Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Oleh Ahmad Fuadi, penulis novel Negeri 5 Menara serta alumnus Pondok Modern Gontor, George Washington University, dan Royal Holloway, University of London
KALA itu saya masih bujang belia berusia 15 tahun. Almanak di dinding rumah bertulisan "20 Mei 1988". Saya ingat hari itu saya meninggalkan kampung, menumpang bus melintasi punggung Jawa, menuju sebuah pesantren di pelosok Ponorogo, ditemani Ayah.
Semua ini gara-gara Amak prihatin melihat sebagian sekolah agama dianggap "bengkel" untuk memperbaiki anak nakal. Beliau ingin yang masuk madrasah adalah anak-anak terbaik sehingga lulusannya pun terbaik (kebetulan saya mendapat nilai tertinggi di sekolah).
Ini bukan perantauan pilihan saya. Sebetulnya saya ingin masuk sekolah menengah atas di Bukittinggi, Sumatera Barat, tapi Amak berkehendak saya menuntut ilmu agama. Amak mendengar di tanah Jawa ada pondok modern yang telah mencetak ulama yang intelek: ulama yang paham kitab agama dan mengerti dunia modern. Ke sanalah saya disuruh merantau. Saya mematuhi Amak tapi dengan setengah hati.
Setelah berhari-hari di jalan, pagi-pagi kami sampai di terminal Ponorogo. Di sana sudah menunggu armada mobil L-300 yang disiapkan Gontor untuk menjemput calon siswa. Dengan mobil kecil, kami menyusuri jalan kampung yang berdebu, melewati sawah ladang dan petani yang memanggul cangkul sambil menarik sapi.
Setengah jam kemudian, kami sampai di sebuah kompleks yang luasnya belasan hektare. Kami berjalan melewati masjid besar bermenara tinggi dan gedung-gedung bertingkat dengan kelir hijau pupus, jauh berbeda dengan rumah-rumah joglo sederhana di sekitarnya. Di tengahnya, tegak sebuah aula besar dengan gaya Art Deco, bergaris-garis minimalis. Di façade-nya tergantung sebuah jam dan sebuah tulisan besar dari besi: "Gontor".
Saat antre di bagian pendaftaran, saya melihat sebuah spanduk berkibar-kibar bertulisan "Ke Gontor, Apa yang Kau Cari?" Pertanyaan yang sepertinya khusus untuk menohok jantung saya. Rasanya darah berkumpul di dada dan membeku beberapa saat. Ya, merantau 1.600 kilometer dari kampungku di ranah Minang. Untuk apa?
UNTUK bisa belajar di sini, saya bersama ribuan calon siswa lain harus ikut tes tulis dan wawancara buat berebut jatah ratusan kursi saja. Begitu saya lolos, Ayah menepuk pundak saya, meninggalkan saya di kerumunan 3.000-an santri, ratusan guru, dan tiga kiai yang akan mengasuh saya selama empat tahun ke depan.
Minggu-minggu awal agak mengejutkan. Biasanya punya kamar sendiri, di pondok ini saya harus tidur sekamar dengan 30 anak beralas kasur gulung tipis. Tiada Amak dan Ayah yang akan mengingatkan, saya kini mengurus tetek-bengek sendiri, dari mencuci, mengatur makan, sampai mengikuti kegiatan sejak subuh hingga pukul 10 malam. Mata mudah mengantuk, sedangkan jadwal berputar cepat dan ketat. Setiap keterlambatan bisa kena hukum oleh kakak senior yang bertugas mengatur disiplin santri. "Gontor adalah sistem pendidikan 24 jam. Apa yang didengar, dilihat, dan dirasakan di sini adalah bagian dari pendidikan itu," kata salah satu kiai kami (Gontor selalu dipimpin oleh tiga kiai bersamaan), KH Syukri Zarkasyi, saat khutbatul arsy (pekan perkenalan), yang selalu dibuka dengan kor himne Oh Pondokku dan Indonesia Raya.
Selama pekan perkenalan ini, para kiai dan guru senior berganti-ganti naik podium, menceritakan nilai-nilai pondok modern yang perlu kami resapi. Intinya adalah Panca Jiwa Gontor: keikhlasan, kesederhanaan, berdikari, ukhuwah islamiyah, dan kebebasan. "Kami ikhlas mengajar kalian, maka ikhlaskanlah diri untuk diajar. Masuklah ke Gontor secara kaaffah, menyeluruh," begitu petuah KH Hasan Abdullah Sahal, kiai kami yang satu lagi.
Tahun pertama saya ditempatkan di asrama GBK, bersesak-sesak dengan teman sekamar yang datang dari penjuru Indonesia. Di kamar inilah pertama kalinya saya benar-benar merasa menjadi bagian Indonesia. Sejak itu, setiap vakansi, kami suka melakukan tur Jawa-Bali, "memanfaatkan" penginapan gratis di rumah teman yang ada di setiap kota.
Di Gontor, untuk pertama kalinya pula saya merasakan menjadi warga global. Saat itu ada santri dari Australia, Malaysia, Singapura, Thailand, Suriname, Somalia, bahkan belakangan ini ada yang dari Amerika Serikat. Mereka kami sebut anak khaarijul bilad, anak luar negeri. Sampai saat ini, saya masih melakukan kontak dengan teman-teman dari luar negeri ini.
Bagi Gontor, luar negeri dibuat dekat dengan kehidupan. Bahasa Arab dan Inggris menjadi bahasa sehari-hari dan prakteknya diawasi ketat oleh Bagian Penggerak Bahasa. Siaran yang diputar di seantero asrama antara lain BBC London, VOA, dan Radio Australia. Sedangkan bahasa Indonesia digunakan untuk kegiatan Pramuka, pidato bahasa Indonesia, dan pelajaran tertentu. Saya ingat, saking terbiasanya berbahasa asing, kalau kami ngelindur pun kadang dalam bahasa Arab atau Inggris. Walau dengan grammar dan pronunciation yang sewaktu-waktu meleset gara-gara lidah Jawa, Minang, Batak, dan Sunda kami, kami sok yakin saja.
"Orang tua" kami selama di pondok adalah wali kelas dan pengurus asrama, tempat berkeluh kesah kalau sedang galau. Wali kelas yang paling berpengaruh bagi saya adalah guru yang energetik dari Tegal, Jawa Tengah, Ustad Tasirun Sulaiman. Hobinya membawa setumpuk buku tebal berbahasa Arab, Inggris, dan Belanda untuk dia baca-baca di saat jeda kelas. Dia berhasil mengajarkan saya gemar membaca tanpa menyuruh. Artikel-artikel yang dia tulis juga menginspirasi saya untuk mulai menulis.
Gontor bagai tidak pernah tidur karena kegiatan yang berpusar tak henti. Gemuruh 3.000 pasang kaki menuruni tangga masjid, dengungan santri mendaras Al Quran dan melagukan syair Abu Nawas, serta tepuk-sorak mereka saat muhadharah (latihan pidato) menguasai udara. Sekejap riuh-rendah, sekejap kemudian bisa senyap. Kegiatan di kelas (lima-enam jam) hanya porsi kecil dari metode pendidikan di Gontor. Waktu lebih banyak justru digunakan di luar kelas, seperti untuk kegiatan berorganisasi, belajar pidato, silat, Pramuka, dan sekian banyak ekstrakurikuler lain. Bahkan tengah malam pun ada pendidikan, ketika para santri dengan bangga mendapat jatah ronda (haris lail) menjaga pondok semalam suntuk. Setiap mendapat giliran jaga, saya dan teman-teman bersorak gembira. Artinya besok kami prei masuk kelas serta bebas begadang dan ngobrol dengan bahasa daerah atau Indonesia, karena tidak ada kakak penggerak bahasa yang mengawasi.
Kebetulan tiga kiai Gontor senang olahraga dan seni. Mereka rajin lari pagi, kerap ikut menyepak bola, dan main bulu tangkis bersama santri. KH Hasan sejak muda adalah striker andal. Saat ada acara pergelaran seni kolosal, seperti Panggung Gembira dan Drama Arena, para kiai ikut tampil. KH Hasan memang cakap bermain gitar bas dan KH Syukri pintar menggebuk drum. Sedangkan jika Jumat tiba, KH Hasan akan duduk di saf terdepan, mengalunkan ayat suci dengan indah dan membetulkan tilawah para santri. Mereka menjadi contoh (uswah hasanah) agar kami menjadi manusia multidimensi.
Para kiai kami suka mengulang kalimat "siap memimpin dan siap dipimpin" agar kami pandai bermasyarakat. Dalam keseharian di Gontor, siswa diberi kesempatan luas untuk berorganisasi. Ribuan jabatan pengurus ini-itu tersedia setiap tahun dan terus dipergilirkan sehingga diharapkan setiap siswa pernah merasakan menjadi ketua paling tidak sekali sepanjang hidupnya di Gontor. Saya sendiri pernah menjadi bendahara asrama, ketua majalah dinding, dan beberapa jabatan lain.
Terlepas dari segala metode pendidikannya, mungkin energi terbesar yang menggerakkan Gontor selama 90 tahun ini adalah roh keikhlasan. Sejak awal para kiai menjelaskan bahwa mereka dan guru-guru tidak mencari penghidupan di Gontor—mereka sama sekali tidak menerima gaji dari pondok. Mereka ikhlas mengajar karena mengajar adalah jalan pengabdian menuju Allah. Bahkan ada beberapa guru melangkah lebih jauh: mereka mewakafkan diri untuk mengabdi seumur hidup di pondok.
SETIAP beberapa minggu, ada saja pertemuan di aula untuk mendengarkan wawasan dan cerita pembakar semangat yang diselipi humor dari para kiai. KH Syukri selalu bergaya orator dan mampu menerbangkan impian kami tinggi-tinggi, KH Hasan membuat kami turun merenung dan terharu, sedangkan KH Shoiman membuat kami hening tersentuh. Para kiai suka berkisah, guru-guru suka bercerita, kakak-kakak kelas juga begitu. Dan kami para santri kecanduan mendengarkan cerita mereka.
Motivasi juga mengalir dari para guru kami yang pernah menuntut ilmu sampai jauh. Ustad Akrim Maryat guru bahasa Inggris yang cool, selepas Gontor sempat menuntut ilmu ke Inggris; KH Hasan yang mengajar ilmu hadis lulusan Madinah; dan KH Syukri yang mengajar mantiq tamatan Al-Azhar di Mesir. Dulu saya hanya bisa berdecak mendengar Ustad Akrim bercerita suasana di Piccadilly Circus dan Big Ben serta bagaimana cara menyetop black cab di London. Pada 2004, saat saya bersekolah di Royal Holloway, University of London, cerita Ustad Akrim kembali terkenang. Impian bisa jadi kenyataan.
Saat libur datang, sebagai anak puber yang masih labil, terkadang saya iri melihat teman-teman di SMA yang tidak dikungkung disiplin pondok, bisa pacaran, dan prospek masa depan mereka tampak lebih cerah, tidak hanya akan jadi guru agama. KH Imam Badri, yang mafhum dengan kejiwaan kami yang baru mudik, menghibur dengan pantun jenaka, "Dulu jual mengkudu, sekarang jual rambutan. Dulu tidak laku, sekarang jadi rebutan. Tunggu saja saatnya." Kenyataannya, senior kami tidak hanya menjadi guru mengaji. Sebut saja tokoh semisal mantan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Idham Chalid, pemikir Nurcholish Madjid, budayawan Cak Nun, KH Hasyim Muzadi, Din Syamsuddin, dan Hidayat Nur Wahid. Sebagian lagi jadi pejabat publik, seperti mantan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi, Adnan P. Praja; Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin; dan Wakil Menteri Luar Negeri Abdurrahman Mohammad Fachir. Belum lagi para alumnus yang menjadi pengusaha, pejabat negara, polisi, dan militer.
Jika Amak menyuruh saya ke Gontor untuk belajar agama, menurut saya, Gontor bukan tempat belajar agama saja. Gontor adalah tempat belajar kehidupan, membangun karakter, mempraktekkan kebiasaan baik selama 24 jam sehari, dan tempat memahami apa tujuan hidup.
Manusia seperti apa yang hendak dihasilkan Gontor? Kalau merujuk pada motonya, Gontor ingin mencetak manusia yang berbudi luhur, berbadan sehat, berpengetahuan luas, dan berpikiran bebas. Suatu kali KH Hasan ditanya bagaimana perasaannya melihat banyak alumnus yang sudah menjadi orang besar. Beliau tersenyum sambil menyitir ungkapan salah satu pendiri Gontor, KH Imam Zarkasyi: "Orang besar bukanlah orang yang memiliki pangkat yang tinggi, harta yang melimpah, atau ilmu yang luas dikenal orang di mana-mana. Orang besar menurut Gontor itu adalah orang yang mau mengajarkan ilmunya dengan penuh keikhlasan meski dia berada di tempat yang terpencil dan di balik gunung sekalipun."
Rupanya, bagi Gontor, orang besar adalah orang yang ikhlas berbagi. Dan saya masih terus belajar untuk menjadi orang besar itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo