Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sepenggal Kisah Putra Tunggal

Putra Kartini enggan menjadi bupati dan memilih karier sebagai tentara. Ilmu militernya dari Jepang.

21 April 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nama Mayor Jenderal Raden Mas Soesalit lamat-lamat muncul di benak Sri Biantini. Perempuan 79 tahun ini tak mengenal langsung putra tunggal Raden Ajeng Kartini itu. Dia baru menikah dengan anaknya, RM Boedi Setya Soesalit, tiga tahun setelah sang ayah mertua wafat. "Dia berjuang meraih kemerdekaan," kata Sri di rumahnya di Kabupaten Bogor, Rabu pekan lalu.

Sepenggal kisah hidup Soesalit itu dia peroleh dari suami dan ibu mertuanya, RA Siti Loewijah. Perempuan kelahiran Semarang ini mengatakan Soesalit memutuskan terjun ke dunia militer setelah kemerdekaan. Kariernya melejit hingga menjadi jenderal bintang dua.

Dalam laporan utama tentang Kartini yang ditulis Tempo pada 12 Desember 1987, Soesalit harus turun pangkat dari mayor jenderal menjadi kolonel pada 1948 akibat kebijakan reorganisasi dan rasionalisasi Tentara Nasional Indonesia. "Jenderal saya satu-satunya yang ndak saya kasih bintang adalah Pak Soesalit," ujar Sri menirukan kata-kata Presiden Sukarno ketika itu sembari memperlihatkan sejumlah potret lawas ayah mertuanya.

Soesalit sebenarnya tak berencana menjadi jenderal. Sumber Tempo mengatakan Soesalit dulunya digadang-gadang menjadi Bupati Rembang menggantikan ayahnya, Raden Mas Adipati Djojoadiningrat. Namun dia memilih menyerahkan takhta itu kepada kakak tirinya, Raden Mas Adipati Abdul Karnen, yang menjadi bupati pada 1914-1942. "Dia sudah tahu kakak tirinya berambisi menjadi bupati," ucap Sri.

Sejak itu, Soesalit berfokus meneruskan sekolah hingga Hogere Burger School—sekolah menengah pada zaman Hindia Belanda—di Semarang. Pria kelahiran 13 September 1904 yang mewarisi bakat melukis dari Kartini ini lantas memilih menjadi mantri polisi. Ia berdinas di Sumpiuh, Kabupaten Banyumas, serta di Purwokerto dan Banjarnegara.

Jalan hidupnya berubah ketika Jepang menjajah Indonesia. Dia memutuskan bergabung dengan tentara Negeri Sakura pada tahun yang sama ketika Abdul Karnen dipaksa turun dari jabatannya.

Karier militernya mulus hingga menjadi shodanco (komandan peleton)—setara dengan tokoh Pembela Tanah Air, Supriyadi. Dia lalu bergabung dengan TNI setelah Jepang angkat kaki dari Indonesia. Dia kemudian ditugasi di Yogyakarta, Banyumas, dan Semarang. Sebuah sumber menyebutkan ilmu militernya dari Jepang. Kariernya terus menanjak hingga menjadi Panglima Divisi III/Pangeran Diponegoro di Kota Yogyakarta dan Magelang pada 1 Oktober 1946-1 Juni 1948.

Hidup Soesalit juga sulit. Ibunya meninggal empat hari setelah kelahirannya. Soesalit kecil dirawat neneknya, M.A. Ngasirah—ibu kandung Kartini—di Rembang. Musibah kembali datang tatkala ayahnya wafat. Kala itu, usianya baru delapan tahun. Sejak itu, ia dirawat ibu dan kakak-kakak tirinya. "Mbah Ngasirah kembali ke Jepara," ucap Sri.

Soesalit menikah dengan Siti Loewijah, keturunan priayi asal Tegal. Anaknya, Boedi Setya, lahir pada 24 Februari 1933 di Banjarnegara. Soesalit wafat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto pada 17 Maret 1962 akibat komplikasi penyakit. Dia dianugerahi tanda kehormatan Bintang Gerilya pada 21 April 1979. Jenazahnya dimakamkan di Desa Bulu, Rembang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus