MINAT orang asing untuk menetap dan menghabiskan hari tua di
Bali semakin bertambah. Tanah dibeli atau disewa dari penduduk
dan mereka pun mendirikan puri atau rumah-rumah biasa. Terutama
di Ubud, Sanur dan Kuta. Sehingga sejak beberapa waktu lalu
beberapa orang camat menghimbau penduduk agar tidak menjual atau
menyewakan tanahnya kepada orang yang bukan warganegara
Indonesia. Karena khawatir, jangan-jangan pada suatu saat kelak
orang Bali sendiri kehabisan tanah.
Orang-orang asing menurut undang-undang tidak diperkenankan
membeli atau menyewa tanah di negara ini. "Kecuali memiliki izin
tinggal," kata seorang pejabat Agraria Provinsi Bali. Dan untuk
memenuhi syarat itu berbagai cara ditempuh. Misalnya dengan
menikahi wanita atau pria Indonesia, atau hanya dengan sekedar
meminjam nama seorang pribumi. Tanah seluas 1 ha milik Cokorda
Agung, pemilik Puri Ubud, misalnya beberapa tahun lalu dijualnya
kepada seorang Belanda yang mengatasnamakan seseorang dari
Bandung.
Kepala Kantor Agraria Kabupaten Gianyar, Ida Bagus Sudibya
membenarkan adanya orang-orang asing di balik jual beli atau
sewa menyewa tanah serupa itu. Tapi ia tak bersedia memberi
perincian jumlahnya.
Menyewa tanah adalah cara yang paling banyak ditempuh
orang-orang asing itu. Saat ini pasaran sekitar Rp 1 juta untuk
tiap hektar tanah setahun. Seorang di antara penyewa itu adalah
Nyonya Louise, seorang wanita Amerika Serikat.
Nyonya itu begitu tertarik pada keindahan Bali. Sehingga pada
1973 ia memutuskan untuk menetap sambil memilih bercerai dari
suaminya. Untuk dapat mengontrak tanah ia melamar Nyoman Oka,
seorang pemandu wisata yang sudah dikenalnya, sebagai suami.
Nyoman menolak. Tapi ketika sang nyonya bertemu dengan Djodi
Setiawan, seorang pengusaha di Jakarta, lakilaki ini bersedia
meminjamkan namanya untuk urusan kontrak tanah itu. Syaratnya:
ia akan dijodohkan dengan seorang putri Louise yang waktu itu
masih ada di AS.
Djodi lantas mengadakan perjanjian mengontrak tanah dengan I
Wayan Munut, seorang pelukis yang bertindak atasnamakan para
pemilik tanah di Banjar Penestanan Klod, Desa Kedewatan, Ubud.
Dengan luas hampir 1 ha, tanah itu disewa Rp 800.000 untuk
jangka waktu 25 tahun (1973 - 1997). Tahun itu juga berdiri Puri
Maerakaca yang memiliki 18 kamar dan 7 bungalow.
Tapi akhir Februari lalu Nyonya Louise (56 tahun) yang kini
menjadi Nyonya Subur Rahardja, seorang guru silat terkenal di
Bogor, memasang iklan di Harian Asian Wall Street Journal yang
terbit di Hongkong. Puri Maerakaca hendak dijual dengan harga
US$435 ribu, atau Rp 270 juta lebih. Mengapa? "Jarang kami
pakai," jawab Subur Rahardja pada TEMPO di Bogor, "apalagi
karena pemeliharaannya rata-rata Rp 300 ribu tiap bulan."
Puri yang dilengkapi bale gede (pentas) untuk 100 penonton itu
selama ini memang lebih banyak sepi, karena tidak disewakan
untuk umum. "Paling-paling hanya kenalan pemiliknya," tutur
Alimin, pengelolanya.
Mendengar puri itu akan dijual, Wayan Munut repot. "Sebab kalau
jadi dijual, pembelinya bakal repot," katanya kepada TEMPO di
Bali. Djodi Setiawan yang ternyata urung jadi menantu Nyonya
Louise, ketika dihubungi Munut soal rencana penjualan puri itu,
tampaknya tak begitu peduli. "Terserah anda mengurusnya," jawab
Djodi seperti dikutip Wayan Munut. Nyonya Louise sendiri ketika
dihubungi tak bersedia menjelaskan apakah puri itu akan dijual
berikut tanahnya. Yang pasti, "antara saya dengan Djodi tak ada
konflik apa-apa," katanya. Ia juga tak bersedia mengungkapkan,
mengapa Djodi urung jadi menantunya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini