Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Nasda, itu nasa made in jepang

Jepang, setelah berhasil meluncurkan roket raksasa pekan lalu, masuk kalangan "bisnis" ruang angkasa. bakal menandingi roket buatan Amerika, eropa, dan rusia.

12 Februari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PULAU Tanegashima agaknya disuratkan menjadi tonggak sejarah teknologi di Jepang. Sekitar 4,5 abad silam, untuk pertama kalinya, senjata api masuk ke Negeri Samurai lewat pulau seluas 450 km persegi itu. Jumat pagi pekan lalu, dari Tanegashima pula Jepang memastikan diri memasuki era teknologi luar angkasa. Peristiwa itu ditandai dengan peluncuran roket raksasa H-II, setinggi 50 meter dengan berat 260 ton, yang berkemampuan membawa satelit 2 ton sampai ke orbit 36.000 km di atas bumi. Peluncuran itu sukses. Asap tebal menyembur diiringi suara mendesis, lantas tubuh roket yang bertuliskan Nippon H-II itu melesat ke udara. Beberapa saat kemudian, roket itu tampak seperti bola api kecil yang terbang ke langit, dengan meninggalkan kepulan asap hitam. Ribuan pengunjung yang menyaksikan atraksi itu bertepuk riuh dan berpekik gembira, "Banzai (hidup)." Dengan keberhasilan ini, Jepang bisa berdiri sejajar dengan Amerika dan Rusia, atau konsorsium negara Eropa Barat, dalam teknologi wahana ruang angkasa. Sebab, selama ini, dalam peluncuran satelit di atas 2 ton, yang bisa berbicara hanya Amerika dengan roket Delta, Titan, dan Atlas, Rusia dengan Proton, serta European Space Agency (ESA) dengan Ariane-4-nya. Seperti umumnya roket penembus angkasa, H-II juga punya pendamping, lazim disebut booster, yang berukuran lebih kecil. Konfigurasinya berupa satu roket utama (berbahan bakar oksigen dan hidrogen cair) di tengah dan dua booster di kanan-kiri. Kedua booster itu berbahan bakar propelan padat dan berfungsi memberikan tenaga dorongan ekstra pada satu-dua menit pertama. Dalam misi perdana itu, H-II tak bermuatan penuh. Ia hanya membawa Orbital Reentry Experiment (Orex), wahana mirip piring terbang (bergaris tengah 3,4 meter, tebal 1,5 meter, dan berat 865 kg). Orex dilepas pada ketinggian 450 km di atas bumi. Setelah sekali mengelilingi bumi dalam tempo 100 menit, Orex akan turun, kembali memasuki bumi. Wahana ini dilengkapi dengan ribuan sensor serta instrumen komunikasi untuk misi riset: menyelidiki akibat-akibat yang terjadi ketika sebuah benda dari luar angkasa masuk ke atmosfer bumi. Itu adalah penelitian awal untuk ambisi berikutnya: membangun pesawat ulang-alik, seperti Atlantis milik NASA Amerika atau Buran Rusia, pada awal abad ke-21 nanti. Dengan teknologi itu pula Jepang punya kemampuan membangun rudal antarbenua ICBM. Jepang bermain roket sejak 1969 lewat NASDA (National Space Development Agency), NASA-nya Jepang. Pulau Tanegashima pun ditetapkan sebagai pusat aktivitas NASDA, seperti Cape Canaveral milik NASA. Tapi selama ini NASDA dipandang sebelah mata oleh NASA. Kendati telah melakukan lebih dari 100 kali peluncuran, roket Jepang, seperti generasi H-I, hanya dapat mengangkut satelit ukuran 550 kg. Lagi pula, banyak komponen roketnya yang berlabel made in USA. Lain dengan proyek H-II. Komponen lokal diperbanyak. Bahkan, Jepang membuat sendiri enjin jenis LE-7, untuk membakar oksigen dan hidrogen cair dalam komposisi dan jumlah yang teliti. Tugas ini dibebankan ke pabrik Mitsubishi Heavy Industries. Riset yang menelan biaya 90 miliar yen -- sekitar Rp 1,65 triliun -- itu akhirnya berhasil melahirkan enjin seperti yang dipakai H-II kini. Bersamaan dengan itu, muncul pula enjin pembakar bagi propelan padat roket booster itu. Riset ini membutuhkan waktu sepuluh tahun. Keberhasilan NASDA itu membuat Jepang punya kuda tunggang guna eksplorasi angkasa luar. NASDA melengkapi H-II dengan giroskop -- instrumen yang bekerja dengan prinsip bandul untuk menentukan orientasi roket -- yang lebih mutakhir. Sementara buatan Rusia, ESA, dan Amerika masih bekerja dengan pola mekanik, giroskop NASDA menggunakan pola baru: laser. Secara teoretis, bandul ini lebih akurat dalam mengatur orientasi roket, hingga manuvernya bisa lebih bagus. Tapi kinerja roket bukan hanya diukur dari mesin dan bandul. Maka, para ahli Jepang sendiri mengakui, roketnya belum sehebat buatan Amerika dan Eropa, terutama daya angkut dan keandalannya. Roket Atlas, Titan IV, Ariane-4, dan Proton, yang tubuhnya memang lebih kekar, mampu mengangkat beban lebih dari 3 ton ke geotransfer orbit, 36.000 km di atas bumi. Namun, orang NASDA yakin roketnya mampu menggeser Long March-3, alias Chang Zheng, roket Cina yang lebih dulu tampil di arena teknologi ruang angkasa. Keberhasilan misi H-II itu kini terasa menampar Ariane-4. Pada peluncuran 24 Januari lalu, membawa dua satelit, Ariane-4 mengalami nahas. Mesin ketiga pada roket utamanya ngadat. Kedua satelit itu tak akan pernah sampai ke orbitnya. Kerugiannya sekitar US$ 350 juta (Rp 700 miliar). Inilah kegagalan pertama Ariane-4 dari 22 kali peluncuran selama tiga tahun ini. Tentu saja kegagalan ini juga menjadi gangguan bagi Ariane yang kini mengantongi 60% dari seluruh kontrak peluncuran satelit komersial itu. Salah satu calon penumpangnya adalah satelit Palapa C. Bisa jadi, peluncurannya tahun depan tertunda. Dalam hal reputasi, H-II bisa saja mengganggu Ariane-4, tapi tidak dalam hal bisnis. Peluncuran dengan H-II makan biaya US$ 172 juta (Rp 244 miliar). Biaya untuk Ariane-4, yang punya rekor keberhasilan terbaik, tak sampai Rp 200 miliar.PTH, Seiichi Okawa, dan Shizuko Ito (Tokyo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum