Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Simbol Identitas Lokal

Aturan syariah di Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, bermula karena kepentingan politik. Pelaksanaannya tak lagi ketat.

29 Agustus 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KENANGAN pahit melekat di benak Zulkarnaen Zainun ketika mengingat pengalamannya pada akhir 2009. Ketika itu, meski menang mutlak dalam pemilihan Kepala Desa Soro, Kecamatan Kempo, Kabupaten Dompu, ia tak kunjung dilantik. Pasalnya, ia terbentur syarat kemampuan membaca Al-Quran yang disahkan oleh surat keterangan dari Kantor Urusan Agama. "Saya hanya melampirkan keterangan bermeterai," ujar pria 44 tahun itu.

Adalah Peraturan Daerah Kabupaten Dompu Nomor 11 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pemilihan Kepala Desa yang memuat kewajiban tersebut. Disebutkan calon kepala desa dan keluarganya harus bisa membaca Al-Quran yang dibuktikan dengan surat KUA itu. Nah, pembuktian itu membuat Zulkarnaen gagal. Padadahal ia fasih membaca Al-­Quran. "Aturan itu menambah repot," katanya. "Tapi harus ditaati."

Kabupaten Dompu memiliki beberapa aturan lainnya yang kontroversial dan berbau syariah. Misalnya, surat keputusan kepala daerah yang mewajibkan setiap tamu bupati harus bisa membaca Al-Quran.

Kewajiban bisa membaca Al-­Quran juga dikenakan kepada calon pegawai negeri yang akan diangkat dan naik pangkat. Juga pelajar yang akan mengambil ijazah dan melanjutkan pendidikan ke tingkat lebih tinggi, seperti sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas. Juga kewajiban zakat yang dipotong langsung dari gaji.

Peraturan kontroversial itu hampir semuanya dikeluarkan pada masa kepemimpinan Abubakar Ahmad, bupati periode 2000-2005 dan 2005-2007. Menurut aktivis Lensa Nusa Tenggara Barat, Akhdiansyah, aturan-aturan tersebut dikeluarkan berkaitan dengan kepentingan kekuasaan ketika itu. "Awalnya aturan itu dibuat tidak dalam konteks religius," ujar Akhdiansyah.

Abubakar adalah bekas pegawai Dinas Perhubungan DKI Jakarta. Pada 2000, ia dipinang tokoh-tokoh lokal untuk jadi bupati. Ketika itu, arus besar menginginkan kepala daerah Dompu tidak lagi berasal dari kesultanan. "Di Dompu, kelompok-kelompok Islam ideologis masih kuat," ujar Akhdiansyah. Abubakar berhasil memenangi pemilihan bupati.

Aturan berbau syariah itu bahkan menjadikan Abubakar lebih populer dan memenangi pemilihan bupati kedua kalinya pada 2005. Ironisnya, Abubakar, yang menjadi pelopor aturan syariah di Dompu, terbukti melakukan korupsi pada 2006. Ia dihukum penjara dua tahun karena menggangsir kas daerah.

Abubakar juga didukung hampir semua kalangan di kabupaten berpenduduk 220 ribu jiwa itu. "Identitas kami adalah Islam. Jadi negara harus menghormati keberadaan jati diri itu," kata anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari Partai Persatuan Pembangunan, Sirajudin.

Sejarah Islam yang kuat merupakan salah satu alasan lainnya. Keislaman Dompu ditandai Sultan Syamsudin, yang menganut Islam pada 1545. Identitas itu bahkan dituangkan dalam lambang kabupaten, yang mengadopsi gambar kubah masjid. "Aturan-aturan itu untuk melestarikan ajaran Islam sebagai warisan nenek moyang," kata Bupati Dompu Bambang Yasin.

Warga yang berkeberatan akan aturan syariah itu biasanya diam, seperti Zulkarnaen. Mereka tidak ingin memprotes karena terkait karier sebagai pegawai negeri. "Kalau memprotes, dampaknya pada penempatan sebagai pegawai," ujar Akhdiansyah, yang mengaku mendapat banyak keluhan dari pegawai negeri sipil di Dompu.

Kekhawatiran yang sama disuarakan kelompok nasionalis. Sekretaris Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Dompu, Taha, menilai aturan syariah itu diskriminatif karena menutup peluang bagi warga nonmuslim. Usul PDI Perjuangan untuk meninjau ulang aturan-aturan itu tak mendapat tanggapan.

Sejatinya penerapan aturan syariah di Dompu sudah mulai luntur. Banyak pegawai negeri perempuan yang membuka jilbab setelah keluar kantor. "Kesannya lebih takut kepada pemimpin ketimbang kepada Tuhan," ujar Taha. Dan Tempo, yang menemui Bupati Bambang, juga tidak diwajibkan membaca Al-Quran.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus