Kisah Sawitri, dalang tua dari Desa Astana Langgar yang banyak dipuji, mungkin cermin kebangkitan topeng Cirebon. Dalam usianya yang 65 tahun, dalang senior topeng Losari ini memasuki tahapan baru berkeseniannya. Bersama 20 orang, termasuk penari dan nayaga, rombongan Sawitri baru saja pulang manggung di New York, Amerika Serikat. Di sana, Sawitri mendapat sambutan sangat megah. Ia diserbu puluhan penonton yang ingin memberikan selamat. "Saya diberi bunga, dipeluk, dicium. Belum pernah saya alami di Tanah Air seperti ini," katanya terharu. Ini serasa menghapus kekecewaannya dan meneguhkan sikapnya sebagai penari topeng Losari. "Sebelum keturunan saya menguasai kesenian, saya belum mau mati," ia menegaskan. Sawitri adalah generasi keenam dari grup topeng Losari. Ayahnya, Sumitra, adalah dalang topeng beken zaman Belanda dulu. Dari sepuluh keturunan, hanya dua orang yang akhirnya terus menekuni menari topeng, Sawitri dan kakaknya, Dewi -- sudah meninggal. Dalam usia sembilan tahun, Sawitri sudah belajar tari topeng. Prosesnya, ia hanya melihat, tanpa diberi kesempatan menari. Dan sebagai bagian dari proses belajar itu, Sawitri bersaudara kerap diajak ayahnya ngamen topeng ke mana-mana, bahkan sampai ke Desa Munduk, sebuah desa di perbatasan Cirebon. Berkelana dengan berjalan kaki atau naik truk. Ini dijalani Sawitri dari usia tiga tahun sampai usia 14 tahun. Ketika orang tuanya menari, Sawitri kecil dari pinggir mengamati gerak demi gerak dengan mata tajam dan serius, urutan demi urutan tarian. Ada begitu banyak seri tarian, yang tak boleh tertukar urutannya. Di pinggir pentas topeng inilah Sawitri mengenal dan menjiwai tiap-tiap peranan topeng, dari yang lemah lembut sampai kasar. Memasuki usia 14 tahun, baru ia diberi kesempatan menari berdasarkan apa yang telah ia lihat sebelumnya. "Jadi, saya belajar dengan mata dan hati. Setelah mulai latihan menari, saya harus mengawalinya dengan puasa, mata tidak boleh tidur satu malaman," kata Sawitri. Kini, Sawitri berupaya keras menurunkan kepandaiannya. Ia seperti menebus rasa sesalnya, setelah meninggalkan Losari selama 16 tahun, mengikuti suaminya di Palembang dan meninggalkan tradisi tari topeng yang diwariskan ayahnya. Apalagi kakaknya, Dewi -- mereka semuanya ada 11 bersaudara -- tak mau lagi menari. Kepergian Sawitri bertransmigrasi ke Palembang membuat riwayat topeng Losari dalam bahaya. Terpanggil bisikan nurani dan pesan bapaknya sebelum meninggal, Sawitri akhirnya kembali ke Losari, setelah mengawinkan suaminya dengan wanita lain. Kini, bersama kelima orang cucunya (cucu dari Dewi karena Sawitri sendiri tak punya anak), Tanengsih, Nani, Sri Narti, Umirah, dan Kartini, Sawitri setiap hari berlatih bersama di ruang pedepokan Sawitri berukuran 10 meter x 15 meter. Padepokan itu berdiri atas bantuan Rudjito, seorang dosen Institut Kesenian Jakarta, yang dikenal sebagai penata panggung. Letaknya persis di belakang rumah Sawitri yang berlantai tanah, dengan dinding separuh tembok. Menurut Sawitri, banyak proses belajar ini sekarang sudah tidak dapat diterapkan. Misalnya, mengamen dari satu desa ke desa lain yang kadang harus ditempuh berjalan kaki seperti orang berkelana. Bila di jalan yang dilalui ada orang yang menanggap, mereka pun main di situ, dan bermalam. Manfaat belajar lewat mengamen memang besar sekali, khususnya untuk menambah keberanian dan keluasan wawasan sekaligus menambah kemahiran menari. Dengan cara belajar seperti itu, umur belasan tahun saja Sawitri sudah dapat mandiri dalam tari, tak perlu dibimbing oleh kakak-kakaknya. Dan mengamen juga membuat seorang penari jadi terkenal. "Kalau tidak ngamen, mana ada orang yang mengenal saya," kata Sawitri. Pola ini tak cocok lagi bagi para cucunya sekarang. "Tak mungkin lagi ngamen, karena sudah sibuk mengikuti kegiatan lain entah sekolah atau berdagang," tambahnya. Juga, disiplin dan "pengisian" diri yang berat tak bisa lagi diterapkan. Seingat Sawitri, kakaknya, Dewi, pernah disiram air panas di depan penonton di suatu acara untuk pengantin. Sebabnya, ayahnya marah karena Dewi salah menari. Biasanya, Sumitra memukul kaki Dewi dan Sawitri jika ada gerakan tari yang salah. Dan tak ada yang berontak, paling hanya menangis sedih. Hukuman itu benar-benar jadi cambuk untuk lebih menguasai tarian. Sawitri sendiri, sejak usia 12 tahun sampai 20 tahun, mulai berlatih "mengisi" jiwa atas perintah bapaknya. Perut tak diisi mula-mula 3 hari, lantas meningkat jadi 4 hari, 7 hari, kemudian 11 hari, 13 hari, 20 hari, dan sampai 40 hari. Ia tak makan sama sekali dan dimasukkan ke kamar. Pintu dikunci dari luar, dan, kalau sudah cukup waktunya, baru dibuka. "Ketika keluar saya tak bisa jalan, tak berdaya, digendong. Tak ada tenaga. Sesudah itu, hanya makan bubur air dulu baru air kelapa sampai dua hari. Coba anak sekarang, kuat enggak ...?" kata Sawitri. Dulu, kalau sakit datang bulan, ia disuruh mandi keramas. Mungkin karena dasar-dasar tari dan fisik yang kuat itulah, Sawitri dalam usia yang sudah lanjut masih mampu menarikan tari Klana yang bergairah dan menguras tenaga. Karena itu, Sawitri kecewa melihat penari topeng sekarang tak mampu menjiwai peran-peran topengnya. "Belajar itu tak hanya tekniknya. Anak-anak sekarang mudah lupa. Kalau saya tidak, karena saya belajar dengan hati," tambahnya. Seorang cucunya yang paling berbakat, Umirah, 24 tahun, lulusan SMA Cirebon, merasakan "gaya" pendidikan Sawitri yang keras. Umirah sendiri sudah belajar tari topeng pada usia sembilan tahun pada neneknya, almarhum Dewi. Ia juga sempat belajar dari ayahnya sendiri, Dalang Sinom. Namun, yang membuatnya tertarik pada topeng adalah Sawitri. Selama empat tahun Umirah hanya belajar bagaimana berjalan. Ini diulang berkali-kali. Baru setelah itu, belajar tari topeng Pamindo. Umirah menganggap keterlibatannya dalam tari topeng seperti panggilan, sudah merupakan tradisi keluarga. "Habis, merupakan keturunan. Saya juga ingin menjaga agar tari topeng ini bisa terus hidup," kata Umirah. Menari topeng, bagi Umirah, sudah menjadi suatu kesenangan, meskipun honor menari hanya Rp 10.000. "Habis menari, selalu muncul perasaan senang dalam diri saya, di samping telah puas bisa menghibur orang lain." Tak ada rasa malu jadi penari topeng. "Saya bangga, soalnya memiliki keterampilan yang tak dimiliki orang lain," kata Umirah. Begitu pula dengan dalang topeng Buniah, 94 tahun, dalang paling tua saat ini dari Desa Gegesik, yang selama 85 tahun membaktikan dirinya bagi topeng Cirebon. Buniah merupakan keturunan ke-16 dari Raden Panji dan ibu Dalang Cita. Meski tubuhnya yang mungil sudah renta, waktu tampil di Pesta Topeng Cirebon di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, November lalu, gerakannya masih cukup luwes dan lentur, dan pandangan matanya meyakinkan. Padahal, dia menderita tekanan darah tinggi dan sakit lambung. Ia masih menyimpan kekuatan sisa-sisa masa kejayaannya dulu, tahun 1920-an sampai sekitar tahun 1935. Waktu itu, ia selalu mendapat panggilan mentas ke mana-mana sampai seminggu tak pulang. Mulai dari hajatan perkawinan, sunatan, tujuh bulanan, sampai menghibur tentara KNIL. Pada masa pergolakan kemerdekaan, Buniah terus masih mentas di sekitar Jawa Barat, bahkan sampai Semarang dan Yogyakarta. Di zamannya, Buniah adalah seorang ratu topeng Gegesik. Kawin 13 kali, 5 di antaranya dengan orang terpandang, seperti camat, mandor polisi, atau mantri kesehatan. Buniah tak surut menopeng meski sudah bersuami. "Saya tidak mau berhenti menopeng, karena sudah menjadi kenikmatan dan pendapatan cukup besar dari sini," katanya, sewaktu ditemui di rumah keponakannya di Gegesik. Kecantikan Buniah dan ketenarannya juga membawa malapetaka. Buniah pernah diracun tujuh kali. Giginya sampai ambrol menahan pengaruh racun, sehingga kalau memakai topeng harus diikat dengan tali. Buniah nyaris lumpuh dan buta. "Lagi manggung, saya dikasih minum. Kalau tidak diminum, kan tidak sopan. Pas saya nopeng, muntah darah. Saya berhenti dan minta minum air comberan disaring kain. Lain kali diracun sampai berak darah atau batuk TBC." Ini, kata Buniah, ulah orang yang sirik atau cintanya ditolak. Salah satu kiat Buniah bertahan adalah mengatur makanan. "Kalau mau hebat di pentas, jangan makan macam-macam. Cukup ketan dan air putih," kata Buniah, yang sekarang hanya sanggup tampil dalam kaulan selama sejam dua jam saja. Namun, di tangan Buniah-lah topeng Gegesik menjadi terkenal. Dan ia telah mewariskannya ke beberapa penari muda, seperti Baerni, Juniah, dan Een. Baerni, 26 tahun, belajar tari pada ayahnya sendiri, Dalang Jublag. "Saya keturunan dalang dan lingkungan tari topeng. Dari kecil saya digembleng Bapak menjadi penari topeng, sampai sekarang tari topeng rasanya telah masuk di hati," katanya. Panggilan hati ini menuntun Baerni mendalami teknik menari di Jurusan Tari Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung sampai tamat. Karya akhirnya berupa sebuah tarian "Candrakirana", yang mengambil dasar topeng Cirebon, yang kemudian dikembangkannya bersama tiga orang temannya. Baerni ingin menjadi penari profesional. Namun, kondisi topeng Cirebon yang masih "sepi" penanggap ini cukup merisaukannya. Karena itu, Baerni siang hari menopeng, malamnya tarling. "Mudah-mudahan saya menikah dengan suami yang mengerti keinginan saya. Saya tidak akan berhenti menari, rugi rasanya," katanya. Bersama Baerni, ada Juniah, 35 tahun. Juniah ini mengalami kisah menari topeng mirip dengan Sawitri. Sejak kelas 3 SD, Juniah langsung diajar oleh bapaknya, Dalang Warsinta, dan neneknya Dalang Mutinah. Ia ikut ngamen keliling kampung, bersama penabuh delapan orang. Pernah, Juniah menangis di halaman rumah orang karena kelelahan. "Sudah capek sekali, tapi terus disuruh menari oleh orang-orang," katanya. Juniah matang ditempa selama mengamen ini. "Saya merasa terpaksa ngamen, dari pagi hingga sore. Karena saya keturunan dalang. Kata Bapak, tujuan ngamen adalah melancarkan, entah itu lancar penarinya atau lancar nayaganya," kata Juniah. Hasilnya, setelah sebulan tarian lancar dan sampai sekarang meresap ke dalam hati. Tidak hanya itu, padi pun mengisi rumah, karena saat itu ongkos ngamen dibayar dengan padi," kata penari Gegesik yang cukup dikenal ini. Bagi Juniah, menari kini sebagai saluran kesenangan, karena tak bisa sebagai tambahan penghasilan. "Saya merasa senang kalau sedang menari, tidak merasa capek. Tapi kalau pulang dari perjalanan mentas, saya merasa sedih. Sudah capek harus menunggu mobil angkutan," katanya sedih. Topeng Gegesik masih memiliki beberapa penari muda lagi. Baedah, adik Baerni, yang selain menopeng juga ikut tarling. Baedah ini kuliah di IKIP. Selain itu, ada Pipit, 10 tahun, yang bercita-cita ingin masuk ASTI dan menjadi dalang topeng. Pewarisan topeng lewat keturunan juga dilakukan oleh Dalang Sudjana Arja, dalang terkenal topeng Slangit, dari Desa Slangit, Kecamatan Klangenan. Di dinding rumahnya yang semipermanen, tergantung 20 penghargaan dari berbagai kalangan, terakhir dari TIM, Jakarta, dan foto murid-muridnya dari Jepang dan Amerika. Sebuah motor bebek merah teronggok di sisi perangkat gamelan. Dua dari delapan orang anak Sudjana Arja dilatihnya sendiri secara khusus. Asbeni (9 tahun) dan Inu Kertapati (13 tahun). Yang menonjol sekarang adalah Inu. "Dia sudah bisa menari topeng, dia generasi penerus saya," kata Sudjana Arja, yang juga mewarisi topeng dari bapak dan kakeknya. Sudjana Arja mengajar mirip dengan cara orang tuanya dulu. Dulu, waktu Sudjana belajar menari, caranya adalah disuruh menari dan menilai geraknya. Kalau ada kesalahan, langsung dibetulkan. Benar tidaknya tarian itu bisa dilihat dari godekan kepala, giyelan pinggul, contrekan tangan, dan sebagainya. "Semua inti tari topeng enggak boleh diubah, tidak boleh dikombinasi, harus asli," cerita Sudjana terhadap petunjuk bapaknya, Dalang Arja. Untuk ketahanan fisik, pada malam Jumat Kliwon perut dan dada Sudjana diinjak-injak. Tubuhnya dipukuli sapu lidi, kemudian ditaburi kembang tujuh rupa. "Pelan-pelan saja, sebagai syarat." Upacara ini dilakukan di perempatan jalan desa. Sudjana juga mesti tirakat, puasa 7 hari, 40 hari, puasa mutih atau makan pisang saja. "Tirakat itu penting sekali, untuk memperkuat jiwa," kata Sudjana. Selain itu, Sudjana dilarang makan ketan, karena tak baik bagi kesehatan dan keturunan. Mempelajari tari topeng tak sekadar berolah gerak dan jiwa. Sudjana juga diajari merawat kedok-kedok warisan. Kedok ini diurapi dengan kemenyan. "Kedok dan keris dikukus dengan kemenyan sebagai suguhan. Karena kedok itu bukan punya saya, tapi warisan dari nenek moyang saya," kata Sudjana. Kedok itu dijaga rapi betul, dibungkus dengan kain kuning dan kalau mau dipakai harus dibuka perlahan-lahan. "Kalau saya sudah menari, yang ada bukan diri saya, tetapi tokoh dalam kedok itu, jiwa kedok itu," kata Sudjana. Umur 12 tahun, Sudjana sudah mengamen ke luar desa. "Kalau di desa sendiri, malu," katanya. Ngamen, bagi Sudjana, sama seperti mengembara, kadang sampai dua bulan tak pulang ke rumah. Tidur di mana saja, kalau Imlek ngamen di kota-kota di rumah orang Cina, malamnya menumpang tidur di Keraton Cirebon. Saat itu, Sudjana menarikan tari Samba atau Rumyang, selama 3 sampai 5 menit. Dua tahun Sudjana memperkenalkan diri lewat ngamen ini, sampai akhirnya dia manggung. "Setelah saya menjiwai topeng, baru saya dapat panggungan," katanya. Selain menari topeng, Sudjana juga belajar karawitan. Kini, Sudjana membaktikan dirinya semata untuk seni topeng. "Saya nggak punya kerjaan lain, khusus mendalami seni topeng ini saja," katanya. Sudjana juga pengajar lepas di ASTI. Keandalan Sudjana dan kelompok topeng Slangitnya memang telah diakui di luar negeri. Tahun 1977 Sudjana sudah menginjak 16 negara bagian Amerika Serikat, mewakili daerah Jawa Barat. Tahun 1979, Sudjana mentas di Hong Kong, diajak pakar tari Sal Murgiyanto. Selanjutnya, 1990, selama seminggu ia berada di Jepang dan Hong Kong. Terakhir, rombongan Sudjana ini main dalam rangka KIAS, di 11 negara bagian Amerika Serikat. Juga tahun itu ia mentas ke Australia. Sudjana boleh berlapang dada memiliki penerus, anaknya, Inu Kertapati -- ini nama seorang tokoh dalam cerita topeng. Inu, 15 tahun, sudah belajar nopeng sejak kelas 3 SD. "Saya ingin menjadi dokter, juga mahir menari topeng. Sebab, tari topeng Cirebon kan tradisi orang tua saya yang mesti dilestarikan," kata Inu. Inu sendiri merengek-rengek minta diajar menari topeng karena sering melihat bapaknya menari. "Keinginan saya sendiri belajar nari topeng," kata Inu, yang sewaktu kelas VI SD sudah mahir menari topeng Patih Tumenggung dan topeng Klana. Inu memang berbakat. Ia belajar menari hampir setiap hari, setiap ada kesempatan. Dia menguasai sebuah tarian rata-rata dalam tempo sebulan. Namun, sekarang, karena kesibukan sekolah, Inu berlatih tiga kali seminggu tiap kali dua jam. Inu sudah manggung sekitar 15 kali, terakhir di Pesta Topeng Cirebon, di TIM, November tahun lalu. Ia mendapat honor Rp 100 ribu, yang dibelikan buku-buku. Inu yakin, topeng Cirebon dapat bertahan karena, "Sekarang banyak peminat yang belajar tari topeng," kata Inu. "Dan saya bertekad akan terus mempertahankan dan melestarikannya." Selain mencetak anaknya sendiri, Sudjana juga mengajar warga desa lain yang berminat, juga orang asing. "Orang asing lebih cepat diajari. Satu bulan jadi. Kalau orang kita, 3-4 bulan, bila yang bebal sampai 6 bulan," katanya. Di antara muridnya, yang berhasil menari bagus adalah Kasniri, dan Oliah Mediati, 27 tahun. Oliah memang termasuk keturunan keluarga topeng karena ibunya, Miah, dan pamannya Miskad, juga dalang topeng. Oliah sebelumnya belajar nopeng pada ibunya sendiri. "Saya ikut keliling menari bersama Ibu di panggung. Dulu saya malu, kalau dipikir-pikir kok kayak orang gila. Tetapi setelah tahu lebih dalam, saya senang benar, dan orang bilang saya punya bakat. Saya ingin sekali seperti Ibu, selain bekerja juga bisa menari topeng," kata Oliah mengenang tekadnya menari topeng itu. Setelah itu, Oliah juga belajar pada Sudjana -- masih terhitung pamannya sendiri. Di SMP, Oliah juga sudah mahir menari Sunda dan serimpi. Dan sekarang, dia mahir menari topeng Samba, Rumyang, Tumenggung, dan topeng Klana. "Semua kedok bisa saya kuasai dan saya sudah manggung sendiri," katanya. Bagi Oliah, "Menari topeng lebih banyak sukanya daripada dukanya, karena saya mendapat banyak teman dan pengalaman." Tradisi pewarisan topeng Slangit juga berlangsung di Desa Cibereng, Kecamatan Cikedung, Kabupaten Indramayu, tempat Carpan dan rombongan topeng Indramayu tinggal. Keluarga Carpan ini seluruhnya penari topeng. Ayahnya, Kajat, adalah dalang topeng generasi kedelapan. Kajat mempunyai lima orang anak, semuanya penari topeng, tapi tinggal Carpan saja yang masih aktif. Menurut Carpan, 56 tahun, dulu dia belajar menari mengikuti suara musik mulut atau garpu yang dipukul-pukulkan bapaknya. Dan tari yang dipegangnya sampai sekarang adalah topeng asli. "Tari topeng saya asli, murni, kalau orang lain sih menari topeng untuk tarian topeng sandiwara," katanya. Carpan juga mewariskan seninya pada cucu lelakinya, Muhammad Rasim, 12 tahun. "Kalau anak perempuan, tidak bisa terus, karena kadang dilarang suaminya," kata Carpan. "Bapak saya pesan, tari ini jangan sampai diputus, harus ada penerusnya," kata Carpan, dalam bahasa Sunda Cirebon. Carpan tak mengajarkan tarian ini kepada warga desa, dengan alasan tarian ini adalah warisan keluarga. Namun, ia menerima tiga mahasiswa ASTI Bandung yang belajar di rumahnya. Tari topengnya, menurut Carpan, bakal langgeng bila dipelihara dengan jalan hidup yang lurus. Pantangannya, tidak boleh main perempuan, dan tidak boleh menggunakan milik orang lain tanpa izin, apalagi mengambilnya. Di Indramayu, Nargi, dengan Grup Tari Topeng Cinta Damai Nargi, juga meneruskan tradisi topeng Indramayu. "Kalau topeng, sih, ini warisan, tidak bakal saya tinggalkan," kata Nargi, yang sejak 13 tahun lalu belajar nopeng pada ayahnya, almarhum penari topeng Daham. Topeng dipelajari langsung dari ayahnya. Nargi menari, ayahnya membetulkan. "Yang paling sulit adalah harus menari di atas botol. Itu ujian terakhir dari Bapak," kata Nargi. Nargi sekeluarga adalah keluarga penari. Kalau sehari-hari tanggapan topeng sepi, Nargi berjualan apa saja. Di depan rumahnya teronggok banyak sepeda. Ia juga berjual-beli TV, radio, dan gabah. "Pokoknya, yang bisa menghasilkan uang," tambah juara festival tari topeng se- Indramayu tahun 1970 ini. Kini, Nargi mendidik keponakannya, Ato, yang berusia 15 tahun. "Saya mendorong dia untuk menjadi penari hebat," kata bapak Ato, Karwita. Tampaknya, kemungkinan ini bisa saja terwujud bagi Ato, yang putus sekolah lepas dari SD. Selama sebulan belajar di ruang tamu rumahnya yang kusam dan berlantai tanah, Ato sudah mahir menarikan semua jenis topeng. "Topeng akan terus berkembang dan saya akan mempertahankan warisan nenek moyang ini," kata keturunan kelima tokoh topeng Kertasemaya ini. Ato sudah 34 kali manggung, terakhir di TMII Jakarta dan di Bali. Jauh dari kediaman Ato, di Desa Kreyo, Kecamatan Klangenan, Tumus Sumiati, 40 tahun, mempunyai kisah hidup yang unik sebagai penari topeng. Umur 20 tahun, Tumus belajar menari topeng pada kakaknya, Sadep, selama lima hari saja. Tumus putri pimpinan topeng Kreyo. "Untuk memperkuat, saya tirakat," kata Tumus. Selepas belajar, Tumus mengamen ke mana saja, mulanya di sekitar kampung, seterusnya sampai ke Jakarta -- terminal bus, Pasar Senen, Tanah Abang, Cempaka Putih, Pejompongan. "Pokoknya, yang banyak tukang becaknya, saya ngamen," kata Tumus, yang tidurnya di emper toko. Tumus rela menjalani hidup keras setelah bosan jadi pembantu rumah tangga di Cirebon. Pulang ke desa, Tumus banyak mendapat panggilan main. "Saya hampir mau menangis, karena terlalu banyak panggilan main." Sekarang? "Sepi, kalau musim ramai, paling dapat enam panggungan." Sehari-harinya, Tumus bertanam padi dan ketimun di Desa Cilukrak. Optimisme Tumus tak membuatnya berhenti untuk melestarikan topeng Kreyo. Seorang penerus sudah disiapkan Tumus untuk menggantikannya. Namanya Dewi, 10 tahun, keponakannya. "Dewi berbakat, cakep lagi. Pokoknya, anak ini akan naik daun," katanya tersenyum mengelus Dewi.Indrawan, Asikin, Ahmad Taufik, dan Ida Farida
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini