UPACARA di Gereja Sentrum Manado tiba-tiba kacau. Para jamaah
yang sudah bersiap-siap hendak mengikuti pembacaan doa untuk
jenasah seorang pengikut Evangelis yang sudah terbaring di depan
altar, mendadak menghambur ke luar. Di halaman gereja ini, doa
tiba-tiba berubah "Oh, Tuhan tolonglah kami, selamatkan kami
dari gempa ini." Begitu gempa berhenti, mereka kembali masuk ke
rumah Tuhan itu.
Kejadian itu adalah salah satu kepanikan warga Manado selama
kota itu digoyang gempa beberapa hari berturut-turut. Stasiun
Meteorologi dan Geofisika Manado mencatat gempa itu terjadi
pertama kali 22 Februari hingga 10 Maret -- rata-rata 37 kali
dalam sehari -- dan sampai pekan lalu masih terasa
getaran-getaran kecil. Semua berlangsung secara beruntun, bahkan
pada 28 Februari terjadi sebanyak 113 kali. "Andaikata semua
gempa itu terasa, barangkali semua penduduk Kota Manado sudah
jadi gila," komentar seorang pejabat Kodya Manado.
Gempa paling kuat memang hanya 5,5 pada skala Richter, terjadi
siang hari 22 Februari lalu. Kepala Stasiun Meteorologi &
Geofisika Manado, Yus Sutiyanto, memperkirakan episentrum gempa
itu berada sekitar 25 km barat laut Kota Manado, dengan
hiposentrum kurang dari 30 km di bawah permukaan laut. Gempa
dengan kekuatan serupa pernah terjadi pada 1950 di kota ini.
(lihat box).
Kerusakan-kerusakan berarti memang tidak terlihat, kecuali
gedung PN Garam yang satu bagian bangunannya sebelah atas
ambrol. Selebihnya, seperti gedung Stasiun TVRI Manado, gedung
Telekom, beberapa bagian dindingnya retak. Tapi kepanikan warga
kota tampaknya lebih hebat dibanding guncangan yang terasa.
Lebih-lebih ketika dua hari sejak gempa berlangsung tersebar
kabar angin bahwa 1 hingga 10 Maret gempa dahsyat akan
menyerang. Bersamaan dengan itu gelombang pasang air laut
setinggi 15 meter akan menenggelamkan kota yang terletak di tepi
Laut Sulawesi itu.
Desas-desus tadi dibumbui pula bahwa penduduk Kampung Arab di
tepi Sungai Tondano sudah mengungsi ke gunung untuk menghindari
gelombang pasang. Mendengar ini tentu saja penduduk Kota Manado
dengan tergopoh-gopoh tumpah mengungsi ke luar kota. Dalam waktu
satu hari menjelang 1 Maret itu kendaraan umum maupun pribadi
sarat muatan pengungsi meninggalkan Manado ke pedalaman, bahkan
ada yang sampai ke Doloduo, nun di wilayah Kabupaten Bolaang
Mongondow. Manado sepi. Tapi setelah lewat 10 Maret tak terjadi
apa-apa, para pengungsi kembali ke rumah masing-masing.
Nyonya Trees
Namun kecemasan belum reda. Guncangan-guncangan gempa masih
terasa. Untuk mengurangi ketegangan, berbagai cara dilakukan
penduduk. Ada yang lebih betah berjalan-jalan sambil menghindari
bangunan-bangunan yang diperkirakan mudah roboh. Tapi di
rumah-rumah juga tak sedikit ibu-ibu rumah tangga mengajak
tetangganya menghilangkan rasa takut dengan bermain kartu atau
mengobrol kosong. Seperti dilakukan Nyonya Trees Pusung bersama
tetangga-tetangganya di sebuah kampung yang terletak di barat
kota. Sedang mereka asyik saling lempar kartu, tiba-tiba bumi
terguncang. Semua pemain menghambur ke luar rumah. Tapi Nyonya
Trees tetap bertahan di tempat duduknya. Namun ketika gempa
berhenti dan teman-temannya kembali hendak melanjutkan
permainan, Nyonya Trees didapati sedang pingsan dengan kartu
tetap di tangan.
Yang dialami seorang penjual es krim di Jalan Sam Ratulangi lain
lagi. Beberapa orang anak sekolah sedang asyik menikmati
dagangannya ketika gempa datang. Anak-anak berhamburan lari,
sekaligus menghindari pembayaran es krim yang mereka makan. Tapi
penjual es itu tiba-tiba pula lari tunggang-langgang bersama
gerobaknya. "Ibu yang membeli es krim saya tadi pingsan,"
tuturnya tergagap-gagap, "saya tak mau bertanggungjawab, nanti
dikira dia pingsan karena minum es krim saya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini