Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menafsirkan kembali

Sebuah sinetron yang jarang, yang menampilkan gambar yang indah, meski agak konvensional, menyajikan akting yang tak hanya marah, tertawa, dan menangis.

12 Februari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN tangan dan kaki yang terikat rantai, beberapa pemuda aktivis pergerakan itu berjalan sepanjang pasar Solok. Salah seorang dari mereka, dengan sorot mata yang tajam, menatap penduduk yang tak berdaya melakukan apa pun menyaksikan itu semua. Tiba-tiba, pemuda itu lari. Seorang serdadu Belanda membidikkan senapannya, dan "dor".... Si pemuda berkopiah terhuyung. Ia masih sempat berjalan beberapa langkah. Dan sebelum jatuh terkapar, pemuda itu sempat menyelipkan selembar selebaran protes ke tangan seorang ibu yang tengah belanja. Itulah selebaran protes, soal pajak. Itulah adegan awal sinetron Salah Asoehan, yang ditayangan oleh SCTV tiap Selasa, sejak pekan lalu. Tidak mudah mengadaptasi sebuah roman yang sudah terkenal ke dalam film televisi. Apalagi jika roman itu berjudul Salah Asoehan karya Abdoel Moeis, yang menjadi bacaan wajib anak-anak sekolah Indonesia: sebuah novel dengan dialog panjang-panjang, dengan gaya bahasa tahun 1920-an. Tapi itu tak menghalangi Sutradara Ami Priyono, 55 tahun, untuk menuangkan kisah ini ke dalam enam episode sinetron, dan Selasa pekan ini, disiarkan episode keduanya. Ami sendiri sebelumnya sudah diakui berhasil mengangkat novel Karmila (karya Marga T.), dan Cintaku di Kampus Biru (karya Ashadi Siregar) ke layar putih. Dan tampaknya Ami, sekali lagi, berhasil menerjemahkan karya yang bersandar pada kekuatan kata, ke karya audio visual, yang bersandar pada kekuatan gambar yang bergerak. Karena itulah ia (bersepakat dengan penulis skenarionya, Alex Soeprapto, tentunya) mengubah awal novel ini. Dalam buku, halaman pertamanya menggambarkan percakapan antara tokoh utama Hanafi dan Cory du Busse di pinggir lapangan tenis, di bawah pepohonan yang rimbun. Ami membuka episode pertama dengan suasana pasar Solok, dan, seperti diceritakan di awal tulisan ini, adegan para penentang kolonial Belanda yang diarak dan dirantai. Bukan saja adegan itu lebih mudah menarik perhatian dan melibatkan emosi penonton karena dramatis, tapi memang itu mencerminkan bagaimana sutradara menafsirkan Salah Asoehan. Bagi Ami, novel Abdoel Moeis, tokoh pergerakan di zamannya, bukan sekadar novel tentang percintaan segi tiga dengan latar belakang konflik psikologi antara pribumi dan nonpribumi, tapi juga sebuah cermin perjuangan. Salah Asuhan yang kita kenal adalah sebuah roman cinta segi tiga antara Hanafi-Cory-Rapiah. Di balik cinta segi tiga itu ada persoalan perbedaan kebudayaan Barat dan Timur serta kompleks psikologi para tokohnya. Tapi, secara kebetulan, Marissa Haque Fawzi, produser sinetron ini, mengetahui bahwa novel yang pertama kali diterbitkan oleh Volkslectuur (kemudian bernama Balai Pustaka) tahun 1928 itu sudah lewat tangan sensor. Kemudian mereka (Marissa, Ami, dan Alex) sepakat untuk menyajikan yang asli, sejauh bisa dilacak. Memang agak mustahil, Abdoel Moeis, sebagai aktivis pergerakan dan wartawan, menulis novel tanpa memasukkan ke dalamnya unsur-unsur perjuangan, betapapun tersamarnya (lihat Wajah Asli Cory). "Ketika kita membaca Salah Asoehan, kita juga membaca pemikiran Abdoel Moeis yang sangat aktif sebagai anggota Volk sraad (semacam dewan perwakilan rakyat zaman Hindia-Belanda) mewakili Sarekat Islam," kata Ami. Dan tambahnya, roman ini terbit tahun 1928, ketika Sumpah Pemuda diikrarkan, "jadi kita tahu betapa dinamisnya keadaan politik saat itu," katanya. Dan Ami, untuk mempertahankan suasana perjuangan waktu itu, tak sekadar mengikuti novelnya. Di samping tokoh-tokoh ciptaan Abdoel Moeis (Cory du Busse, gadis peranakan Prancis-Minang yang dicintai Hanafi Hanafi, anak Solok yang mendapat pendidikan Eropa dan menganggap bangsanya sebagai "orang kampung" yang ketinggalan zaman Rapiah, anak dari mamak Hanafi yang akhirnya menjadi istri Hanafi, dan tak berdaya me- lawan suaminya yang kebelanda-belandaan), Ami menambahkan tokoh Hamidan. Pemuda Melayu inilah satu-satunya aktivis pergerakan yang bersedia berkawan dengan Hanafi, yang sudah dijauhi kawan- kawannya. Lewat Hamidan (diperankan oleh Ikang Fawzi) "cita rasa sosial politik" bisa digemakan sepanjang enam episode. Sesungguhnya skenario telah menggambarkan tokoh-tokoh ini dengan kompleks dan mengalami perkembangan yang menarik. Mereka bukan sekadar tokoh yang jahat dan baik. Sayangnya, tokoh-tokoh itu tidak semuanya ditunjang oleh aktor yang berkelas. Dolly Martin, yang memerankan Hanafi yang angkuh dan rendah diri karena statusnya sebagai kaum pribumi, tidak mampu mengangkat kompleksitas karakter tersebut. Yang muncul adalah suami masa kini yang ngepop, yang tingkahnya terhadap istri sungguh menjengkelkan dan hanya bisa berkeluh kesah soal "adat dan lembaga yang telah menggadai jiwaku". Shahnaz Haque sebagai Rapiah, sebagai pemain baru, tidak terlalu jelek Rita Zahara bermain secara proporsional. Sedangkan Ida Iasha, secara mengejutkan, bermain paling baik dan paling wajar dari semua aktris dan aktor dalam sinetron ini. Salah satu adegan paling berkesan adalah ketika Hanafi minta agar Cory bertandang ke rumahnya, dan ia minta jawaban segera. Bila tidak, ia akan bunuh diri. Lalu Hanafi mencekik lehernya sendiri, kemudian kamera mengambil fokus Cory yang menelengkan kepala sambil tersenyum. Tak ada adegan cengeng untuk suasana yang cenderung murah itu. Ami dengan pas menggambarkan bagaimana Cory yang menaruh perhatian pada Hanafi, tapi tetap dalam kepalanya ia sangsi, layakkah ia menikah dengan pemuda Melayu itu. Tapi pada umumnya Ami memang sukses membuat sebuah novel menjadi gambar yang bergerak. Dalam hal ini, sinetron ini bisa dikatakan lebih menarik daripada film Salah Asuhan karya Asrul Sani, yang diproduksi 21 tahun silam. Sinetron Ami kaya dengan gambar yang indah bidikan Kamerawan Rudi Kurwet, dan penggunaan bahasa simbol dan dialog yang singkat dan proporsional. Dan, keberanian Ami bersama penulis skenario yang memotong-motong dialog panjang para tokoh. Kalimat-kalimat filosofis yang panjang yang dipertahankan Asrul adalah kalimat yang terasa bagus dan wajar bila dibaca dalam sebuah novel. Memang, di sana-sini Ami agak berlebihan. Terasa benar kamera sering mengambil gambar dengan komposisi sedemikian rupa hingga di depan penonton tersaji ranting atau daun-daun pohon. Sekali- dua ini memang romantis, terlalu sering muncul menjadikan gambar terasa klise -- seperti kartu pos bergambar saja. Dan tokoh-tokoh figuran bak patung. Lihat adegan di lapangan tenis, ketika magrib datang dan orang-orang lewat menuju masjid: mereka terus berjalan berurutan, tetap membisu meski menengok ke Cory dan Hanafi. Akan tetapi, selain itu, gambar-gambar, sekali lagi, memang lancar bergerak. Dan itu tadi, "keberanian" Ami untuk menyu- guhkan versi "asli". Dalam buku yang lolos sensor, Cory akhirnya menjadi pekerja sosial rumah yatim-piatu, terkena kolera, dan meninggal. Cory yang "saleh" ini menyebabkan sosok Hanafi menjadi layak dikecam -- dari sudut perjuangan, dari sudut moral. Tapi Ami Priyono memilih Cory yang tak mengundang simpati. Ia menjadi penyanyi klub malam, banyak lelaki memujanya, dan akhirnya ia mati ditembak oleh salah seorang pemujanya yang cemburu. Upaya mengangkat karya sastra ke dalam sinetron seperti ini sudah dicoba, dan berhasil, oleh TVRI melalui sinetron Sitti Nurbaya karya Marah Roesli, dan Sengsara Membawa Nikmat karya Tulis Sutan Sati. Membandingkan dengan dua terdahulu itu, Salah Asoehan tampaknya menang dalam skenario, sinematografi, dan juga pemeran (terutama Ida Iasha dan Rita Zahara).Leila S. Chudori

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum