Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ALI Said tertunduk lesu. Kamis malam pekan lalu itu, ia pulang dengan tangan hampa, setelah hampir empat jam mengikuti ”operasi perburuan” polisi di kawasan Jatibening, Jakarta Timur. Putrinya tak jelas di mana. Wajah pengusaha ini terlihat lelah dan kusut. Tanpa menyapa siapa pun, dia langsung masuk rumah. Padahal, saat Ali berangkat bersama empat polisi yang menjemputnya sebelum magrib, senyumnya sudah mulai mengembang.
Sore itu memang sempat ada kabar penculik akan melepaskan Raisah. Kabar itu jugalah yang membuat hati Nizmah, istri Ali Said, berbunga-bunga. ”Saya yakin anak saya akan kembali. Dia pasti baik-baik saja,” kata perempuan ayu ini. Dia bahkan sempat mencium pipi seorang kerabatnya begitu mendengar kabar itu. Tapi harapan yang terbangun sejak sore itu terempas ketika Ali pulang. Nizmah, yang pamit menidurkan putra keduanya, Risyad, 1 tahun, tak tampak lagi keluar rumah.
Meski kecemasan terasa menggayuti keluarga itu, ada satu-dua yang melihat harapan. Yasser Arafat, kerabat keluarga yang malam itu ikut ”memburu” si penculik bersama Ali dan polisi, salah satunya. Meski pulang dengan tangan hampa, dia meyakinkan Tempo bahwa jejak si penculik sudah terlacak. ”Saya lihat sendiri polisi pakai alat pemantau sinyal telepon yang canggih,” bisiknya. Menurut Yasser, Ali semula hendak mengikuti polisi sampai penculik anaknya tertangkap. Namun rencana itu buyar karena ada panggilan mendadak dari Istana Negara.
Pukul 21.00 hari itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memang berencana menggelar konferensi pers soal penculikan Raisah. Ali dan Nizmah diminta mendampinginya. Belum lagi Ali berangkat ke Istana, telepon rumah kembali berdering. Pertemuan dengan Presiden batal. Rupanya, Istana khawatir keluarga Ali tak bisa sampai ke sana tepat waktu. ”Dari sini ke Istana kan macet,” kata Awod Said, kakak Ali, yang berperan menjadi juru bicara keluarga.
Sekitar pukul 21.30, Ali menggelar rapat keluarga di ruang tengah bersama saudara dan kerabatnya. Mereka berdiskusi soal perkembangan penyelidikan polisi, juga informasi baru soal keberadaan Raisah. Selama Raisah lenyap, rapat seperti ini diadakan setiap malam. ”Kemarin kami berkumpul sampai jam tiga subuh,” kata Yasser sambil tak putus-putus mengisap rokok. Kantong matanya terlihat membesar karena kurang tidur.
Menjelang tengah malam, rumah bercat jingga di kompleks TNI Angkatan Udara, Jatiwaringin, Jakarta Timur, itu masih ”meriah”. Beberapa pria mondar-mandir di halaman depan, sibuk berbicara lewat telepon seluler. Satu regu polisi berpakaian preman tampak berjaga di teras rumah. Di luar pagar, belasan wartawan, dari media cetak dan elektronik, setia menunggu kabar.
Kamis malam pekan lalu itu adalah hari kedelapan penculikan Raisah Ali, putri sang empunya rumah, Ali Said. Saat itu masih belum jelas kapan gadis cilik berusia 5 tahun tersebut bakal kembali ke pelukan orang tuanya. Dan, tak ada yang mengira, itulah malam terakhir penantian keluarga Said.
”Setiap ada info baru, kami selalu memeriksa ke lapangan,” kata kerabat Ali yang lain seusai rapat malam itu. Tidak selalu mereka turun sendiri. Ali sering meminta keluarga besarnya yang tersebar di berbagai kota untuk ikut memeriksa akurasi informasi soal Raisah. ”Kemarin, kami minta tolong keluarga di Depok. Ada kabar Raisah sempat terlihat di dekat Kelapa Dua,” ujarnya. Baru setelah diperiksa dan ternyata akurat, informasi itu diteruskan kepada polisi.
Menurut Yasser, ia mendapat tugas berkeliling menemui tokoh-tokoh kriminal di Jakarta. ”Dari geng Lampung sampai kelompok Hercules saya temui,” katanya, pelan. Keluarga, kata Yasser, ingin memastikan motif komplotan penculik. Dari penelusuran itulah mereka yakin pelaku bukan penjahat kambuhan atau penculik berpengalaman.
Selain membantu melacak si penculik, keluarga besar Said dan Thalib menyokong orang tua Raisah secara psikologis. ”Hari-hari pertama, ketika belum banyak keluarga datang dan menginap di sini, Ali tampak gugup dan panik,” kata kakaknya, Awod. Menjelang tidur, apalagi ketika melihat kamar putrinya yang kosong, Nizmah pun sering menangis.
Menjelang tengah malam, rapat keluarga baru berakhir. Ali lalu menemui para koleganya, sesama pengusaha dari Himpunan Pengusaha Muda Indonesia, yang datang memberikan dukungan. Mereka duduk lesehan di teras rumah, beralaskan karpet yang digelar khusus untuk tetamu. Sepanjang pertemuan, telepon seluler tak pernah lepas dari genggaman Ali.
Benar saja, tak lama kemudian, telepon Ali berbunyi. Sekitar lima menit, dia tampak berbicara serius dengan si penelepon. Setelah itu, bersama Yasser, dia melesat meninggalkan rumah. ”Ada panggilan dari polisi,” bisik Yasser. ”Mudah-mudahan kali ini ada kabar gembira.” Enam jam kemudian, Jumat pagi pekan lalu, kabar gembira itu akhirnya datang juga. Polisi berhasil merampas Raisah dari tangan penculiknya. Malam-malam panjang penuh penantian itu pun berakhir sudah.
Wahyu Dhyatmika dan TNR
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo