerang, Banten. Pada 24 Juli lalu, ketika berangkat untuk les dari rumahnya di kompleks Summarecon, Gading Serpong, Tangerang, tiga pria menyergapnya. Ia lalu dibawa naik mobil, berputar-putar Jakarta.

Sang penculik meminta tebusan kepada orangtua Vincent, yang lantas mentransfer uang sampai dua kali, masing-masing Rp 5 juta dan Rp 3 juta, ke sebuah rekening atas nama Zulkarnaen di Bank BCA. Sembilan jam kemudian Vincent dilepas sang penculik. Peristiwa penculikan Vincent ini juga membuat geger kompleks Summarecon, karena selama ini kompleks perumahan itu ketat penjagaannya.

Peristiwa penculikan itu tampaknya sangat membekas pada Vincent. Bocah yang selama ini periang itu kini berubah jadi pendiam, di rumah maupun di sekolah. ”Kalau diajak bersenang-senang, ia sulit tertawa,” kata Alvaria, teman sekelas Vincent. Vina, ibu Vincent, mengakui anaknya memang berubah. ”Dia menjadi takut jika bertemu orang tak dikenal,” kata Vina.

Menurut cerita Vina, para penculik mengawali aksinya dengan membentak Vincent dan menyatakan ayahnya pelaku tabrak lari. Mereka juga mengancam akan membunuh Vincent jika orangtuanya tidak membayar uang tebusan Rp 25 juta.

Penculikan Vincent kini berdampak pula kepada sekolahnya. SMP Tarakanita, Serpong, menerapkan aturan ketat untuk mencegah terjadinya penculikan terhadap murid sekolah itu. ”Sekarang, sebelum penjemput datang, siswa tak boleh keluar halaman sekolah,” ujar Rohmani, karyawan bagian keamanan SMP Tarakanita.

Kasus penculikan tak cuma dialami oleh anak-anak orang berduit. Anak yang biasa berkeliaran di sejumlah stasiun kereta api atau terminal bus di Jakarta juga tak sedikit mengalami naib serupa. Simaklah cerita Fitriani Pujiastuti. Bocah empat tahun ini menjadi korban penculikan Ryan, 21 tahun, gelandangan yang selama ini berkeliaran di sejumlah stasiun kereta api di Jakarta.

Pada 20 Juli lalu, setelah ”memperoleh” Fitri, Ryan membawa gadis itu ke Indramayu. Di sana Fitri akan ”dilepas” dengan harga murah, Rp 400 ribu. Eh, belum lagi gadis itu berpindah tangan, aksi Ryan keburu dicium aparat. Bedebah itu diringkus.

Kini Fitri seperti emoh lepas dari gendongan Nining, ibunya yang bisu. Nining, yang sehari-hari bersama suaminya, Gunawan, mencari nafkah dengan mengumpulkan barang bekas, kini harus ke sana-kemari menggendong Fitri. Gunawan sendiri heran, bagaimana mungkin Ryan yang sudah dianggap keluarganya tega menculik Fitri. ”Padahal, dulu, makan dan rokok saja dia sering minta saya,” kata Gunawan.

Para orangtua yang anaknya diculik mengaku melakukan berbagai cara agar sang anak lekas kembali. Dari meminta bantuan tetangga, mengontak polisi, menyebarkan foto anak, melemparkan pengumuman di Internet, sampai minta pertolongan dukun. Ada pula paranomal yang mengaku langsung turun tangan tanpa diminta ketika mendengar berita penculikan.

Salah satunya adalah Bambang Pari Kesit, paranormal yang mengaku berasal dari Gunung Lawu, Jawa Timur. Ia mengaku ikut membantu Raisah. ”Saya kirim doa kebebasan untuk bocah lima tahun itu,” kata Bambang, yang pernah diminta jasanya mencari pesawat Adam Air yang hilang di sekitar perairan Sulawesi, beberapa bulan lalu. ”Gak suwe maneh mulih (tak lama lagi pulang). Wis padang dalane (sudah terang jalannya),” kata Bambang kepada majalah ini, beberapa hari setelah Raisah diculik.

Untuk memulangkan Raisah, Ali Said memang telah mengerahkan segala kemampuan dan jaringannya. Seperangkat perekam telepon, misalnya, disiapkan di kediamannya yang juga menjadi ”posko peduli Raisah” di kawasan Jalan Ampera. Selama tiga hari sejak Raisah diculik, terekam 32 penelepon, 12 di antaranya mengaku dukun dan sisanya penelepon yang memberi ”informasi.” Telepon dari penculik hanya masuk sekali, meminta tebusan Rp 50 juta.

Telepon inilah yang lalu dihubungkan ke Ali Said. Di sana, sang penculik ternyata menaikkan nilai tebusannya menjadi Rp 700 juta. Belum lagi dijawab, si penelepon menaikkan lagi tebusannya menjadi Rp 1 miliar. ”Dari mana dapat duit sebanyak itu?” kata Awod Said, paman Raisah.

Raisah, Eriz, Vincent, dan Fitri kini telah kembali di tengah keluarga masing-masing. Para orangtua memetik hikmah dari ini semua: pengawasan terhadap keselamatan anak harus diperketat. Kini mereka berusaha menumbuhkan kembali kepercayaan anak dan menghilangkan trauma, agar sang buah hati dapat menjalani kehidupannya kembali dengan normal.

Elik Susanto, Ati Ekawati, Bayu Galih, Ignatius Widi Nugroho, Joniansyah (Tangerang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus