Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Becak, Becak, Makin Banyak

Masih diberi hak hidup karena belum dapat memberi lapangan pekerjaan baru. beca di daftar ulang dan membayar pajak becak. pembuat becak masih mendapat pesanan.

29 Maret 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BECAK comeback di Jakarta, aturan daerah bebas becak yang mengharamkan kendaraan itu memasukinya di luar pukul 6 pagi hingga 10 malam, didiamkan para abang becak begitu saja. Mungkin ini tanda zaman "pemerataan". Daerah-daerah yang selama ini sudah sepi dari kendaraan roda tiga itu, seperti Manggarai (Jakarta Selatan) dan Jatinegara (Jakarta Timur), atau juga Cempaka Putih (Jakarta Pusat), secara hampir tak disadari akhir-akhir ini kembali dirajai para abang becak -- meskipun dengan sedikit sembunyi-sembunyi. "Kan sekarang jarang ada razia," tutur seorang abang becak di Jalan Halimun, Manggarai. Tentu saja hal itu dibantah oleh DLLAJR DKI dan Kodak Metro Jaya. "Usaha mati-matian polisi untuk menertibkan becak tetap ada," kata Letkol Poeloeng, Dansatlantas Kodak Metro Jaya, "kami melakukan razia minimal 7 kali sebulan." Buktinya, tambah Poeloeng, dari April hingga akhir 1979 lalu, sebanyak 10.212 lebih becak diangkut ke Kodak Metro Jaya karena melakukan pelanggaran. Tapi tak lupa ditambahkannya, dari jumlah itu, 10.121 buah dilepaskan lagi setelah membayar tilang, antara Rp 2.500 sampai Rp 3.000 setiap becak. Jadi, apa sebenarnya yang terjadi? Becak yang dalam rencana Pemda DKI harus sudah hapus di akhir Pelita II, ternyata sekarang makin berkembang biak. Pembuat becak di Roxy, dan Jembatan Lima, keduanya di Jakarta Barat, mau pun di Bungur, Jakarta Pusat, memperkuat hal itu. "Meskipun Bang Ali pernah melarang membuat becak baru, tapi kalau ada pesanan, saya buat juga," kata pembuat becak di Jembatan Lima. Ia tak bersedia mengungkapkan berapa jumlah pesanan rata-rata ia terima tiap bulan. Tapi pembuat di Bungur mengaku, "selalu saja ada pesanan." Niat Pemda DKI untuk menghapuskan becak rupanya memang mengendur. Sebab, kata B. Harahap, Humas Pemda DKI, "becak masih dirasa perlu dan sangat dibutuhkan." Dan karena itu, tambah Suyono, staf Harahap, Gubernur Tjokropranolo pernah mengatakan bahwa "becak masih diberi hak hidup di Jakarta." Alasannya, sampai sekarang Pemda DKI belum dapat memberi pekerjaan lain kepada tukang-tukang becak. Sebelum ada ketentuan daerah bebas becak (DBB), di Jakarta diperkirakan ada 150.000 becak. Dari jumlah itu kurang dari 6.000 buah yang terdaftar. Waktu itu tiap becak yang terdaftar diberi surat tanda nomor kendaraan dan tanda telah membayar pajak. Tapi setelah DBB berlaku pada 1971, jumlah becak merosot menjadi sekitar 80.000, liar maupun terdaftar. Penyusutan jumlah itu selain karena banyak yang di "ekspor" ke luar Jakarta, juga karena terjaring razia. Waktu itu setiap becak yang tak memiliki surat tanda nomor kendaraan dan tanda bayar pajak, langsung dimusnahkan di kuburan becak Jalan Pemuda. Hanya pemilik becak yang dapat menunjukkan kedua jenis surat tadi, diperkenankan menebus kendaraannya kembali. Tapi SK Gubernur DKI yang dikeluarkan awal 1979 mengharuskan semua becak didaftar ulang. Dalam ketentuan ini memang disebut tentang kewajiban membayar pajak, tapi tak dicantumkan keharusan memiliki surat tanda nomor kendaraan. Dan dalam razia-razia, setelah ada SK tadi, seorang pemilik becak dapat membebaskan kendaraannya hanya dengan menunjukkan tanda membayar pajak. Pajak becak hanya Rp 200 setahun. Ditambah nomor plat Rp 100, untuk registrasi Rp 2.500, retribusi Rp 50 dan formulir Rp 10, maka jumlah beban sebuah becak dalam setahun Rp 2.860. Dan karena tak ada keharusan memiliki Surat tanda nomor kendaraan, satu lembar surat pajak sering digunakan pemilik becak untuk beberapa buah kendaraan. Sebab itu jumlah becak akhir-akhir ini membengkak dengan hebat. Pihak kepolisian Kodak Metro Jaya memperkirakan di Jakarta sekarang terdapat lebih dari 200.000 buah becak, di antaranya hanya sekitar 30.000 buah yang resmi dan setengah resmi (pernah membayar pajak, tapi tidak lagi pada tahun-tahun berikutnya). Dan jumlah ini tampaknya akan menggelembung terus. Karena selain jumlah bangkai becak di Jalan Pemuda itu tak pernah bertambah lagi, juga kendaraan itu masih terus dibuat. Melihat keadaan itu, mudah dipahami jika daerah becak makin sempit (lalu menerjang DBB) meskipun DLLAJR dan pihak kepolisian merazia terus tanda bahwa suatu ketika akan diperlukan kejelasan: boleh atau tidak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus