Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Topeng cirebon: bertahan dengan pembaruan

Topeng cirebon mengalami kepudaran. kini ada pembaruan dengan mengurangi waktu dan gerak menari. kisah perjalanan tari topeng.

12 Februari 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Topeng Cirebon punya riwayat yang berabad-abad. Pada mulanya tari ini dapat mengusir roh jahat, dipakai untuk ngeruat sampai sedekah bumi. Lalu tariannya berlangsung berjam-jam, secara khusyuk. Perubahan masa membawa kesenian rakyat ini pada kepudaran: jarang dipentaskan. Peminatnya, baik penikmat maupun pendukungnya, berkurang. Kini ada pembaruan walau para seniman tua menyebutnya sudah gado-gado: lama menarinya dipangkas, geraknya sudah tidak asli. Wartawan TEMPO di Biro Bandung melacak perjalanan tari topeng ini dan mencoba melihat bagaimana pengaderan berlangsung selama ini. SUATU ketika Keraton Cirebon terancam. Pangeran Welang dari Karawang ingin merebut kekuasaan Sunan Gunung Jati. Pangeran dari Karawang yang belum masuk Islam itu amat sakti dan memiliki pusaka berupa sebuah pedang, Curug Sewu. Tak ada seorang pun di Keraton Cirebon yang bisa menandinginya. Maka, Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga, dan Pangeran Cakrabuwana dari Siliwangi segera berembuk. Tak sanggup melawan dengan kekerasan, mereka menghadapinya lewat diplomasi kesenian. Dibentuklah tim penari yang mengenakan kedok, yang ngamen berkeliling dari kampung ke kampung. Salah seorang penarinya, Nyi Mas Gandasari, adalah seorang dara yang sangat cantik. Dalam tempo singkat, kelompok seni topeng ini terkenal dan jadi pembicaraan banyak orang, sehingga mengundang hasrat Pangeran Welang untuk menyaksikannya. Alkisah, Pangeran Welang jatuh cinta pada gerak tari dan paras Nyi Mas Gandasari. Nyi Mas pun berpura-pura menyambut cinta Pangeran. Ia mau dikawini asal lamarannya berupa pedang pusaka Curug Sewu. Tanpa pikir, Pangeran Welang setuju dan menyerahkan pedang pusakanya itu, sehingga saat itu kesaktian Pangeran Welang sirna. Dalam keadaan tak berdaya, Pangeran akhirnya menyerah total pada Nyi Mas dan minta ampun kepada Sunan Gunung Jati. Keberhasilan tari topeng itu menaklukkan kekuatan jahat akhirnya dipakai dalam tradisi Cirebon seperti ngeruat untuk mengusir roh-roh jahat, ataupun upacara ngunjung untuk meminta berkah di makam keramat atau juga pada upacara sedekah bumi. Tari topeng makin merakyat setelah Kompeni Belanda mengubah struktur keraton dari panata agama menjadi panata negara. Para seniman keluar dari keraton, bergabung dengan santri di desa dan secara tak langsung mengembangkan tari topeng di desa-desa. Kreativitas pun tak terbatas. Tiap desa mengembangkan ciri khas tariannya sendiri, lahirlah enam topeng yang paling dikenal, topeng Losari, topeng Slangit, topeng Gegesik, topeng Kalianyar, topeng Majalengka, dan topeng Indramayu. Cerita ratusan tahun lalu ini, yang termuat dalam babad Cirebon Carang Satus, menempatkan peran topeng Cirebon bermakna religius. Bagi orang keraton, tari topeng pada hakikatnya memperlihatkan macam-macam isi dunia ini, yang terlindung kedok-kedok. Semuanya baru jelas setelah kedok terbuka, yaitu ap'ulluloh, yang artinya semua bikinan Allah, semua makhluk tak punya kemampuan apa-apa selain Allah. Justru kesakralannya ini, yang terikat dengan aturan dan pakem, membuat topeng Cirebon kalah berpacu dengan modernisme. Masyarakat makin praktis, makin rasional, dan ingin topeng lebih dari sekadar topeng magis yang menandai suatu upacara. Mereka ingin topeng yang menghibur. Situasi ini pelan-pelan membuat topeng Cirebon surut, tertinggal, dan bisa-bisa hanya menjadi prasasti kesenian masa lalu. Namun, kehadiran serombongan besar penari topeng dari seluruh Cirebon dalam Pesta Topeng Cirebon, ketika memperingati 25 tahun Pusat Kesenian Jakarta TIM, November tahun lalu, menampilkan wawasan baru. Antusiasme menari, serta munculnya begitu banyak penari muda yang bagus, menunjukkan bahwa topeng Cirebon mampu hidup berkelanjutan, meski kembang-kempis, dan secara perlahan menyesuaikan diri dengan tuntutan selera penonton sekarang. Tentu dengan risiko kehilangan jiwanya. Soalnya, topeng Cirebon bukanlah sekadar tarian hiburan semata. "Kesenian daerah itu punya makna spiritual, agrikultural, dan makna kosmologikal dalam tata kehidupan orang desa," kata Endo Suanda, pemerhati topeng Cirebon, yang juga kandidat doktor seni wayang Cirebon di University of Washington. Ia yakin, dalam bertahan menghadapi selera masyarakat, ada yang hilang dari topeng Cirebon. Salah satu yang hilang adalah pesona magisnya. Topeng Cirebon mempunyai kekuatan spiritual yang khusus. Dulu, anak yang sakit dibawa orang tuanya ke panggung untuk diobati dalang topeng, atau dijampi-jampi atau bahkan dibawa menari. Kadang, bayi yang baru lahir langsung dibawa ke panggung untuk diberkahi, diberi nama, atau diakui sebagai anak oleh dalang topeng atau dalang wayang. Meski dalang tak selalu seorang dukun, banyak dalang adalah juga dukun. Saat ini, agaknya, masih ada satu dua topeng yang masih bertahan dengan pesona magisnya, seperti di Kecamatan Kertamaya. Masa keemasan topeng Cirebon, seperti yang bisa diingat para seniman topengnya, adalah pada tahun 1920 sampai 1970-an. Buniah, 94 tahun, penari topeng Gegesik dan penari tertua di Cirebon saat ini, mengingat masa-masa jaya topeng Cirebon pada periode 1920 sampai 1935. Ia menghibur tempat hajatan perkawinan, sunatan, tujuh bulanan, sampai dipanggil menghibur tentara KNIL. Pada masa revolusi pun, Buniah bisa berjalan sampai ke Semarang dan Yogya. Kala itu, cerita Buniah, sudah ada tawaran main di luar negeri, tetapi tak diterimanya. "Takut naik kapal terbang," katanya. Sawitri, 65 tahun, dalang topeng Losari, melanjutkan masa-masa keemasan itu, tahun 1950-an. Waktu itu, topeng Losari paling banyak ditanggap orang. Pernah, selama tiga bulan Sawitri setiap siang dan malam membuat pertunjukan. "Siangnya topeng, malamnya wayang," kata Sawitri. Istirahat hanya pada malam Jumat. Sawitri juga main di pinggir pantai, dalam upacara penggebuk atau mengusir setan laut. Di kalangan nelayan Cirebon, ada kepercayaan bahwa pada saat tertentu mereka diusik oleh setan laut. Dengan menyuguhkan tari topeng, nelayan selamat dari gangguan setan laut. Sawitri heran, sekarang dengan surutnya tari topeng di desa-desa, setan laut juga tak lagi mengganggu. Dalang Sudjana Arja dari Desa Slangit, Kecamatan Klangenan, merasakan kemakmuran itu pada tahun 1960-an. "Wah, waktu tahun-tahun sibuk sampai enggak bisa narik napas. Pernah tiga bulan terus-menerus manggung tanpa henti," ujar Sudjana mengenang. Seperti halnya banyak kesenian rakyat yang lain, topeng Cirebon surut bersama pemberontakan G30S-PKI. Waktu itu, banyak seniman yang bergabung dalam Lekra ditangkap. Kegiatan seni lesu, termasuk topeng. Topeng yang "berbau" takhayul ini dihindari masyarakat. Bahkan, seni ronggeng dan tayuban yang seronok juga dijauhi masyarakat. Banyak seniman topeng lari mendalami agama. Selain itu, menurut Endo Suanda, ekonomi yang sulit pada tahun 1960-an membuat kesenian juga menderita berat. Hajatan, yang semula mengundang hiburan topeng, waktu itu diganti ceramah kiai. Barulah setelah 1970-an, tambah Endo Suanda, topeng Cirebon bangkit lagi. Masa orde baru memang memulihkan situasi politik. Tetapi, yang tidak bisa pulih adalah daya beli masyarakat. Mereka sudah tak mampu membayar honor penari. Sawah-sawah berganti dengan rumah dan empang. Akibatnya, tak banyak sawah yang perlu diupacarai, juga tak banyak pemilik sawah yang mampu menanggap hiburan topeng. Topeng Losari, misalnya, sudah empat tahun ini tidak pernah main di hajatan. "Hajatannya hanya cukup untuk belanja makanan, tidak sanggup menanggap topeng," kata Sawitri lirih. Ongkos menanggap topeng, saat ini, Rp 300 ribu sampai Rp 400 ribu, tergantung jaraknya. "Berbeda dengan zaman dulu, orang banyak punya padi, jadinya tak sayang-sayang nanggap," kata Sawitri. Sedangkan grup topeng Slangit Sudjana masih bisa mendapat tanggapan maksimal enam kali dalam sebulan. Uang honor sebegitu itu sebenarnya tak terbilang besar. Setidaknya, jika harus dibagi dengan para penabuh yang jumlahnya bisa mencapai 15 orang. Jadi, bisa saja tiap penabuh hanya memperoleh Rp 10.000. Masih ada lagi ongkos sewa kendaraan untuk mengangkat gamelan. Sisanya untuk beberapa penari lainnya dan bagian terbesar untuk dalang topeng (penari utama). Tentu pemasukan sebesar itu jadi tak memadai jika jarak antara satu pentas dan pentas berikutnya terlalu lama. Di samping soal honor, yang paling "merusak" topeng Cirebon adalah perubahan waktu. Semula, topeng bisa main pagi pukul 7 atau 8 sampai pukul 5 sore. Kalau malam, mulai pukul 7 malam sampai pukul 3 pagi. Dengan perubahan situasi politik akibat peristiwa G30S-PKI, pertunjukan topeng tak bisa lagi sebebas dulu. Pentas mulai agak siang, sekitar pukul 9 pagi, dan mesti selesai sebelum salat asar. Jadi, sebelum pukul 3 sore. Waktu lohor harus istirahat. Begitu juga acara malam hari jadi jauh lebih pendek, antara pukul 9 malam dan 3 pagi. Berarti, waktu pertunjukan yang rata-rata sembilan jam berubah menjadi lima jam. Pengurangan waktu pertunjukan itu secara langsung mengurangi beberapa materi tari dan musik. Tari Panji, misalnya, yang ditarikan dengan tenang dalam waktu satu setengah jam, terpaksa dipotong. Soalnya, topeng Panji ini memang paling susah menarikannya, menguras tenaga, karena si penari banyak menahan posisi badan. Juga, lagu pengiringnya sulit dimainkan. Akibatnya, lambat-laun topeng Panji tak lagi disukai penonton, dan para penari pun sering keberatan kalau berlama-lama menarikan tari Panji. Tak sering pula hanya disediakan waktu sekitar 40 menit untuk pertunjukan topeng Cirebon, sementara ada lima tari topeng yang harus dimainkan. Akibatnya, tari tiap topeng dipangkas, atau dibawakan beberapa topeng saja. Dan jika pada pertunjukan terakhir waktu sudah semakin mepet, tari topeng yang terakhir diputus begitu saja. Pemotongan waktu pertunjukan ini ternyata tak sekadar membuat materi tari dan musik hilang dari pentas pertunjukan. Lama- kelamaan, beberapa materi tari dan musik benar-benar hilang dari khazanah kesenian. Soalnya, jika tak ada lagi waktu untuk memainkan sebuah tari, siapa pula yang masih mau tetap mempelajarinya. Tari Panji, misalnya, yang dipentaskan dalam waktu yang cukup panjang sehingga membuat penonton bosan. Saat ini, bisa dihitung penari muda yang masih tertarik mempelajari tari Panji. Di samping soal pembatasan waktu, seni topeng Cirebon juga bersaing dengan video dan tape recorder. Hajatan cukup memperdengarkan lagu-lagu dari tape recorder. "Masyarakat banyak minta hiburan, seni topengnya kurang diperhatikan," kata Dalang Sudjana. Salah seorang murid Sudjana, Penari Oliah, juga prihatin. "Topeng Cirebon saat ini terdesak oleh sandiwara, video, film, dan dangdut. Sangat sedikit masyarakat yang memanggungkan topeng Cirebon saat ini," katanya. Kini, selintas tampak kesenian topeng Cirebon seperti melacurkan diri terhadap kehendak pasar. Topeng dimainkan sebentar, lalu diselingi bodor (lawakan), tayuban, dan tarling. Kadang, bebodorannya sampai begitu lama, lebih dari satu jam. Tak jarang, ketika topeng dimainkan, penonton malahan minta dangdut. "Kadang kami menyelipi dangdut atau lawakan. Tanpa mengurangi tari topeng. Pakem topeng tetap dilakukan, hiburan kan selingannya. Tergantung yang memanggil saya, kalau mereka mau tari topeng saja yang ditampilkan, saya tetap memenuhi penanggap. Kan mereka yang membayar saya," alasan Sudjana. Ini cara bertahan yang ditempuh sebagian seniman tapi dikecam oleh sebagian lainnya. "Tari itu, sebagaimana pesan Bapak, tak boleh sedikit pun diubah," kata Sawitri. "Orang senang enggak senang, sudah. Kalau untuk tari merangsang, sudah telanjang saja. Kalau topeng ini sudah tidak ada yang maenin lagi, kedok- kedoknya dikubur saja," kata Sawitri. Padahal, dari segi teknis, topeng Cirebon termasuk tarian yang kaya khazanah geraknya. "Dibandingkan dengan tari lainnya yang ada di Jawa Barat, vocabulary gerak tari topeng Cirebon sangat kaya. Bahkan, banyak tari di Jawa Barat bersumber dari tari topeng Cirebon seperti topeng Betawi, topeng Karawang, atau topeng Banten," tambah Endo. Sayangnya, tari yang kaya gerak itu justru disederhanakan. Itu sebabnya, sebenarnya perlu menjaga keaslian dan kekayaan gerak topeng Cirebon. Dan seperti Sawitri, Buniah sebagai seorang penari tua menentang campur aduknya pertunjukan topeng Cirebon. "Tari topeng sekarang boleh dibilang gado-gado. Urut- urutan yang sebenarnya tidak dipakai," protes dalang tertua, Buniah. Tapi apa mau dikata, mereka tampaknya terpaksa juga mengalah pada keinginan pasar. Apalagi, setelah kurang lebih 20 tahun terbiasa dengan waktu pertunjukan yang singkat, penonton rupanya tak ingin lagi menyaksikan tari topeng secara utuh. Topeng Cirebon tak lebih sebagai pertunjukan yang hanya berlangsung sekitar dua jam. Dan pada akhirnya, singkatnya pertunjukan mempengaruhi keterampilan penarinya. Seperti yang dikatakan tadi, banyak di antara penari yang sudah tidak bisa menarikan tari topeng Panji. Juga, para nayaga sudah sulit menabuh musik tari topeng Panji, karena memang merupakan repertoar musik yang paling sulit. Boleh dibilang, terjadi kemerosotan mutu penari topeng Cirebon. Karena itu, lantas topeng "dipopulerkan". Artinya, tarinya dipangkas dan geraknya mengikuti selera masa kini. Justru dengan cara begini mereka punya kesempatan untuk melanglang buana ke dunia internasional. Tahun 1977, topeng Cirebon bersama pencak silat Bandung melawat ke Amerika atas undangan salah satu lembaga kebudayaan di sana. Diteruskan dengan pertunjukan di Hong Kong dan pertunjukan lokal di Jakarta dan Yogyakarta. Yang agaknya menggembirakan, walau sudah tak sesuai dengan aslinya, ternyata topeng Cirebon masih juga diwariskan secara turun-temurun kepada sanak keluarga. Beberapa penari topeng Cirebon generasi muda bahkan mengambil pendidikan formal tari di perguruan tinggi. Tentu hasilnya adalah sebuah topeng Cirebon era 1990-an, yang sudah banyak "bergerak" dari pakem aslinya. Tapi itu tak apa, apalagi jika mengingat bahwa sejak dulu sebenarnya para seniman topeng sudah yakin bahwa seni topeng yang mereka geluti ternyata tak bakal bisa menghidupi mereka dengan layak. Hampir tak ada penari topeng yang hidup semata- mata dari topeng Cirebon. Sawitri, misalnya, sehari-hari berdagang kain masuk kampung keluar kampung. Kadang ia bahkan berdagang makanan di pasar. Sementara itu, Buniah telah lama menjadi penjahit pakaian, sejak dia mulai sadar bahwa ia tak akan mampu main topeng sampai hari tua. Sudjana, yang hidupnya hanya seputar tari topeng, mencari tambahan lewat mengajar tari mahasiswa ASTI. Sedangkan Nargi, ketua kelompok Grup Tari Topeng Cinta Damai Nargi, kadang melayani jasa persewaan video untuk hajatan. "Lumayan, buat cari duit," kata Nargi.Indrawan, Asikin, Ahmad Taufik, dan Ida Farida

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum